Semprul:
“Prul, bukankah setiap orang itu sadar dengan apa yang dilakukannya?”
Kemprul:
“Harusnya seperti itu Prul. Seharunya orang shalat itu sadar kalau lagi
shalat, waktu dzikir ingat kalau lagi
dzikir atau mengingat yang sedang didzikiri, ingat Allah SWT.”
Semprul:
“Lha itu Prul, kalau dzikir itu pikiranku seharusnya bagaimana, dan perasaanku
harusnya seperti apa?”
Kemprul:
“Menurut Syaikh Ibnu Athoillah dalam Kitab Al-Hikam Kualitas dzikir terdiri
dari 4 (empat) tingkatan, yaitu: pertama, Dzikrul Lisan. Tingkatan dzikir lisan
adalah berdzikir sebatas pada lisan atau mulut, tanpa melibatkan hati. Hati
pada tingkatan ini masih lalai dan belum mampu merasakan rasa takwa yang
semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada
Allah SWT.
Semprul:
“Tapi itu masih bagus kan Prul daripada tidak dzikir?”
Kemprul:
“Ya tentu, lebih bagus Prul. Namun kualitas ini, kalau Allah berkehendak akan
ditingkatkan pada tingkat kedua, yaitu Dzikir diserta ingat dalam hati.
Tingkatan dzikir hati adalah ingatnya hati yang ingat namun belum disertai rasa
bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas,
rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah
kecenderungan untuk memadukan lisan dan hati dalam berdzikir, sehingga
seringkali dzikir lisannnya tertinggal dan diam.”
Semprul:
“Oooh…!”
Kemprul
tersenyum mendengar Oooh yang diucapkan Semprul, kemudian Kemprul melanjutkan.
Kemprul:
“Tingkatan yang ketiga, ada adalah dzikirnya disertai hadirnya hati atau
disebut hudlur. Tingkatan dzikir hadirnya hati adalah ingatnya hati yang
disertai disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum
merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada
tingkatan ini adalah adanya rasa gentar kepada Allah SWT yg dapat dilihat dari
getaran tubuh atau bahkan menangis, atau tersenyum.”
Semprul:
“Wuih…bagus sekali ini Prul!”
Kemprul:
“Ya Prul…kita kalau sudah dikarunia dzikir ini…harus banyak bersyukur…dan terus
berikhtiar dan doa agar Allah meningkatkan kualitas dzikir kita pada tingkat
yang keempat, yaitu Dzikir Ghoibah, yaitu dzikir yang hanya teringat pada Allah
SWT dan tidak kepada selain Allah SWT. Gambaran tingkatan ini adalah
keterpesonaan atau keterpanaan seseorang pada sesuatu, sebagaimana
keterpesonaan para wanita bangsawan pada ketampanan nabi Yusuf as. Indikatornya
adalah kekhusyuan yang kuat yang dapat dilihat dari ketahanan dalam beribadah,
keyakinan yang mantap, dan jiwa yang tenang.”
Semprul:
“Gimana caranya sampai pada tingkat tersebut Prul?”
Kemprul:
“Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandary memberikan nasehat sederhana berdzikirlah
terus dan berharap mudah-mudahan Allah SWT menganugerahkannya.”
Semprul
mangut-mangut sambal menerawang dengan tatpan kosong ke TV. Melihat itu,
Kemprul berkata:
Kemprul:
“Prul, bagus ya beritanya?”
Semprul
tergagap, dan menjawab: “Eeh…ndak tahu Prul….he he…aku ngelamun Prul. Walau
pandanganku ke TV tapi aku tidak melihatnya dan tidak sadar. Aku melamunkan
bagaimana dzikir yang sudah kulakukan selama ini.”
Kemprul:
“He he…kondisimu barusan mirip tingkatan dzikir yang mana Prul?”
Semprul:
“Mungkin yang ketiga?! Atau keempat?!”
Kemprul:
“Gayamu…itu masih kedua Prul…he he…yuk pulang!”
Semprul
dan Kemprul meninggalkan pos Ronda. Bagi mereka berdua, Pos Ronda juga
merupakan tempat untuk diskusi dalam ikhtiar meningkatkan kualitas diri.
(Kalitirto,
01-06-19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar