Kamis, 22 Agustus 2024

HIKMAH 2: CONTOH TAJRID DAN ASBAB DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI || TERJEMAH DR. M. SAID RAMADHAN AL-BUTHI

Materi FGD 3: Insya Allah Sabtu Pon, 24 Agustus 2024

ألحِكْمَةُ الثّانِيَةُ

قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:

"إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ، وَإِرَادَتُكَ الأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ إنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلِيَّةِ."

Hikmah Kedua:

Asy-Syaikh Ibnu Athaillah Radhiyallahu anhu berkata: “Keinginanmu untuk meninggalkan sebab-sebab duniawi (tajrid) padahal Allah telah menempatkanmu di dalam sebab-sebab itu adalah dorongan nafsu yang tersembunyi. Dan keinginanmu untuk mencari sebab-sebab duniawi padahal Allah telah menempatkanmu dalam keadaan tajrid adalah penurunan dari cita-cita yang luhur.”

هَذِهِ الحِكْمَةُ تَدُورُ عَلَى قُطْبَيْنِ اثْنَيْنِ: أَحَدُهُمَا مَا يُسَمُّونَهُ التَّجْرِيدَ، وَالآخَرُ مَا يُسَمُّونَهُ الأَسْبَابَ. فَمَا مَعْنَى هَاتَيْنِ الكَلِمَتَيْنِ؟

Hikmah ini berputar pada dua poros: yang pertama disebut tajrid (pengosongan dari sebab-sebab duniawi), dan yang kedua disebut asbab (sebab-sebab duniawi). Jadi, apa makna kedua kata ini?

يَتَعَرَّضُ الإِنسَانُ لِحَالَتَيْنِ اثْنَتَيْنِ: الأُولَى أَنْ يَجِدَ نَفْسَهُ مُتَقَلِّباً تَحْتَ سُلْطَانٍ مِنْ عَالَمِ الأَسْبَابِ، فَأَيْنَمَا تَحَرَّكَ وَجَدَ نَفْسَهُ أَمَامَ أَسْبَابٍ لا مَنَاصَ لَهُ مِنَ التَّعَامُلِ مَعَهَا. فَهَذِهِ الَّتِي تُسَمَّى حَالَةَ الأَسْبَابِ. وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَجِدَ نَفْسَهُ مَعْزُولاً عَنْ سُلْطَانِ الأَسْبَابِ، لَيْسَ لَهُ سَبِيلٌ إِلَيْهَا، إِذْ تَكُونُ بَعِيدَةً عَنْ مُتَنَاوَلِهِ وَعَنِ المَنَاخِ الَّذِي أَقَامَهُ اللّهُ فِيهِ. وَتُسَمَّى حَالَةَ التَّجَرُّدِ أَوِ التَّجْرِيدِ.

Manusia mengalami dua kondisi: pertama, dia mendapati dirinya berada di bawah pengaruh sebab-sebab duniawi. Di mana pun dia bergerak, dia mendapati dirinya berhadapan dengan sebab-sebab yang tidak bisa dihindari. Ini disebut kondisi asbab. Kedua, dia mendapati dirinya terpisah dari pengaruh sebab-sebab duniawi, tidak ada jalan untuk mencapainya, karena sebab-sebab itu jauh dari jangkauannya dan dari lingkungan yang telah Allah tetapkan untuknya. Ini disebut kondisi tajrid.

فَالمَطْلُوبُ مِنَ المُؤْمِنِ بِاللّهِ السَّاعِي إِلَى تَنْفِيذِ أَوَامِرِهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى الحَالَةِ الَّتِي أَقَامَهُ اللّهُ فِيهَا فَيَتَعَامَلَ مَعَهُ طِبْقَ تِلْكَ الحَالَةِ. أَي مَا يَنْبَغِي أَنْ يُسْرِعَ فَيَسْتَجِيبَ لِمِزَاجِهِ فِي التَّعَامُلِ مَعَ نِظَامِ الأَسْبَابِ آنًا، وَالإِعْرَاضِ عَنْهَا آنًا آخَرَ، دُونَ أَنْ يَتَبَيَّنَ الحَالَ أَوِ المَنَاخَ الَّذِي أَقَامَهُ اللّهُ فِيهِ. إِنَّهُ - وَالحَالَةُ هَذِهِ - إِنَّمَا يَتَعَامَلُ مَعَ هَوَاهُ وَمِزَاجِهِ وَإِنْ كَانَتِ الصُّورَةُ الَّتِي يُظْهِرُهَا مِنْ نَفْسِهِ أَنَّهُ يَسْتَجِيبُ لِأَوَامِرِ اللّهِ وَأَحْكَامِهِ.

Yang diharapkan dari seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan berusaha melaksanakan perintah-Nya adalah dia memandang kondisi yang Allah tetapkan untuknya dan bertindak sesuai dengan kondisi itu. Artinya, dia tidak boleh tergesa-gesa merespons keinginannya untuk berurusan dengan sebab-sebab duniawi pada satu waktu, lalu mengabaikannya pada waktu lain, tanpa memahami kondisi atau lingkungan yang Allah tetapkan untuknya. Jika dia melakukan ini, dia hanya mengikuti hawa nafsu dan seleranya, meskipun gambaran yang ditampilkan adalah bahwa dia mematuhi perintah dan hukum Allah.

تِلْكَ هِيَ خُلاَصَةُ مَعْنَى هَذِهِ الحِكْمَةِ. وَلَكِنْ فَلْنُفَصِّلِ القَوْلَ فِيهَا فِي ضَوْءِ صُوَرٍ مِنَ الوَاقِعِ الَّتِي يَتَعَرَّضُ لَهَا كُلٌّ مِنَّا.

Itulah ringkasan makna dari hikmah ini. Namun, mari kita uraikan lebih lanjut dalam konteks situasi nyata yang kita hadapi sehari-hari.

وَلْنَبْدَأْ بِتَحْلِيلِ الشَّطْرِ الأَوَّلِ مِنْهَا «إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ».

رَجُلٌ أَنَاطَ اللّهُ بِهِ مَسْؤُولِيَّةَ أُسْرَةٍ، أَكْرَمَهُ بِزَوْجَةٍ، أَكْرَمَهُ بَعْدَ نُزُوجَةٍ بِأَوْلاَدٍ، إِذَنْ فَهُوَ مُحَاطٌ بِأَسْبَابٍ تَدْعُوهُ إِلَى البَحْثِ عَنِ الرِّزْقِ وَإِلَى الكَدْحِ فِي سَبِيلِهِ. تَصَوَّرْ لَوْ أَنَّ هَذَا الإِنْسَانَ (وَهُوَ يُحَاوِلُ أَنْ يَرْقَى فِي مُسْتَوَى الصَّلاَحِ وَالتَّقْوَى وَإِلَى صَعِيدِ التَّوْحِيدِ وَالتَّوَكُّلِ عَلَى اللّهِ) قَالَ فِي نَفْسِهِ: لاَ حَاجَةَ بِي إِلَى السُّوقِ وَالكَدْحِ فِيهِ مِنْ أَجْلِ الرِّزْقِ، لأَنِّي مُوقِنٌ بِقَوْلِ اللّهِ تَعَالَى: ﴿فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ﴾ [العنكبوت: ١٧/٢٩] وَمُوقِنٌ بِأَنَّ الأَسْبَابَ المَادِّيَّةَ كُلَّهَا جُنُودٌ بِيَدِ اللّهِ، فَلأَنْقَطِعْ عَنْ مَشَاغِلِ الدُّنْيَا وَأَسْوَاقِهَا إِلَى عِبَادَةِ اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَقَطَعَ نَفْسَهُ فِعْلاً عَنِ التَّسَوُّقِ وَعَنْ أَسْبَابِ الرِّزْقِ وَالكَدْحِ بِحُجَّةِ أَنَّهُ يُسَبِّحُ مَعَ اللّهِ فِي بَحَارِ تَوْحِيدٍ، وَأَنَّهُ يَرَى المُسَبِّبَ وَلاَ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَامَلَ مَعَ الأَسْبَابِ! إِنَّ هَذَا الإِنْسَانَ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ هَذَا الجُزْءُ الأَوَّلُ مِنْ حِكْمَةِ ابْنِ عَطَاءِ اللّهِ. وَلاَ بُدَّ أَنْ نُذَكِّرَهُ بِهَا فَنَقُولَ لَهُ: «إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ».

Mari kita mulai dengan menganalisis bagian pertama dari hikmah ini: "Keinginanmu untuk meninggalkan sebab-sebab duniawi (tajrid) padahal Allah telah menempatkanmu di dalam sebab-sebab itu adalah dorongan nafsu yang tersembunyi."

Misalnya, seorang pria yang Allah telah percayakan tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Allah telah memberinya istri dan kemudian memberinya anak-anak. Dengan demikian, dia dikelilingi oleh sebab-sebab yang memanggilnya untuk mencari rezeki dan bekerja keras untuk mencapainya. Bayangkan jika orang ini (yang berusaha mencapai tingkat kesalehan dan ketakwaan serta menuju puncak tauhid dan tawakal kepada Allah) berkata dalam hatinya: "Aku tidak perlu pergi ke pasar dan bekerja untuk mencari rezeki, karena aku yakin dengan firman Allah Ta’ala: فَابْتَغُوْا عِنْدَ اللّٰهِ الرِّزْقَ 'Maka carilah rezeki di sisi Allah.' (QS. Al-‘Ankabut: 17) Dan aku yakin bahwa semua sebab-sebab materi adalah tentara di tangan Allah, jadi aku akan memutuskan diri dari urusan dunia dan pasar untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Tinggi."

Kemudian, dia benar-benar memutuskan diri dari pasar, dari sebab-sebab rezeki, dan dari kerja keras dengan dalih bahwa dia sedang berdzikir bersama Allah dalam lautan tauhid, dan bahwa dia hanya melihat Sang Pencipta dan tidak ingin berurusan dengan sebab-sebab.

Orang seperti ini sesuai dengan bagian pertama dari hikmah Ibnu Atha'illah ini. Kita perlu mengingatkan dia dengan hikmah ini dan mengatakan kepadanya: "Keinginanmu untuk meninggalkan sebab-sebab duniawi padahal Allah telah menempatkanmu di dalam sebab-sebab itu adalah dorongan nafsu yang tersembunyi.

نَقُولُ لَهُ: عَلَيْكَ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ أَنْ تَنْظُرَ فِي الحَالِ أَوِ المَنَاخِ الَّذِي أَقَامَكَ اللّهُ. لَقَدْ أَقَامَكَ تَحْتَ سُلْطَانٍ مِنْ عَالَمِ الأَسْبَابِ، وَذَلِكَ عِنْدَمَا جَعَلَ مِنْكَ زَوْجاً لِزَوْجَةٍ، وَعِنْدَمَا جَعَلَ مِنْكَ أَباً لأَوْلاَدٍ، وَعِنْدَمَا أَنَاطَ بِعُنُقِكَ مَسْؤُولِيَّةَ إِعَالَتِهِمْ جَمِيعاً. فَإِذَا أَعْرَضْتَ عَنْ هَذِهِ الحَالِ الَّتِي أَقَامَكَ اللّهُ فِيهَا، لِتَتَّخِذَ هَذَا المَوْقِفَ، فَاعْلَمْ أَنَّكَ فِي الظَّاهِرِ تُمارِسُ التَّوْحِيدَ، وَفِي البَاطِنِ تَرْعَى هَوَى نَفْسِكَ إِذْ تمتعها بِشَهْوَةٍ مِنْ شَهْوَاتِهَا الخَفِيَّةِ غَيْرِ المُعْلَنَةِ، مُتَطَلِّعاً إِلَى أَنْ تَتَبَاهَى بَيْنَ النَّاسِ بِأَنَّكَ مُنْصَرِفٌ عَنِ الدُّنْيَا إِلَى اللّهِ وَأَنَّكَ لاَ تَتَعَامَلُ مَعَ الأَسْبَابِ بَلْ مَعَ المُسَبِّبِ. وَهَذَا غَلَطٌ كَبِيرٌ وَخَطِيرٌ فِي مِيزَانِ الدِّينِ وَشَرْعِهِ.

Kami katakan kepadanya: Pertama-tama, Anda harus melihat pada keadaan atau lingkungan yang telah Allah tetapkan untuk Anda. Allah telah menempatkan Anda di bawah kekuasaan sebab-sebab duniawi ketika Dia menjadikan Anda seorang suami bagi seorang istri, dan ketika Dia menjadikan Anda seorang ayah bagi anak-anak, serta menempatkan di pundak Anda tanggung jawab untuk menafkahi mereka semua. Jika Anda mengabaikan keadaan ini yang telah Allah tetapkan untuk Anda, demi mengambil sikap tersebut, ketahuilah bahwa secara lahiriah Anda sedang melaksanakan tauhid, namun secara batiniah Anda sedang menuruti keinginan nafsu Anda dengan memuaskan salah satu hasrat tersembunyinya, yaitu keinginan untuk membanggakan diri di hadapan orang-orang bahwa Anda telah berpaling dari dunia demi Allah dan bahwa Anda tidak bergantung pada sebab-sebab duniawi melainkan hanya kepada Pencipta sebab-sebab tersebut. Ini adalah kesalahan besar dan berbahaya dalam timbangan agama dan syariatnya. 

وَالنَّهْجُ الصَّحِيحُ فِي أَوَامِرِ اللّهِ وَحُكْمِهِ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اللّهَ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَمَا جَعَلَ مِنْكَ رَبّاً لأُسْرَةٍ فَقَدْ حَمَّلَكَ مَسْؤُولِيَّةَ إِعَالَتِهَا. إِنَّكَ لاَ تَتَعَامَلُ فِي هَذِهِ الحَالَةِ مَعَ اللّهِ مِنْ أَجْلِ نَفْسِكَ بِنَاءً عَلَى ثِقَتِكَ الخَاصَّةِ بِهِ فِي حَقِّ ذَاتِكَ إِنَّمَا تَتَعَامَلُ مَعَهُ مِنْ أَجْلِ أُسْرَتِكَ، زَوْجِكَ . أَوْلاَدِكَ. وَإِذَا كَانَ لَكَ أَنْ تَزْعُمَ بِأَنَّكَ تَمْلِكُ مِنَ الثِّقَةِ بِاللّهِ فِي حَقِّ نَفْسِكَ مَا يَجْعَلُكَ تُعْرِضُ عَنِ الدُّنْيَا وَتَنْقَطِعُ لِلْعِبَادَةِ وَالطَّاعَةِ، فَبِأَيِّ حَقٍّ تَجُرُّ زَوْجَكَ وَأَوْلاَدَكَ إِلَى مِثْلِ هَذِهِ الثِّقَةِ، وَإِلَى مِثْلِ هَذَا الزُّهْدِ الَّذِي ارْتَضَيْتَهُ لِنَفْسِكَ؟!

Jalan yang benar dalam mematuhi perintah dan hukum Allah adalah menyadari bahwa ketika Allah menjadikan Anda sebagai kepala keluarga, Dia telah memberi Anda tanggung jawab untuk menafkahi mereka. Dalam keadaan ini, Anda berurusan dengan Allah bukan demi diri Anda sendiri berdasarkan keyakinan pribadi Anda terhadap-Nya untuk kepentingan diri Anda sendiri, melainkan Anda berurusan dengan-Nya demi keluarga Anda, istri Anda, dan anak-anak Anda. Jika Anda mengklaim memiliki keyakinan kepada Allah untuk diri Anda sendiri yang membuat Anda berpaling dari dunia dan sepenuhnya beribadah dan taat kepada-Nya, dengan hak apa Anda menyeret istri dan anak-anak Anda ke dalam keyakinan dan asketisme yang telah Anda pilih untuk diri Anda sendiri?

 قُلْ لِهَذَا الإِنْسَانِ: إِنَّ اللّهَ أَقَامَكَ بَيْنَ كِفَّتَيْنِ مِنْ مِيزَانِ شَرْعِهِ، عِنْدَمَا قَالَ لَكَ 

Katakan kepada orang ini: Sesungguhnya Allah telah menempatkanmu di antara dua sisi timbangan syariat-Nya ketika Dia berfirman kepadamu: 

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ ۝٧ اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ ۝٨ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ ۝٩

Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan). agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu. (Ar-Rahman: 7-9). 

إِنَّكَ لاَ تَعِيشُ لِنَفْسِكَ بَلْ تَعِيشُ لِأُسْرَتِكَ. وَالَّذِي يَتَحَكَّمُ بِسُلُوكِكَ دِينِيّاً هُوَ مِيزَانُ الشَّرْعِ. وَالشَّرْعُ يُكَلِّفُكَ بِأَنْ تُهَيِّئَ لَهَا عَيْشاً رَغِيدًا جَهْدَ اسْتِطَاعَتِكَ، وَبِأَنْ تُرَبِّيَ أَوْلاَدَكَ تَرْبِيَةً جِسْمِيَّةً وَنَفْسِيَّةً وَعَقْلِيَّةً تَامَّةً. وَلِكُلِّ ذَلِكَ أَسْبَابٌ أَقَامَهَا اللّهُ أَمَامَكَ. وَلَوْ أَنَّكَ أَعْرَضْتَ عَنْ هَذِهِ الأَسْبَابِ، وَأَنْتَ تَعِيشُ فِي خِضَمِّهَا، فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّكَ تُسِيءُ الأَدَبَ مَعَ اللّهِ بِإِعْرَاضِكَ عَنْ نِظَامِهِ الكَوْنِيِّ. يَقُولُ لَكَ اللّهُ: سَبِيلُكَ إِلَى رِعَايَةِ أَهْلِكَ أَنْ تَطْرُقَ بَابَ الأَسْبَابِ. فَإِذَا قُلْتَ: لاَ، أَنَا لاَ أَطْرُقُ الأَبْوَابَ، بَلْ أَطْرُقُ بَابَكَ مُبَاشَرَةً، يَقُولُ لَكَ اللّهُ: دَعْكَ مِنَ القَفْزِ المُبَاشِرِ إِلَى بَابِي، وَسِرْ إِلَيْهِ عَنْ طَرِيقِ مَا أَقُولُ لَكَ. انْزِلْ إِلَى السُّوقِ، اشْتَغِلْ، اكْدَحْ، تَاجِرْ، ازْرَعْ، اسْلُكِ السُّبُلَ الَّتِي يَفْتَحُهَا اللّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمَامَكَ. هَذَا هُوَ النَّهْجُ الَّذِي أَلْزَمَكَ بِهِ.

Sesungguhnya kamu tidak hidup untuk dirimu sendiri, melainkan hidup untuk keluargamu. Yang mengendalikan perilakumu secara agama adalah timbangan syariat. Syariat mewajibkanmu untuk berusaha sekuat tenaga menyediakan kehidupan yang nyaman bagi keluargamu, dan mendidik anak-anakmu dengan pendidikan jasmani, rohani, dan akal yang sempurna. Semua itu memiliki sebab-sebab yang Allah tetapkan di hadapanmu. Jika kamu berpaling dari sebab-sebab tersebut sementara kamu hidup di tengah-tengahnya, maka artinya kamu tidak beradab kepada Allah dengan berpaling dari sistem kosmik-Nya. Allah berfirman kepadamu: Jalanmu untuk merawat keluargamu adalah dengan menempuh sebab-sebab. Jika kamu berkata, “Tidak, saya tidak menempuh sebab-sebab, tetapi langsung meminta kepada-Mu,” maka Allah akan menjawab, “Tinggalkan keinginanmu untuk langsung menuju kepada-Ku, dan tempuhlah jalan yang telah Aku perintahkan kepadamu. Pergilah ke pasar, bekerja, berusaha, berdagang, bercocok tanam, tempuhlah jalan-jalan yang telah Allah buka di hadapanmu. Itulah jalan yang wajib kamu lalui.”

فَإِذَا جَاءَ مَنْ يَقُولُ: لِمَاذَا الْأَسْبَابُ؟ أَنَا مَعَ الْمُسَبِّبِ. نَقُولُ لَهُ: إِنَّكَ، وَأَنْتَ فِي هَذَا الْمُنَاخِ الَّذِي أَقَامَكَ اللهُ فِيهِ، تُسِيءُ الْأَدَبَ مَعَهُ عَزَّ وَجَلَّ، تَحْقِيقًا لِشَهْوَتِكَ الْخَفِيَّةِ، كَمَا قَالَ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ رَحِمَهُ اللهُ. 

Jika ada yang bertanya, “Mengapa harus menempuh sebab-sebab? Saya bersama Pencipta sebab-sebab,” maka kami katakan kepadanya: Dalam keadaan ini, di mana Allah telah menempatkanmu, kamu telah berperilaku tidak sopan kepada-Nya, hanya untuk memuaskan hasrat tersembunyimu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah, semoga Allah merahmatinya.

وَلِهَذَا اللَّوْنِ مِنَ الانْحِرَافِ صُوَرٌ وَاقِعِيَّةٌ كَثِيرَةٌ وَنَمَاذِجُ شَتَّى. وَلَنَذْكُرْ مِنْهَا بَعْضَ الْأَمْثِلَةِ: 

رَجُلٌ ذُو أُسْرَةٍ وَأَوْلَادٍ، يَشْتَغِلُ فِي السُّوقِ وَلَكِنَّهُ عِنْدَمَا يَأْتِي إِلَى الدَّارِ يَتَّجِهُ رَأْسًا إِلَى الزَّاوِيَةِ الَّتِي أَعَدَّهَا لِلْعِبَادَةِ فِي بَيْتِهِ، دُونَ أَنْ يَلْتَفِتَ يَمْنَةً وَلَا يَسْرَةً بَعْدَ السَّلَامِ التَّقْلِيدِيِّ يُلْقِيهِ عَلَى مَنْ حَوْلَهُ .. فَيُقْبِلُ عَلَى قُرْآنٍ يَقْرَؤُهُ، أَوْ يَتَّجِهُ إِلَى الْقِبْلَةِ يُصَلِّي النَّوَافِلَ وَالسُّنَنَ؛ دُونَ أَنْ يُبَاسِطَ زَوْجَتَهُ الَّتِي تَنْتَظِرُهُ، وَصِغَارَهُ الَّذِينَ مِنْ حَوْلِهَا ! 

أَنَا لَا أَتَخَيَّلُ . أَنَا أَصِفُ وَاقِعًا . مَا حُكْمُ الشَّرْعِ فِي هَذَا الْعَمَلِ؟  حُكْمُهُ، هَذَا الَّذِي يَقُولُهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ السَّكَنْدَرِيُّ. 


Dan untuk jenis penyimpangan ini, ada banyak contoh nyata dan berbagai model. Mari kita sebutkan beberapa contoh: 

Seorang pria yang memiliki keluarga dan anak-anak, bekerja di pasar, tetapi ketika dia pulang ke rumah, dia langsung menuju ke sudut ruangan yang dia persiapkan untuk beribadah di rumahnya, tanpa menoleh ke kanan atau kiri setelah memberikan salam biasa kepada orang-orang di sekitarnya. Dia langsung membaca Al-Qur’an atau menghadap kiblat untuk shalat sunnah dan nawafil, tanpa bercengkerama dengan istrinya yang menantinya, dan anak-anaknya yang berada di sekitarnya! 

Saya tidak sedang membayangkan; saya sedang menggambarkan kenyataan. Apa hukum syariat mengenai tindakan ini? Hukumnya adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Atha'illah As-Sakandari.

يَقُولُ لَهُ الشَّرْعُ: يَا هَذَا لَوْ كُنْتَ مُنْفَرِدًا لَا زَوْجَةَ لَكَ، وَلَا أَوْلَادَ وَلَا أَرْحَامَ، وَكَانَتْ دَارُكَ كَمَغَارَةٍ تَدْخُلُ إِلَيْهَا فَلَا تَجِدُ فِيهَا أَحَدًا تُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِذًا لَصَحَّ لَكَ أَنْ تَفْعَلَ هَذَا، لِأَنَّ اللهَ لَمْ يُعَلِّقْ بِعُنُقِكَ مَسْؤُولِيَّةَ أَحَدٍ، لَكِنَّ أَمَّا وَقَدْ أَقَامَكَ اللهُ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ وَأَخْضَعَكَ لِمَسْؤُولِيَّاتِهَا عِنْدَمَا جَعَلَكَ رَبَّ أُسْرَةٍ، فَقَدْ كَلَّفَكَ بِسِلْسِلَةِ أَوَامِرَ شَرْعِيَّةٍ دَاخِلَةٍ فِي مَعْنَى الْمِيزَانِ الَّذِي أَلْزَمَكَ اللهُ بِهِ.

Syariat berkata kepada orang ini: "Hai, seandainya kamu hidup sendirian tanpa istri, anak, atau kerabat, dan rumahmu seperti gua yang kamu masuki tanpa ada seorang pun yang harus kamu sapa, maka sah-sah saja bagimu untuk berbuat demikian, karena Allah tidak membebani pundakmu dengan tanggung jawab siapa pun. Namun, karena Allah telah menempatkanmu di dunia sebab-akibat dan membebanimu dengan tanggung jawabnya ketika Dia menjadikanmu kepala keluarga, maka Dia juga telah menugaskanmu dengan serangkaian perintah syariat yang termasuk dalam makna keseimbangan yang diwajibkan Allah atasmu.

اسْتِجَابَتُكَ لِهَذِهِ الْأَوَامِرِ هِيَ عِبَادَتُكَ، هِيَ قِرَاءَتُكَ، هِيَ تَسْبِيحُكَ وَتَحْمِيدُكَ وَتَهْلِيلُكَ . أَنْ تَدْخُلَ إِلَى الدَّارِ وَقَدْ رَسَمْتَ الْبَسْمَةَ الْحَارَّةَ عَلَى وَجْهِكَ. أَنْ تُسَلِّمَ عَلَى مَنْ حَوْلَكَ تَسْلِيمَةَ الْإِنْسَانِ الْوَدُودِ الْمُشْتَاقِ إِلَى أُسْرَتِهِ وَأَوْلَادِهِ، ثُمَّ تَجْلِسَ إِلَيْهِمْ تَنْثُرُ وَتَنْشُرُ مِنْ مَحَبَّتِكَ بَيْنَهُمْ .تِلْكَ هِيَ الْعِبَادَةُ الَّتِي أَلْزَمَكَ اللهُ بِهَا .

Kepatuhanmu terhadap perintah-perintah ini adalah ibadahmu, adalah bacaanmu, adalah tasbihmu, tahmidmu, dan tahlilmu. Ketika kamu masuk ke rumah dengan senyum hangat di wajahmu, menyapa mereka di sekitarmu dengan sapaan penuh kasih dari seorang yang merindukan keluarga dan anak-anaknya, lalu duduk bersama mereka, menyebarkan cinta kasih di antara mereka, itulah ibadah yang diwajibkan Allah kepadamu.

الصُّورَةُ، صُورَةُ دُنْيَا تَتَعَامَلُ بِهَا، وَشَهَوَاتٌ تُمَارِسُهَا، وَلَهْوٌ تَتَقَلَّبُ فِيهِ .. لَكِنَّ الْوَاقِعَ الْكَامِنَ وَرَاءَ هَذِهِ الصُّورَةِ، عِبَادَةٌ تَتَقَرَّبُ بِهَا إِلَى اللهِ لِأَنَّ اللهَ أَقَامَكَ مِنْ هَذِهِ الْأُسْرَةِ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ، وَمِنْ ثَمَّ فَقَدْ أَخْضَعَكَ لِنِظَامِهَا، وَلَوْ قُلْتَ: بَلْ سَأَقْفِزُ فَوْقَ التَّعَامُلِ مَعَ الْأَسْبَابِ الَّتِي لَا حَقِيقَةَ لَهَا أَمَامَ سُلْطَانِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ، وَأَتَعَامَلُ مَعَ الْمُسَبِّبِ، فَأَدْعُو اللهَ لِزَوْجَتِيَّ فِي السُّجُودِ بِأَنْ يُكْرِمَهَا وَيُدْخِلَ السُّرُورَ إِلَى فُؤَادِهَا وَيُغْنِيَهَا عَنْ مُجَامَلَاتِي وَمُبَاسَطَاتِي، إِذَنْ فَهِيَ قِلَّةُ أَدَبٍ مِنْكَ مَعَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ !

Penampilannya adalah dunia yang kamu jalani, keinginan yang kamu jalani, dan hiburan yang kamu nikmati. Namun, di balik penampilan ini, ada ibadah yang mendekatkanmu kepada Allah karena Allah telah menempatkanmu dalam keluarga ini di dunia sebab-akibat, dan oleh karena itu, Dia juga telah membebanimu dengan aturannya. Jika kamu berkata: ‘Sebaliknya, aku akan melompat melewati interaksi dengan sebab-sebab yang tidak memiliki kenyataan di hadapan kekuasaan dan kehendak Allah, dan aku hanya akan berurusan dengan Sang Penyebab, dengan hanya berdoa kepada Allah dalam sujud agar Dia memberi kemuliaan kepada istriku, memberinya kebahagiaan, dan membuatnya tidak membutuhkan interaksi dan perhatian dariku,’ maka ini adalah kurangnya adab darimu terhadap Allah Yang Maha Kuasa!"

عَلَّمَكَ اللهُ الطَّرِيقَةَ الَّتِي بِهَا تُسْعِدُ أَهْلَكَ، إِذْ قَضَى بِأَنْ يُثِيبَ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ، يَجْعَلُ الزَّوْجَ مِنْ نَفْسِهِ سَكَنًا لِزَوْجَتِهِ بِمَا يَنْهَضُ بِهِ مِنَ الْوَظَائِفِ الَّتِي كَلَّفَهُ اللهُ بِهَا، وَتَجْعَلُ الزَّوْجَةُ مِنْ نَفْسِهَا سَكَنًا لَهُ، بِمَا تَنْهَضُ بِهِ هِيَ الْأُخْرَى مِنَ الْوَظَائِفِ الَّتِي كَلَّفَهَا اللهُ بِهَا، فَيُؤْجِرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلًّا مِنْهُمَا بِالْآخَرِ، وَيَتَحَقَّقُ قَانُونُهُ الْقَائِلُ: ﴿وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةٌ أَتَصْبِرُونَ﴾ [الْفُرْقَانِ: ٢٠/٢٥] وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَفَكَّ هَذِهِ الْعَلَاقَةَ بَيْنَهُمَا فَلَمْ يُحْوِجْ زَوْجًا إِلَى زَوْجَةٍ وَلَا زَوْجَةً إِلَى زَوْجٍ، لِأَنَّ سُلْطَانَ الْأَسْبَابِ كُلِّهَا بِيَدِهِ، كَذَلِكَ شَأْنُ الْأَبَوَيْنِ مَعَ الْأَوْلَادِ وَشَأْنُ الْأَوْلَادِ مَعَ الْآبَاءِ، وَشَأْنُ الْخَدَمَاتِ السَّارِيَةِ مِنَ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ. قَانُونٌ أَقَامَهُ اللهُ لِيَبْتَلِيَ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ، وَلِيَكُونَ هَذَا الرَّبْطُ مَصْدَرَ مَثُوبَةٍ لَهُمْ عِنْدَ الرِّعَايَةِ وَالِاهْتِمَامِ، وَمَصْدَرَ عِقَابٍ عِنْدَ الْإِعْرَاضِ وَعَدَمِ الْمُبَالَاةِ.

Allah telah mengajarkan kepadamu cara untuk membahagiakan keluargamu, dengan menetapkan bahwa manusia dapat saling memberi manfaat satu sama lain. Allah menjadikan suami sebagai pelindung bagi istrinya melalui tanggung jawab yang Dia berikan kepadanya, dan istri juga menjadi pelindung bagi suaminya dengan tanggung jawab yang Allah berikan kepadanya. Dengan demikian, Allah memberikan pahala kepada masing-masing melalui yang lain, dan hukum-Nya yang berbunyi: “Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (QS. Al-Furqan: 20) pun terealisasi. Seandainya Allah menghendaki, Dia bisa saja memutus hubungan ini sehingga tidak ada suami yang membutuhkan istri dan tidak ada istri yang membutuhkan suami, karena seluruh kekuasaan sebab-sebab ada di tangan-Nya. Hal yang sama berlaku antara orang tua dan anak, serta hubungan pelayanan yang dilakukan manusia satu sama lain. Ini adalah hukum yang Allah tetapkan untuk menguji manusia satu sama lain, sehingga hubungan ini menjadi sumber pahala ketika dipelihara dengan baik dan menjadi sumber hukuman ketika diabaikan dan tidak diperhatikan.

فَإِذَا جَاءَ مَنْ يَقُولُ: بَلْ أُحِيلُ هَذِهِ الرِّعَايَةَ إِلَى اللهِ الَّذِي بِيَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ، وَأَكْفِي نَفْسِي مُؤْنَةَ الْمَشَاغِلِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي تُقْصِينِي عَنْ أَوْرَادِي وَعِبَادَاتِي، فَلَا رَيْبَ أَنَّهُ يَتَلَبَّسُ مِنْ مَوْقِفِهِ هَذَا بِنَوْعٍ سَمِجٍ مِنْ سُوءِ الْأَدَبِ مَعَ اللهِ، وَالتَّطَاوُلِ بِالنَّقْدِ عَلَى نِظَامِهِ الَّذِي قَضَى أَنْ يَأْخُذَ بِهِ عِبَادَهُ. وَلَا شَكَّ أَنَّ مِثْلَ هَذَا الْإِنْسَانِ مَحْجُوبٌ عَنْ اللهِ بِشَهْوَةٍ مِنْ شَهَوَاتِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ الْخَفِيَّةِ، مِنْ حَيْثُ يَحْسَبُ أَنَّهُ يَسْعَى إِلَى الِابْتِعَادِ عَنْ الدُّنْيَا الَّتِي تَحْجُبُهُ عَنْ اللهِ. 

Jika ada yang berkata, "Aku serahkan perhatian ini kepada Allah yang memegang segalanya, dan aku akan menghindari urusan duniawi yang membuatku jauh dari wirid dan ibadahku," maka tidak diragukan lagi bahwa sikap seperti ini mencerminkan kurangnya adab kepada Allah dan kritik terhadap sistem-Nya yang telah Dia tetapkan untuk diikuti oleh hamba-hamba-Nya. Orang seperti ini, tanpa disadari, terhalang dari Allah oleh keinginan duniawi tersembunyi, meskipun dia mengira sedang berusaha menjauh dari dunia yang menghalanginya dari Allah.

وَقِسْ عَلَى مِثَالِ رَبِّ الْأُسْرَةِ مَعَ أَهْلِهِ وَأَوْلَادِهِ، النَّاسَ الَّذِينَ شَاءَ اللهُ أَنْ يُقِيمَهُمْ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ عِنْدَمَا وَكَلَ إِلَيْهِمْ مَسْؤُولِيَّةَ رِعَايَةِ الْأُمَّةِ فِي أَيٍّ مِنْ مُسْتَوَيَاتِهَا الْمُتَفَاوِتَةِ، أَوِ الَّذِينَ وَكَلَ إِلَيْهِمْ رِعَايَةَ الدِّينِ فِي مُجْتَمَعَاتِهِمْ بِالتَّعْلِيمِ وَالتَّثْقِيفِ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوِ الَّذِينَ أَنَاطَ بِهِمْ عَجَلَةَ الْاقْتِصَادِ أَوْ حَمَّلَهُمْ مَسْؤُولِيَّةَ إِحْيَاءِ مَوَاتٍ مِنْ أَرْضٍ .

هَؤُلَاءِ وَأَمْثَالُهُمْ، مِنَ الَّذِينَ أَقَامَهُمُ اللهُ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ، أَيِّ جَعَلَ مِنْهُمْ وَسَائِلَ لِمَقَاصِدَ، إِنَّمَا تَتَمَثَّلُ عِبَادَتُهُمْ لِلَّهِ فِي انْقِيَادِهِمْ لِمَا أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهِ، وَفِي الْقِيَامِ بِالْمَسْؤُولِيَّاتِ الَّتِي أَنَاطَهَا اللهُ بِهِمْ، بَعْدَ الْقِيَامِ بِالْجَامِعِ الْمُشْتَرَكِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالطَّاعَاتِ الَّتِي خَاطَبَ بِهَا اللهُ النَّاسَ جَمِيعًا. 

Dan bandingkanlah contoh seorang kepala keluarga dengan keluarganya dan anak-anaknya, dengan orang-orang yang Allah kehendaki untuk ditempatkan dalam dunia sebab-akibat ketika Dia memberikan tanggung jawab kepada mereka untuk mengurus umat dalam berbagai tingkatannya, atau mereka yang diberikan tanggung jawab untuk menjaga agama di masyarakat mereka melalui pendidikan, pengajaran, amar ma’ruf nahi munkar, atau mereka yang diberi amanah untuk menggerakkan roda ekonomi atau yang diberi tanggung jawab untuk menghidupkan lahan yang mati. 

Orang-orang ini dan yang serupa dengan mereka, yang Allah tempatkan dalam dunia sebab-akibat, yakni menjadikan mereka sebagai sarana untuk mencapai tujuan, ibadah mereka kepada Allah tercermin dalam ketaatan mereka terhadap apa yang telah Allah tetapkan bagi mereka, dan dalam menjalankan tanggung jawab yang Allah berikan kepada mereka, setelah melaksanakan ibadah dan ketaatan umum yang Allah perintahkan kepada seluruh manusia.

وَمِنَ الْأَخْطَاءِ الْجَسِيمَةِ الَّتِي يَقَعُ فِيهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، مَا يَتَصَوَّرُونَهُ مِنْ أَنَّ الطَّاعَاتِ وَالْعِبَادَةَ مَحْصُورَةٌ فِي أَعْمَالٍ مَحْدُودَةٍ مُعَيَّنَةٍ، فَإِذَا تَجَاوَزَهَا أَحَدُهُمْ وَقَعَ فِي فَلَكِ الدُّنْيَا وَشَوَاغِلِهَا ! 

غَيْرَ أَنَّ هَذِهِ نَظْرَةٌ تَقْلِيدِيَّةٌ بَاطِلَةٌ . وَالْحَقُّ أَنَّ الْعَمَلَ الصَّالِحَ كُلَّهُ عِبَادَةٌ؛ إِنِ اسْتَقَامَتِ النِّيَّةُ وَأُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ .. غَيْرَ أَنَّ صَلَاحَ الْعَمَلِ نَاظِرٌ لِلْحَالِ الَّتِي يَمُرُّ بِهَا الْإِنْسَانُ وَلِلْوَظِيفَةِ الَّتِي أَقَامَهُ اللهُ عَلَيْهَا. يَقُولُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ تَعْبِيرًا عَنْ هَذِهِ الْحَقِيقَةِ فِي وَاحِدَةٍ مِنْ حِكَمِهِ: «تَنَوَّعَتِ الْأَعْمَالُ بِقَدْرِ تَنَوُّعِ وَارِدَاتِ الْأَحْوَالِ» أَيِّ فَلَيْسَ كُلُّ عَمَلٍ صَالِحٍ صَالِحًا بِالنِّسْبَةِ إِلَى النَّاسِ كُلِّهِمْ. بَلْ يَتَوَقَّفُ الْحُكْمُ بِصَلَاحِهِ أَوْ عَدَمِ صَلَاحِهِ عَلَى الْحَالِ الَّتِي يَمُرُّ بِهَا صَاحِبُ الْفِعْلِ، وَعَلَى الْوَظَائِفِ وَالْمَهَامِّ الَّتِي أَقَامَهُ اللهُ عَلَيْهَا.

Salah satu kesalahan besar yang sering dilakukan oleh banyak orang adalah keyakinan bahwa ketaatan dan ibadah terbatas pada amal-amal tertentu saja. Jika seseorang melampaui amal-amal itu, dia dianggap masuk ke dalam dunia dan kesibukannya! 

Namun, pandangan ini adalah pandangan tradisional yang keliru. Kebenarannya adalah bahwa setiap amal saleh adalah ibadah jika niatnya benar dan ditujukan untuk mencari ridha Allah. Namun, kebaikan amal itu bergantung pada keadaan yang sedang dialami oleh seseorang dan pada tugas yang Allah tetapkan untuknya. Ibnu Atha’illah menggambarkan kebenaran ini dalam salah satu hikmahnya: "Amal-amal beraneka ragam sesuai dengan beraneka ragamnya kondisi spiritual." Artinya, tidak setiap amal saleh dianggap baik bagi semua orang. Kebaikan atau ketidakbaikan suatu amal bergantung pada keadaan yang dialami oleh pelakunya dan pada tugas serta tanggung jawab yang Allah berikan kepadanya.

فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ قَضَى اللهُ لَهُ بِالِانْقِطَاعِ عَنْ الْعَلَاقَاتِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ، وَالِابْتِعَادِ عَنْ مَسْؤُولِيَّاتِ الْأُسْرَةِ، يَتَمَثَّلُ فِي طَاعَاتٍ وَعِبَادَاتٍ شَخْصِيَّةٍ تَعُودُ بِالْفَائِدَةِ إِلَى ذَاتِهِ وَشَخْصِهِ هُوَ، أَمَّا الْعَمَلُ الصَّالِحُ بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ قَضَى اللهُ لَهُ بِأَنْ يَتَحَمَّلَ إِحْدَى الْمَهَامِّ السِّيَاسِيَّةِ أَوِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ فَيَتَمَثَّلُ فِي خِدْمَةِ أُمَّتِهِ مِنْ خِلَالِ قِيَامِهِ أَصْدَقَ قِيَامٍ بِالْوَظِيفَةِ الَّتِي أُنِيطَتْ بِهِ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ فِي حَقِّ مَنْ وُكِلَّتْ إِلَيْهِ حِرَاسَةُ ثَغْرٍ أَوْ رَدُّ لِغَائِلَةِ عُدْوَانٍ، هُوَ الْإِخْلَاصُ بِالْقِيَامِ بِمَا قَدْ وُكِلَ إِلَيْهِ، وَهَكَذَا .. عَلَى أَنْ لَا نَنْسَى أَنَّ هُنَاكَ قَدْرًا مُشْتَرَكًا مِنَ الطَّاعَاتِ الْوَاجِبَةِ يَشْتَرِكُ فِي ضَرُورَةِ النُّهُوضِ بِهَا كُلُّ الْفِئَاتِ عَلَى اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ وَأَعْمَالِهِمْ، كَالصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَالصِّيَامِ وَالْقَدْرِ الْأَسَاسِيِّ مِنَ النُّسُكِ وَالْأَوْرَادِ وَالْأَذْكَارِ. 

فَهَذَا هُوَ مَعْنَى الشَّطْرِ الْأَوَّلِ مِنْ حِكْمَةِ ابْنِ عَطَاءِ اللهِ الثَّانِيَةِ، وَالَّتِي نَحْنُ بِصَدَدِ شَرْحِهَا. وَهُوَ «إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ». 

Amal saleh bagi orang yang telah ditetapkan oleh Allah untuk terputus dari hubungan sosial dan menjauh dari tanggung jawab keluarga adalah berupa ketaatan dan ibadah pribadi yang bermanfaat bagi dirinya sendiri. Sedangkan, amal saleh bagi seseorang yang Allah tetapkan untuk memikul salah satu tugas politik atau sosial adalah dengan melayani umatnya melalui pelaksanaan tugas yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Amal saleh bagi orang yang diberi tanggung jawab menjaga perbatasan atau menanggulangi ancaman musuh adalah dengan menjalankan tugasnya dengan ikhlas. Begitu pula seterusnya. Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa ada ketaatan yang wajib dan berlaku untuk semua golongan, meskipun keadaan dan pekerjaan mereka berbeda, seperti shalat wajib, puasa, serta ibadah dan dzikir dasar. 

Materi FGD 4: Insya Allah Sabtu Pahing, 7 September 2024

Itulah makna dari bagian pertama hikmah Ibnu Atha'illah yang kedua yang sedang kita jelaskan, yaitu: "Keinginanmu untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan dunia, padahal Allah telah menempatkanmu dalam sebab-sebab dunia, berasal dari syahwat yang tersembunyi."

أَمَّا الشَّطْرُ الثَّانِي مِنْهَا فَهُوَ قَوْلُهُ: «وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ».

Adapun bagian kedua dari hikmah tersebut adalah perkataannya: "Dan keinginanmu untuk mengejar sebab-sebab dunia, padahal Allah telah menempatkanmu dalam keadaan terlepas dari keterikatan dunia, merupakan kemunduran dari cita-cita yang tinggi."

هُنَالِكَ أَشْخَاصٌ جَرَّدَهُمُ اللهُ تَعَالَى عَنْ مَجَالِ التَّعَامُلِ مَعَ الْأَسْبَابِ، أَوْ هِيَ حَالَةٌ شَرْعِيَّةٌ أَوْ وَاقِعِيَّةٌ تَمُرُّ بِهِمْ تُبْعِدُهُمْ عَنْ مَجَالِ التَّعَامُلِ مَعَهَا. زَيْدٌ مِنَ النَّاسِ مِثْلًا لَيْسَتْ فِي عُنُقِهِ مَسْؤُولِيَّةُ زَوْجَةٍ وَلَا أَوْلَادٍ وَلَا أَيٍّ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالْأَرْحَامِ، وَعِنْدَهُ بُلْغَةٌ مِنَ الْعَيْشِ وَمُقَوِّمَاتِهِ، يَتَقَاذَفُهُ عَامِلَانِ، يَخْتَصِمَانِ فِي نَفْسِهِ يَقُولُ لَهُ الْعَامِلُ الْأَوَّلُ: هَا أَنْتَ تَمْلِكُ مِنْ أَسْبَابِ الْعَيْشِ مَا يَكْفِيكَ فَلِمَاذَا لَا تَكْتَفِي بِهَذِهِ الْبُلْغَةِ؟ وَلِمَاذَا لَا تَسْتَعِيضُ عَنِ الْمَزِيدِ الَّذِي لَا حَاجَةَ لَكَ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا بِطَلَبِ الْعِلْمِ وَالتَّوَسُّعِ فِي مَعْرِفَةِ شَرَائِعِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَتَوْفِيرِ مَا لَدَيْكَ مِنْ فَائِضِ الْوَقْتِ وَالْجُهْدِ لِلطَّاعَاتِ وَالْقُرُبَاتِ وَخِدْمَةِ دِينِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ 

Ada orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala lepaskan dari urusan yang mengharuskan mereka berurusan dengan sebab-sebab dunia, atau kondisi syar'i atau kenyataan hidup yang mereka alami menjauhkan mereka dari hal itu. Misalnya, seorang pria tidak memiliki tanggung jawab terhadap istri, anak, atau kerabat, dan dia memiliki cukup harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam dirinya terjadi pergulatan antara dua keinginan. Keinginan pertama berkata kepadanya: "Kamu sudah memiliki kecukupan dalam urusan dunia, jadi mengapa tidak mencukupkan diri dengan apa yang kamu miliki? Mengapa tidak memanfaatkan waktu dan tenagamu yang tersisa untuk mencari ilmu, memperluas pengetahuan tentang syariat Allah, dan mengabdikan diri pada ketaatan serta ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala?"

وَيَقُولُ لَهُ الْعَامِلُ الثَّانِي: قُمْ فَاطْرُقْ بَابَ الْمَزِيدِ مِنَ الرِّزْقِ، لَاحِقْ سُبُلَ الْكَدْحِ وَالتِّجَارَةِ، وَابْحَثْ عَنِ الْأَسْبَابِ الَّتِي تَزِيدُكَ رَفَاهِيَةً وَغِنًى، فَإِنَّ اللهَ يَكْرَهُ الْعَبْدَ الْبَطَّالَ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ يُلَاحِقُ الْبَطَّالِينَ فِي الْمَسْجِدِ بِدُرَّتِهِ. تَرَى مَا الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَهُ هَذَا الْإِنْسَانُ، وَلِأَيِّ النِّدَاءَيْنِ يَسْتَجِيبُ؟

يُجِيبُ عَنْ هَذَا السُّؤَالِ الْمَقْطَعُ الثَّانِي مِنْ حِكْمَةِ ابْنِ عَطَاءِ اللهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: "وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ".

Dan keinginan kedua berkata kepadanya: "Bangkitlah dan cari rezeki lebih banyak, kejarlah jalan usaha dan perdagangan, dan carilah sebab-sebab yang dapat menambah kemakmuran dan kekayaanmu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hamba yang pengangguran, dan Umar (bin Khattab) pernah mengejar orang-orang yang menganggur di masjid dengan tongkatnya." Maka, apa yang seharusnya dilakukan oleh orang ini, dan seruan mana yang seharusnya ia penuhi? 

Jawaban untuk pertanyaan ini terletak pada bagian kedua dari hikmah Ibnu Athaillah, yaitu perkataannya: "Dan keinginanmu untuk mengejar sebab-sebab dunia, padahal Allah telah menempatkanmu dalam keadaan terlepas dari keterikatan dunia, merupakan kemunduran dari cita-cita yang tinggi." 

مَعْنَى هَذَا الْكَلَامِ: إِذَا كُنْتَ تُرِيدُ أَنْ تَرْكَنَ إِلَى الدَّعَةِ وَالْكَسَلِ اعْتِمَادًا عَلَى مَا عِنْدَكَ مِنْ بُلْغَةِ الْعَيْشِ فَتَأْكُلَ وَتَشْرَبَ وَتَلْهُوَ وَتَنَامَ إِلَى أَنْ تَمُوتَ، فَاعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ هِيَ حَيَاةُ الْبَهَائِمِ. أَمَّا إِنْ كَانَ قَصْدُكَ أَنْ تَتَّجِهَ بَعْدَ أَنْ جَعَلَكَ اللهُ طَلِيقًا مِنَ الْأَسْبَابِ وَحُقُوقِهَا عَلَيْكَ إِلَى دِرَاسَةِ دِينِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَخِدْمَةِ شَرَائِعِهِ مُسْتَغْنِيًا بِذَلِكَ عَنِ الْوَظَائِفِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَمَسَالِكِ التَّوَسُّعِ فِي الرِّزْقِ فَهَذَا هُوَ النَّهْجُ الصَّحِيحُ وَالسُّلُوكُ الْأَمْثَلُ، وَهُوَ الْأَلْيَقُ بِأَصْحَابِ النُّفُوسِ الْعَالِيَةِ وَذَوِي الْهِمَمِ السَّامِيَةِ.

Makna dari perkataan ini adalah: Jika keinginanmu adalah untuk bersantai dan bermalas-malasan karena merasa cukup dengan rezeki yang ada, sehingga kamu hanya makan, minum, bersenang-senang, dan tidur hingga mati, maka ketahuilah bahwa ini adalah kehidupan binatang. Namun, jika niatmu adalah untuk mengarahkan diri, setelah Allah membebaskanmu dari keterikatan pada sebab-sebab dunia dan tanggung jawabnya, untuk mempelajari agama Allah dan melayani syariat-Nya, dengan menghindari pekerjaan duniawi dan jalan-jalan untuk memperluas rezeki, maka inilah jalan yang benar dan perilaku yang terbaik, serta lebih layak bagi mereka yang memiliki jiwa yang tinggi dan cita-cita yang mulia. 

ذَلِكَ لِأَنَّ اللهَ - وَقَدْ أَبْعَدَكَ عَنِ الْقَرَابَةِ وَالْأَرْحَامِ وَأَغْنَاكَ عَنِ الزَّوْجَةِ وَذُيُولِهَا - أَقَامَكَ مِنْ ذَلِكَ فِي التَّجْرِيدِ، وَلَمْ يُقِمْكَ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ. فَخَيْرٌ لَكَ إِذَنْ مِنْ مُلَاحَقَةِ الْأَسْبَابِ الَّتِي أَبْعَدَهَا اللهُ عَنْكَ، أَنْ تَسْتَجِيبَ لِلْحَقِّ الَّذِي يُلَاحِقُكَ، مِنْ خِدْمَةِ دِينِهِ وَدِرَاسَةِ شَرَائِعِهِ، أَوْ أَنْ تَلْتَحِقَ بِصُفُوفِ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِهِ، إِنْ تَفَتَّحَتْ لَكَ إِلَى ذَلِكَ سُبُلٌ شَرْعِيَّةٌ صَحِيحَةٌ. 

Hal ini karena Allah, setelah menjauhkanmu dari tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabat, dan mencukupkanmu tanpa istri dan tanggungannya, telah menempatkanmu dalam keadaan terlepas dari keterikatan dunia, dan tidak menempatkanmu di dunia sebab-sebab. Maka, lebih baik bagimu daripada mengejar sebab-sebab dunia yang telah Allah jauhkan darimu adalah merespons seruan kebenaran yang menghampirimu, seperti melayani agama-Nya, mempelajari syariat-Nya, atau bergabung dengan barisan para pejuang di jalan-Nya, jika ada jalan yang sah dan benar untuk melakukannya.

فَإِنْ قَالَ هَذَا الْإِنْسَانُ: وَلَكِنَّ الْعَمَلَ أَيْضًا عِبَادَةٌ، وَقَدْ قَالَ اللهُ كَذَا وَكَذَا. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ كَذَا وَكَذَا . فَلْيَعْلَمْ هَذَا الْإِنْسَانُ أَنَّ هَذَا الْخَاطِرَ الَّذِي يُرَاوِدُهُ إِنَّمَا هُوَ تَسْوِيلٌ مِنَ الشَّيْطَانِ لَهُ. وَأَنَّهُ لَيْسَ إِلَّا نَتِيجَةَ انْحِطَاطٍ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ، كَمَا قَالَ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ. 

Jika seseorang berkata: "Namun, bekerja juga merupakan ibadah, dan Allah telah berfirman begini dan begitu, dan Rasulullah ﷺ juga bersabda begini dan begitu," maka ketahuilah bahwa pemikiran tersebut sebenarnya adalah godaan dari setan. Hal ini adalah hasil dari kemunduran cita-cita tinggi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah.

وَلَوْ كَانَ هَذَا الْخَاطِرُ رَبَّانِيًّا صَحِيحًا، إِذَنْ لَكَانَ عَلَيْنَا أَنْ نُسَفِّهَ عَمَلَ عَشَرَاتِ الْوَافِدِينَ إِلَى هَذِهِ الْبَلْدَةِ فِي كُلِّ عَامٍ، شَبَابٌ أَشِدَّاءُ سَاقَهُمُ التَّجَرُّدُ مِنْ أَثْقَالِ الْأَسْبَابِ الْمَعِيشِيَّةِ إِلَى التَّغَرُّبِ عَنْ أَوْطَانِهِمْ، لِدِرَاسَةِ الْإِسْلَامِ وَأَحْكَامِ الدِّينِ فِي هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّتِي سَمِعُوا الْكَثِيرَ عَنْ فَضْلِهَا وَبَرَكَتِهَا وَمَزَايَاهَا. لَقَدْ كَانَ بِوُسْعِهِمْ أَنْ يَضِيقُوا ذَرْعًا بِالتَّجَرُّدِ الَّذِي أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهِ، وَأَنْ يَتَكَلَّفُوا الْبَحْثَ عَنْ وَسَائِلَ لِجَمْعِ الْمَزِيدِ مِنَ الْمَالِ وَالثَّرَوَاتِ، وَلَكِنَّهُمْ تَعَامَلُوا مَعَ التَّجَرُّدِ الَّذِي أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهِ، وَانْتَهَزُوا فُرْصَةَ تِلْكَ الْحَالِ الَّتِي قَدْ تَغِيبُ عَنْ حَيَاتِهِمْ وَلَا تَعُودُ، فَأَقْبَلُوا إِلَى مَعَاهِدِ دِمَشْقَ يَعْكُفُونَ فِيهَا عَلَى دِرَاسَةِ دِينِ اللهِ، لِيَعُودُوا رُسُلَ هِدَايَةٍ وَتَعْلِيمٍ إِلَى أَوْطَانِهِمْ. 

Jika pemikiran itu benar-benar dari Allah, maka kita harus mengecam pekerjaan puluhan pemuda yang datang setiap tahun ke kota ini, meninggalkan tanah air mereka demi mempelajari Islam dan hukum-hukum agama di sini, tempat yang mereka dengar memiliki banyak keutamaan, berkah, dan kelebihan.

Mereka bisa saja tergoda untuk meninggalkan keterlepasan dari sebab-sebab dunia yang telah Allah tetapkan, dan berusaha mencari lebih banyak harta dan kekayaan, tetapi mereka memilih untuk memanfaatkan kesempatan yang mungkin tidak akan terulang dalam hidup mereka. Mereka memilih untuk mendalami agama Allah di lembaga-lembaga Damaskus agar bisa kembali ke tanah air mereka sebagai pembawa petunjuk dan pengajaran.

هَؤُلَاءِ الشَّبَابُ، مَا دَامُوا لَمْ يَقْطَعُوا أَنْفُسَهُمْ عَنْ مَسْؤُولِيَّاتٍ عَائِلِيَّةٍ أَوْ اجْتِمَاعِيَّةٍ أَوْ سِيَاسِيَّةٍ أَنَاطَهَا اللهُ بِهِمْ، عِنْدَمَا جَاؤُوا يَنْتَجِعُونَ عُلُومَ الْإِسْلَامِ، فِي هَذِهِ الْبَلْدَةِ، فَإِنَّا لَا بُدَّ أَنْ نَنْظُرَ إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْإِكْبَارِ، وَأَنْ نَعُدَّهُمْ صِنْفًا مُمَيَّزًا مِنَ الْبَشَرِ، نَسْتَرْحِمُ اللهَ بِهِمْ. وَلَكِنْ لَوْ أَنَّ رَجُلًا وَضَعَهُ اللهُ تَحْتَ مَسْؤُولِيَّةِ زَوْجَةٍ وَأَوْلَادٍ، أَوْ تَحْتَ مَسْؤُولِيَّةِ رِعَايَةٍ سِيَاسِيَّةٍ أَوِ اجْتِمَاعِيَّةٍ لِأُمَّتِهِ أَوْ أَهْلِ بَلْدَتِهِ، فَتَرَكَ الْمَهَمَّةَ الَّتِي أَقَامَهُ اللهُ عَلَيْهَا وَجَعَلَ مِنْهُ سَبَبًا لِإِصْلَاحِ حَالٍ أَوْ لِتَحْقِيقِ خَيْرٍ، وَأَقْبَلَ إِلَى مِثْلِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ يَطْلُبُ الْعِلْمَ أَوْ سَعَى إِلَى الِانْدِمَاجِ فِي صُفُوفِ الْمُجَاهِدِينَ، فَهُوَ مُخَالِفٌ بِذَلِكَ لِنِظَامِ الْإِسْلَامِ وَهَدْيِهِ، وَمُتَكَلِّفٌ تَنْقِيضَ مَا أَقَامَهُ اللهُ فِيهِ وَكَلَّفَهُ بِهِ.

Para pemuda ini, selama mereka tidak meninggalkan tanggung jawab keluarga, sosial, atau politik yang Allah bebankan kepada mereka saat datang untuk menuntut ilmu di kota ini, harus kita pandang dengan rasa hormat dan anggap sebagai kelompok manusia yang istimewa, yang melalui mereka kita memohon rahmat Allah. Namun, jika seseorang yang telah Allah berikan tanggung jawab atas keluarga, atau tanggung jawab politik atau sosial untuk umatnya atau penduduk kotanya, meninggalkan tugas yang telah Allah tetapkan baginya, yang merupakan sarana perbaikan atau kebaikan, dan malah datang ke kota ini untuk menuntut ilmu atau bergabung dengan barisan pejuang, maka ia telah melanggar aturan dan petunjuk Islam, serta menyalahi tugas yang Allah telah tetapkan untuknya.

وَمِنْ هُنَا نَعْلَمُ أَنَّ الشَّرْعَ هُوَ الْمِيزَانُ الَّذِي بِهِ يُعْلَمُ حَالُ الْإِنْسَانِ، هِيَ حَالُ تَجَرُّدٍ وَتَحَرُّرٍ مِنَ الْأَسْبَابِ، أَمْ هِيَ حَالُ تَقَيُّدٍ بِهَا وَتَعَامُلٍ مَعَهَا. فَإِنْ تَجَاوَزَ مِيزَانَ الشَّرْعِ إِلَى اتِّبَاعِ مَا يَحْلُو لَهُ أَوْ تَهْفُو إِلَيْهِ نَفْسُهُ، إِذَنْ لَا بُدَّ أَنْ يَنْحَرِفَ إِلَى مَا سَمَّاهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ «الشَّهْوَةَ الْخَفِيَّةَ» أَوْ إِلَى مَا سَمَّاهُ «الْهُبُوطَ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ». وَإِلَيْكَ طَائِفَةً مِنَ التَّطْبِيقَاتِ الَّتِي تُبَصِّرُكَ بِهَذَا الْقَانُونِ الشَّرْعِيِّ الدَّقِيقِ وَسُبُلِ التَّعَامُلِ مَعَهُ:

Dari sini kita memahami bahwa syariat adalah timbangan yang digunakan untuk mengetahui keadaan seseorang, apakah dia dalam keadaan terlepas dan bebas dari sebab-sebab duniawi, ataukah dia terikat dan berhubungan dengan sebab-sebab tersebut. Jika seseorang melampaui timbangan syariat untuk mengikuti apa yang ia sukai atau yang diinginkan oleh nafsunya, maka pasti ia akan menyimpang menuju apa yang disebut oleh Ibnu Athaillah sebagai "syahwat tersembunyi" atau "kemunduran dari cita-cita tinggi." Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan yang akan menjelaskan hukum syariat ini dan cara menghadapinya:

الْمِثَالُ الْأَوَّلُ: مَجْمُوعَةٌ مِنَ النَّاسِ تَوَجَّهُوا حُجَّاجًا إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ. أَمَّا الْبَعْضُ مِنْهُمْ فَمُتَحَرِّرُونَ مِنْ سَائِرِ الْقُيُودِ وَالتَّبِعَاتِ وَالْمَسْؤُولِيَّاتِ، مُتَفَرِّغُونَ لِأَدَاءِ هَذِهِ الشَّعِيرَةِ، مُقْبِلُونَ إِلَى مَزِيدٍ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْقُرُبَاتِ. وَأَمَّا بَعْضُهُمْ فَأَطِبَّاءُ أُنِيطَتْ بِهِمْ مَسْؤُولِيَّةُ الرِّعَايَةِ الْجِسْمِيَّةِ لِلْحُجَّاجِ وَمُعَالَجَةُ مَنْ يَتَعَرَّضُونَ مِنْهُمْ لِلْآلَامِ أَوِ الْأَسْقَامِ، أَوْ مُتَعَهِّدُونَ أُنِيطَتْ بِهِمْ مَسْؤُولِيَّةُ تَوْفِيرِ عَوَامِلِ الرَّاحَةِ وَالْحَاجَاتِ الَّتِي لَا بُدَّ مِنْهَا لَهُمْ. 

Contoh pertama: Sekelompok orang yang berangkat haji ke Baitullah. Sebagian dari mereka bebas dari semua ikatan, tanggung jawab, dan kewajiban, dan mereka sepenuhnya fokus untuk menjalankan ibadah ini serta lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah dan berbuat kebaikan. Sebagian lainnya adalah para dokter yang bertanggung jawab atas kesehatan para jamaah haji dan merawat mereka yang mengalami sakit atau cedera, atau mereka yang bertugas menyediakan sarana kenyamanan dan kebutuhan yang diperlukan bagi para jamaah.

أَمَّا الطَّائِفَةُ الْأُولَى فَهِيَ تَمُرُّ مِنَ الْوَضْعِ الَّذِي هِيَ فِيهِ بِمَا سَمَّاهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ حَالَ التَّجَرُّدِ أَوِ التَّجْرِيدِ، فَالْمَطْلُوبُ مِنْهَا أَنْ تُقْبِلَ إِلَى مَا قَدْ فَرَّغَهَا اللهُ لَهُ مِنْ كَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ وَالْقُرُبَاتِ وَالْأَذْكَارِ وَالِاسْتِزَادَةِ مِنَ النَّوَافِلِ. 

Adapun kelompok pertama, mereka berada dalam keadaan yang disebut oleh Ibnu Athaillah sebagai "keadaan tajrid," yaitu keadaan di mana mereka terlepas dari urusan duniawi. Maka, yang diharapkan dari mereka adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak beribadah, berbuat kebaikan, berzikir, dan memperbanyak amalan sunnah.

وَأَمَّا الطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ، فَهِيَ تَمُرُّ مِنَ الْوَضْعِ الَّذِي هِيَ فِيهِ بِمَا سَمَّاهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ مَرْحَلَةَ الْإِقَامَةِ فِي الْأَسْبَابِ. فَالْمَطْلُوبُ مِنْ أَفْرَادِ هَذِهِ الطَّائِفَةِ التَّعَامُلُ مَعَ الْأَسْبَابِ الَّتِي أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهَا وَأَلْزَمَهُمْ بِهَا. فَالطَّبِيبُ مِنْهُمْ مُكَلَّفٌ بِرِعَايَةِ الْكُتْلَةِ الَّتِي كُلِّفَ بِالسَّهَرِ عَلَى صِحَّتِهَا وَمُعَالَجَةِ الْمَرْضَى وَأُولِي الْأَسْقَامِ فِيهَا. وَمُتَعَهِّدُو الْخِدْمَاتِ الْأُخْرَى مُكَلَّفُونَ بِالْقِيَامِ بِمَا قَدْ تَعَهَّدُوا بِهِ عَلَى خَيْرِ وَجْهٍ. 

Sedangkan kelompok kedua, mereka berada dalam keadaan yang disebut oleh Ibnu Athaillah sebagai "keadaan ikatan dengan sebab-sebab duniawi." Maka, yang diharapkan dari mereka adalah menjalankan tanggung jawab yang telah Allah berikan kepada mereka. Dokter, misalnya, bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan jamaah yang dipercayakan kepada mereka, mengobati yang sakit, dan merawat mereka yang membutuhkan. Penyedia layanan lainnya juga bertanggung jawab untuk menjalankan tugas yang telah mereka emban dengan sebaik-baiknya.

فَلَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ تَنَاسَى الْمَسْؤُولِيَّةَ الَّتِي أُنِيطَتْ بِهِ، إِذْ أَقَامَهُ اللهُ سَبَبًا لِإِحْدَى الْخِدْمَاتِ الْكَثِيرَةِ لِلْحُجَّاجِ، وَأَمْضَى أَوْقَاتَهُ كُلَّهَا أَوْ جُلَّهَا فِي الْبَيْتِ الْحَرَامِ طَائِفًا سَاعِيًا رَاكِعًا سَاجِدًا يَتْلُو الْقُرْآنَ وَيُكَرِّرُ الْأَذْكَارَ وَالْأَوْرَادَ، مُهْمِلًا سَبَبِيَّتَهُ الَّتِي أَقَامَهُ اللهُ عَلَيْهَا فِي خِدْمَةِ الْمُحْتَاجِينَ وَتَطْبِيبِ الْمَرْضَى، فَهُوَ مُفْتَئِتٌ عَلَى شَرْعِ اللهِ عَابِثٌ بِنِظَامِ هَدْيِهِ، ذَلِكَ لِأَنَّ اللهَ أَقَامَهُ مِنَ الْوَضْعِ الَّذِي هُوَ فِيهِ، فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ، فَتَجَاهَلَهُ وَتَنَاسَاهُ مُصْطَنِعًا لِنَفْسِهِ حَالَةَ التَّجَرُّدِ الَّتِي هُوَ، بِحُكْمِ الشَّرْعِ الْإِسْلَامِيِّ، بَعِيدٌ عَنْهَا. 

Seandainya salah satu dari mereka melupakan tanggung jawab yang telah diamanahkan kepadanya, padahal Allah telah menempatkannya sebagai penyebab dalam menyediakan layanan penting bagi jamaah, dan ia malah menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di Masjidil Haram dengan bertawaf, berlari sa’i, rukuk, sujud, membaca Al-Qur'an, dan berzikir, sementara ia mengabaikan tanggung jawabnya dalam melayani yang membutuhkan dan mengobati yang sakit, maka ia telah melanggar syariat Allah dan mengabaikan aturan-Nya. Ini karena Allah telah menempatkannya dalam keadaan terkait dengan sebab-sebab duniawi, namun ia mengabaikan dan melupakannya, serta menciptakan bagi dirinya sendiri keadaan tajrid yang seharusnya tidak berlaku baginya menurut hukum syariat Islam.

وَكَمْ فِي النَّاسِ مِنْ يَتَوَرَّطُ فِي هَذَا الْعَبَثِ، لَدَى تَوَجُّهِهِمْ حُجَّاجًا إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ، يَتَعَامَلُونَ مَعَ عَنَاوِينِ الْإِسْلَامِ وَأَلْفَاظِهِ الْمُضِيئَةِ، وَيَتَجَاهَلُونَ مُضَامِينَهُ وَمَبَادِئَهُ الْإِنْسَانِيَّةَ الْقَوِيمَةَ!

Betapa banyak orang yang terjerumus dalam kekeliruan ini ketika mereka berangkat haji ke Baitullah. Mereka berinteraksi dengan simbol-simbol dan kata-kata Islam yang bersinar, namun mengabaikan esensi dan prinsip-prinsip kemanusiaannya yang lurus! 

الْمِثَالُ الثَّانِي: شَابٌّ قَالَ لَهُ وَالِدُهُ: سَأُقَدِّمُ لَكَ كُلَّ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَسْبَابِ الْمَعِيشَةِ عَلَى اخْتِلَافِهَا، وَلَنْ أُكَلِّفَكَ بِأَيِّ نَفَقَةٍ مِمَّا تُرِيدُ أَنْ تَعُودَ بِهِ إِلَى نَفْسِكَ، عَلَى أَنْ تَتَفَرَّغَ لِدِرَاسَةِ كِتَابِ اللهِ وَتَعَلُّمِ شَرِيعَتِهِ. إِذَنْ فَقَدْ أَقَامَ اللهُ هَذَا الْإِنْسَانَ فِي مَنَاخِ التَّجْرِيدِ بِمُقْتَضَى مِيزَانِ الشَّرْعِ وَحُكْمِهِ، وَالْمَطْلُوبُ مِنْهُ إِذَنْ أَنْ يَتَعَامَلَ مَعَ هَذَا الَّذِي أَقَامَهُ اللهُ فِيهِ، فَيَنْصَرِفَ إِلَى دِرَاسَةِ كِتَابِ اللهِ وَتَعَلُّمِ شَرْعِهِ وَالتَّفَقُّهِ فِي دِينِهِ. 

Contoh kedua: Seorang pemuda yang ayahnya berkata kepadanya, "Aku akan menyediakan segala kebutuhan hidupmu tanpa memintamu menanggung biaya apapun yang ingin kau belanjakan untuk dirimu sendiri, asalkan kau sepenuhnya fokus pada mempelajari Kitab Allah dan mempelajari syariat-Nya." Maka Allah telah menempatkan orang ini dalam kondisi tajrid menurut syariat, dan yang diharapkan darinya adalah mengarahkan dirinya kepada apa yang telah Allah tetapkan untuknya, yaitu mempelajari Kitab Allah, mempelajari syariat-Nya, dan memahami agamanya. 

وَلَا يُقَالُ لِمِثْلِ هَذَا الْإِنْسَانِ: إِنَّ الشَّرْعَ يَأْمُرُكَ بِالتَّسَبُّبِ لِلرِّزْقِ وَيَنْهَى عَنْ الرُّكُونِ إِلَى الْبَطَالَةِ.. ذَلِكَ لِأَنَّ الَّذِي يَأْمُرُهُ الشَّرْعُ بِأَنْ يَغْدُوَ إِلَى السُّوقِ فَيَبْحَثَ عَنْ مَصْدَرٍ لِرِزْقِهِ، هُوَ الَّذِي لَيْسَ لَهُ مَنْ يَتَكَلَّفُ بِرِزْقِهِ وَاحْتِيَاجَاتِهِ، كَوَالِدٍ وَنَحْوِهِ. أَمَّا مَنْ قَيَّضَ اللهُ لَهُ مُتَكَلِّفًا لِاحْتِيَاجَاتِهِ، كَهَذَا الْإِنْسَانِ فَلَا يُخَاطَبُ مِنْ قِبَلِ الشَّارِعِ بِهَذَا الْأَمْرِ، وَلِأَنَّ الشَّرْعَ يَأْمُرُ بِالتَّسَبُّبِ لِلرِّزْقِ كَيْ لَا يَجْنَحَ الْإِنْسَانُ عَنْ ذَلِكَ إِلَى الْبَطَالَةِ. أَمَّا هَذَا فَلَمْ يَرْكُنْ إِلَى الْبَطَالَةِ، بَلْ تَحَوَّلَ مِنَ السَّعْيِ فِي سَبِيلِ التَّرَزُّقِ الَّذِي تَكَفَّلَ لَهُ بِهِ وَالِدُهُ إِلَى السَّعْيِ مِنْ أَجْلِ مَعْرِفَةِ الشَّرْعِ وَالتَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ. وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ: «مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ» (١). (١) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَأَحْمَدُ، مِنْ حَدِيثِ مُعَاوِيَةَ وَحَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَرَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ. 

Tidak bisa dikatakan kepada orang seperti ini bahwa syariat memerintahkanmu untuk mencari rezeki dan melarangmu dari bermalas-malasan. Sebab, syariat memerintahkan orang untuk mencari rezeki jika tidak ada yang menanggung kebutuhan hidupnya, seperti ayah atau orang lain.

Sedangkan bagi orang yang Allah sediakan seseorang untuk menanggung kebutuhannya, seperti orang ini, maka dia tidak diwajibkan oleh syariat untuk mencari nafkah. Sebab, syariat memerintahkan orang untuk mencari nafkah agar tidak cenderung kepada kemalasan. Namun, orang ini tidak memilih kemalasan, melainkan berpindah dari mencari nafkah yang telah ditanggung oleh ayahnya, kepada usaha untuk memahami syariat dan mendalami agama. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkannya dalam agama." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dari hadis Muawiyah dan Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis Abu Hurairah).

وَيَنْطَبِقُ هَذَا الْمِثَالُ عَلَيَّ فِي أَوَّلِ عَهْدِي بِالدِّرَاسَةِ، فَقَدْ صَرَفَنِي وَالِدِي عَمَّا كَانَ مِنَ الْمَفْرُوضِ أَنْ أَتَّجِهَ إِلَيْهِ كَسَائِرِ أَنْدَادِي، مِنَ الْبَحْثِ عَنْ وَسَائِلِ الرِّزْقِ وَجَمْعِ الْمَالِ، وَأَلْزَمَ نَفْسَهُ بِكُلِّ احْتِيَاجَاتِي الْمَالِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ، وَقَالَ لِي - وَلَمْ أَكُنْ قَدْ تَجَاوَزْتُ الْخَامِسَةَ عَشْرَ بَعْدُ -: لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ الطَّرِيقَ إِلَى اللهِ يَكْمُنُ فِي كَسْحِ الْقُمَامَةِ لَجَعَلْتُ مِنْكَ زَبَّالًا، وَلَكِنِّي نَظَرْتُ فَوَجَدْتُ أَنَّ الطَّرِيقَ الْمُوصِلَ إِلَى اللهِ إِنَّمَا يَكُونُ فِي دِرَاسَةِ دِينِهِ وَتَعَلُّمِ شَرْعِهِ، فَاسْلُكْ إِذَنْ هَذَا الطَّرِيقَ.

وَهكَذَا فَقَدْ وَضَعَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ قَرَارِ وَالِدِي وَالْتِزَامِهِ، فِي حَالَةِ التَّجْرِيدِ بِمُقْتَضَى الشَّرْعِ وَحُكْمِهِ. 

Contoh ini berlaku juga untuk diriku pada awal masa studiku. Ayahku mengarahkan aku dari apa yang seharusnya kutempuh, seperti teman-teman sebayaku yang lain, yaitu mencari nafkah dan mengumpulkan harta. Ia menanggung semua kebutuhan finansial dan duniawiku, dan berkata kepadaku -saat itu aku belum melewati usia lima belas tahun: "Jika aku tahu bahwa jalan menuju Allah terletak pada menyapu sampah, aku akan menjadikanmu seorang penyapu jalan. Namun, aku melihat bahwa jalan yang membawa kepada Allah hanya ada dalam mempelajari agamanya dan mempelajari syariat-Nya, maka tempuhlah jalan ini." 

Maka dari keputusan dan komitmen ayahku, Allah menempatkanku dalam kondisi tajrid menurut syariat dan hukumnya.

وَقَدْ أَقْبَلَ إِلَيَّ جَمْعٌ مِنَ الرِّفَاقِ آنَذَاكَ، يَدْعُونَنِي إِلَى السَّيْرِ مَعَهُمْ فِي طَرِيقِ الْكَدْحِ وَالْكِفَاحِ مِنْ أَجْلِ الرِّزْقِ وَجَمْعِ الْمَالِ، وَيُحَذِّرُونَنِي مِنْ أَنَّ الِاسْتِرْسَالَ فِي النَّهْجِ الَّذِي دَفَعَنِي وَالِدِي إِلَيْهِ، سَيَجْعَلُنِي عَالَةً عَلَى الْمُجْتَمَعِ، وَيَزُجُّنِي فِي طَرِيقِ الِاسْتِجْدَاءِ!.

Pada saat itu, sekelompok teman mendatangiku, mengajakku untuk mengikuti jalan kerja keras dan perjuangan demi mencari nafkah dan mengumpulkan uang. Mereka memperingatkanku bahwa jika aku terus mengikuti jalan yang diarahkan oleh ayahku, aku akan menjadi beban bagi masyarakat dan terjerumus dalam jalan pengemis.

وَلَكِنَّ اللَّهَ سَلَّمَ وَلَطَفَ.. فَصَبَرْتُ عَلَى النَّهْجِ الَّذِي سَلَكَنِي فِيهِ وَالِدِي بَعْدَ أَنْ الْتَزَمَ بِكُلِّ احْتِيَاجَاتِي، وَأَعْرَضْتُ عَنِ التَّحْذِيرِ وَالْإِغْرَاءَاتِ اللَّذَيْنِ لَاحَقَنِي بِهِمَا الرِّفَاقُ.. فَهَلْ كُنْتُ بِذَلِكَ مُتَنَكِّبًا عَنِ الشَّرْعِ أَمْ مُطَبِّقًا لِحُكْمِ الشَّرْعِ؟.. لَمْ أَكُنْ أَدْرِي أَيَّ جَوَابٍ عَنْ هَذَا السُّؤَالِ آنَذَاكَ، وَلَكِنِّي كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّنِي أَنْقَادُ لِأَمْرِ وَالِدِي وَتَوَجُّهِهِ، وَهَذَا مَا يَأْمُرُ بِهِ اللَّهُ. 

Namun, Allah melindungiku dan menunjukkan kebaikan-Nya. Aku bersabar dalam menempuh jalan yang ayahku pilihkan untukku, setelah ia menanggung semua kebutuhanku. Aku pun menolak peringatan dan bujukan dari teman-temanku. Apakah dengan begitu aku menyimpang dari syariat ataukah menerapkan hukum syariat? Saat itu, aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan ini, tetapi aku tahu bahwa aku mengikuti perintah dan arahan ayahku, dan itulah yang diperintahkan oleh Allah.

أَمَّا الْيَوْمَ فَأَنَا عَلَى يَقِينٍ بِأَنَّنِي بِالْإِضَافَةِ إِلَى الِاسْتِجَابَةِ لِأَمْرِ وَالِدِي، كُنْتُ مُنْسَجِمًا فِي تِلْكَ الِاسْتِجَابَةِ لِشَرْعِ اللَّهِ وَحُكْمِهِ. وَهَيْهَاتَ أَنْ يَرْضَى وَالِدِي بِهَذَا الَّذِي اخْتَارَهُ لِي وَوَجَّهَنِي إِلَيْهِ، لَوْ عَلِمَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِشَرْعِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Namun hari ini, saya yakin bahwa selain menuruti perintah ayah saya, saya juga sejalan dengan syariat Allah dan ketetapan-Nya dalam melakukannya. Tidak mungkin ayah saya akan menyetujui apa yang dipilihnya untuk saya dan mengarahkan saya ke sana jika dia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan syariat Allah Yang Maha Agung. 

وَلَا شَكَّ أَنَّنِي لَمْ أَتَعَرَّضْ لِشَيْءٍ مِنَ الْمَخَاوِفِ الَّتِي حَذَّرَنِي مِنْهَا بَعْضُ الرِّفَاقِ، بَلِ الَّذِي تَعَرَّضْتُ لَهُ وَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ هُوَ نَقِيضُ تِلْكَ الْمَخَاوِفِ.. سِلْسِلَةٌ مِنَ الْمَكْرُمَاتِ الْإِلَهِيَّةِ وَالْمَنَحِ الرَّبَّانِيَّةِ لَاحَقَتْنِي مِنْ حَيْثُ لَا أَحْتَسِبُ، وَغَمَرَنِي اللَّهُ مِنْهَا بِنِعَمٍ وَمِنَنٍ لَا تُحْصَى.

Tidak diragukan lagi, saya tidak menghadapi ancaman yang diperingatkan oleh beberapa teman saya. Sebaliknya, saya justru mendapatkan hal yang bertolak belakang dengan ancaman tersebut. Rangkaian anugerah ilahi dan pemberian dari Tuhan terus mengalir kepada saya dari arah yang tidak saya duga, dan Allah melimpahkan kepada saya nikmat dan karunia yang tak terhitung banyaknya.

الْمِثَالُ الثَّالِثُ: رَجُلٌ أَقَامَهُ اللَّهُ مِنْ عَمَلِهِ الدُّنْيَوِيِّ فِي حَانُوتٍ أَوْ مَحَلٍّ تِجَارِيٍّ، يَكْدَحُ فِيهِ مِنْ أَجْلِ الرِّزْقِ يَعُودُ بِهِ إِلَى أُسْرَتِهِ الَّتِي جَعَلَهُ اللَّهُ مَسْؤُولًا عَنْهَا. وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إِنْ تَعَهَّدَ مَتْجَرَهُ هَذَا كُلَّ يَوْمٍ مِنَ التَّاسِعَةِ صَبَاحًا إِلَى السَّابِعَةِ مَسَاءً، فَلَسَوْفَ يُكْرِمُهُ اللَّهُ بِرِزْقٍ وَفِيرٍ وَنِعْمَةٍ كَافِيَةٍ. إِذَنْ فَالشَّرْعُ يَقُولُ لَهُ:

Contoh ketiga: Seorang pria yang ditempatkan oleh Allah dalam pekerjaan duniawinya di sebuah toko atau tempat usaha, bekerja keras di sana untuk mencari nafkah yang akan dia bawa pulang untuk keluarganya, yang Allah tugaskan kepadanya. Dia tahu bahwa jika dia menjaga tokonya setiap hari dari pukul sembilan pagi hingga tujuh malam, Allah akan memberinya rezeki yang berlimpah dan berkah yang cukup. Maka, syariat mengatakan kepadanya:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَقَامَكَ مِنَ التَّاسِعَةِ صَبَاحًا إِلَى السَّابِعَةِ مَسَاءً فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ، وَإِنَّمَا وَاجِبُكَ التَّعَامُلُ وَالِانْسِجَامُ مَعَهُ خِلَالَ هَذِهِ الْمُدَّةِ مِنْ كُلِّ يَوْمٍ. وَأَقَامَكَ فِيمَا قَبْلَ ذَلِكَ مِنَ الصَّبَاحِ وَمَا بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الْمَسَاءِ فِي عَالَمِ التَّجْرِيدِ، وَإِنَّمَا وَاجِبُكَ خِلَالَ هَاتَيْنِ الْحَاشِيَتَيْنِ مِنْ عَمَلِكَ الْيَوْمِيِّ، أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ مُقْتَضَى هَذَا التَّجْرِيدِ الَّذِي أَقَامَكَ اللَّهُ فِيهِ، فَتُقْبِلَ عَلَى مَعَارِفِكَ الْإِسْلَامِيَّةِ تَنْمِيهَا وَتَتَعَهَّدَهَا، وَتُقْبِلَ إِلَى الطَّاعَاتِ وَالْعِبَادَاتِ وَالْقُرُبَاتِ تَسْتَزِيدُ مِنْهَا.

Allah telah menempatkanmu dari pukul sembilan pagi hingga tujuh malam dalam dunia sebab-akibat, dan kewajibanmu adalah berurusan dan selaras dengan itu selama waktu tersebut setiap hari. Dan Allah menempatkanmu dalam dunia ketulusan (tajrid) sebelum dan sesudah waktu itu, dan kewajibanmu selama dua waktu ini adalah menjalankan ketulusan yang Allah tempatkan padamu, dengan memperdalam pengetahuan Islamimu, merawatnya, dan meningkatkan ketaatan, ibadah, serta mendekatkan diri kepada-Nya.

إِذَنْ، فَمِيزَانُ الشَّرْعِ هُوَ الَّذِي يَرْسُمُ حُدُودَ الزَّمَنِ الَّذِي يَخْضَعُ فِيهِ هَذَا التَّاجِرُ لِعَالَمِ الْأَسْبَابِ، وَحُدُودَ الزَّمَنِ الَّذِي يَخْضَعُ فِيهِ لِعَالَمِ التَّجْرِيدِ. وَالْمَطْلُوبُ مِنْهُ أَنْ يَتَبَيَّنَ هَذِهِ الْحُدُودَ وَلَا يَفْتَئِتَ عَلَى أَيٍّ مِنَ الْمَنَاخَيْنِ أَوِ الزَّمَانَيْنِ لِمُرَاعَاةِ الْآخَرِ.

Jadi, timbangan syariatlah yang menentukan batasan waktu di mana seorang pedagang tunduk pada dunia sebab-akibat, dan batasan waktu di mana ia tunduk pada dunia ketulusan (tajrid). Yang diharapkan darinya adalah memahami batas-batas ini dan tidak melampaui salah satu dari dua dunia atau dua waktu demi menjaga yang lain.

وَإِنِّي لَأَذْكُرُ عَهْدًا مَضَى، كَانَ أَكْثَرُ الَّذِينَ يَصْفِقُونَ فِي الْأَسْوَاقِ مِنْ تِجَارِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ، يُطَبِّقُونَ هَذِهِ الْحِكْمَةَ الَّتِي يَقُولُهَا ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ، بَلْ يَقْضِي بِهَا الشَّرْعُ وَالدِّينُ،كَأَدَقِّ مَا يَكُونُ التَّطْبِيقُ، وَلِأَضْرِبَ مَثَلًا بِسُوقِ مِدْحَتْ بَاشَا الَّذِي كَانَ الْمُلْتَقَى الْأَوَّلَ لِكِبَارِ تُجَّارِ دِمَشْقَ.

Saya ingat masa lalu ketika kebanyakan pedagang di pasar kota ini, yang melakukan transaksi, menerapkan kebijaksanaan yang dikatakan oleh Ibn Atha'illah dengan sangat tepat, sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat dan agama. Sebagai contoh, Pasar Midhat Pasha, yang merupakan tempat pertemuan utama bagi para pedagang besar di Damaskus.

لَمْ يَكُنْ هَذَا السُّوقُ يَسْتَيْقِظُ لِلْحَرَكَةِ التِّجَارِيَّةِ قَبْلَ الْعَاشِرَةِ صَبَاحًا، وَلَمْ يَكُنْ يَسْتَمِرُّ إِلَّا إِلَى مَا قَبْلَ أَذَانِ الْمَغْرِبِ بِسَاعَةٍ.

Pasar ini tidak memulai aktivitas perdagangan sebelum pukul sepuluh pagi, dan hanya berlangsung hingga satu jam sebelum azan maghrib.

فِي هَذِهِ السَّاعَاتِ مِنَ النَّهَارِ كَانَ السُّوقُ يَشْهَدُ نَشَاطًا تِجَارِيًّا عَالِيًا.. فَإِذَا دَنَتْ سَاعَةُ الْغُرُوبِ، أَظْلَمَ السُّوقُ، وَأُغْلِقَتِ الْحَوَانِيتُ، وَغَابَتْ عَنْهُ الْحَرَكَةُ وَدَبَّتْ فِيهِ الْوَحْشَةُ، وَتَحَوَّلَ أَقْطَابُ تِلْكَ السُّوقِ مِنَ التُّجَّارِ وَأَرْبَابِ الْمَالِ وَرِجَالِ الْأَعْمَالِ، إِلَى طُلَّابٍ لِعُلُومِ الشَّرِيعَةِ تَتَوَازَعُهُمُ الْمَسَاجِدُ أَوْ بُيُوتُ الْعُلَمَاءِ. وَقَدْ تَأَبَّطَ كُلٌّ مِنْهُمْ كِتَابَهُ فِي الْفِقْهِ أَوِ التَّفْسِيرِ أَوِ الْعَقِيدَةِ، مُعْرِضًا عَنْ مُشْكِلَاتِ التِّجَارَةِ وَالْمَالِ، مُتَّجِهًا بِاهْتِمَامٍ وَدِقَّةٍ إِلَى دِرَاسَةِ أَكْثَرَ مِنْ عِلْمٍ مِنْ عُلُومِ الْإِسْلَامِ. 

Pada jam-jam siang tersebut, pasar dipenuhi dengan aktivitas perdagangan yang sangat tinggi. Namun, ketika waktu senja mendekat, pasar menjadi gelap, toko-toko ditutup, aktivitas pun berhenti, dan suasana sepi mulai terasa. Para pedagang, pemilik modal, dan pengusaha yang menjadi penggerak pasar tersebut, berubah menjadi pencari ilmu syariah yang memenuhi masjid-masjid atau rumah-rumah ulama. Masing-masing membawa buku fiqih, tafsir, atau akidah, mengalihkan perhatian mereka dari urusan perdagangan dan keuangan, dan dengan penuh konsentrasi mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam.

فَإِذَا أَقْبَلَ الصَّبَاحُ بَدَأَ كُلٌّ مِنْهُمْ نَهَارَهُ طَالِبَ عِلْمٍ مَرَّةً أُخْرَى، وَحَضَرَ عِدَّةَ دُرُوسٍ مُتَتَابِعَةٍ أُخْرَى عَلَى أَحَدِ الشُّيُوخِ الْأَجِلَّاءِ فِي ذَلِكَ الْعَصْرِ. ثُمَّ عَادَ كُلٌّ مِنْهُمْ إِلَى دَارِهِ يُبَاسِطُ أَهْلَهُ وَأَوْلَادَهُ وَيَتَنَاوَلُ إِفْطَارَ الصَّبَاحِ مَعَهُمْ، وَيَأْخُذُ قِسْطَهُ اللَّازِمَ مِنَ الرَّاحَةِ، لِيَعُودَ فِي الْعَاشِرَةِ تَقْرِيبًا إِلَى سُوقِهِ التِّجَارِيَّةِ.

Ketika pagi datang, mereka memulai hari kembali sebagai penuntut ilmu, menghadiri beberapa pelajaran berurutan dari salah satu ulama terkemuka pada masa itu. Setelah itu, mereka pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga dan anak-anak mereka, sarapan bersama, dan mengambil istirahat yang cukup, sebelum kembali ke pasar sekitar pukul sepuluh pagi.

إِذَنْ، فَقَدْ كَانَتْ سَاعَاتُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فِي حَيَاةِ أُولَئِكَ التُّجَّارِ، مَقْسُومَةً مَا بَيْنَ عَالَمِ التَّجَرُّدِ وَعَالَمِ الْأَسْبَابِ. وَكَانُوا يُعْطُونَ كُلًّا مِنْهُمَا حَقَّهُ كَامِلًا غَيْرَ مَنْقُوصٍ. فَلَمْ يَكُنْ يَطْغَى جَانِبٌ مِنْهُمَا عَلَى جَانِبٍ. 

Jadi, waktu siang dan malam dalam kehidupan para pedagang tersebut dibagi antara dunia spiritual dan dunia usaha. Mereka memberikan hak yang penuh kepada kedua dunia tersebut tanpa ada yang lebih dominan. Tidak ada satu sisi yang mengalahkan sisi lainnya.

وَلَعَلَّ الْقَارِئَ الْكَرِيمَ يَتَبَيَّنُ مِنْ كَلَامِي هَذَا صُورَةً غَرِيبَةً عَنْ وَاقِعِ أَكْثَرِ التُّجَّارِ وَرِجَالِ الْأَعْمَالِ الْيَوْمَ، أَجَلَ، هِيَ فِعْلًا صُورَةٌ غَرِيبَةٌ، فَلَقَدْ خَلَفَ مِنْ بَعْدِ أُولَئِكَ الرِّجَالِ خَلْفٌ أَغْرَقُوا أَنْفُسَهُمْ فِي حَمْأَةِ الدُّنْيَا وَاسْتَسْلَمُوا بِشَكْلٍ كُلِّيٍّ وَدَائِمِيٍّ لِعَالَمِ الْأَسْبَابِ، غُدُوُّهُمْ وَرَوَاحُهُمْ حَرَكَةٌ دَائِبَةٌ وَرَاءَ التِّجَارَةِ وَالْمَالِ، وَلَيَالِيهِمْ وَسَهَرَاتُهُمْ مُنَاقَشَاتٌ وَمُشَاوَرَاتٌ حَوْلَ مُشْكِلَاتِ التِّجَارَةِ وَعَثَرَاتِهَا وَسُبُلِ التَّغَلُّبِ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَاضَ لَدَيْهِمْ عَنْ ذَلِكَ وَقْتٌ، صَرَفُوهُ إِلَى الْحَفَلَاتِ وَالْمَآدِبِ وَسَهَرَاتِ الْأُنْسِ الدُّنْيَوِيِّ وَمَتَاعِبِ الْقِيلِ وَالْقَالِ!.. وَاللَّهُ هُوَ الْمَأْمُولُ وَالْمُسْتَعَانُ أَنْ يَجْذِبَهُمْ بِتَوْفِيقٍ مِنْهُ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ سَلَفُهُمْ قَبْلَ أَرْبَعِينَ عَامًا لَا أَكْثَرَ، مِنْ تَقْسِيمِ أَوْقَاتِهِمْ بَيْنَ عَالَمَيْ التَّجْرِيدِ وَالْأَسْبَابِ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي وَصَفْتُ وَالَّذِي لَا تَزَالُ ذِكْرَاهُ الْفَوَّاحَةُ الْعَطِرَةُ مَاثِلَةً فِي أَخِيلَةِ الشُّيُوخِ بَلِ الْكُهُولِ مِنْ أَهْلِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ. 

Mungkin pembaca yang terhormat menemukan gambaran ini aneh jika dibandingkan dengan kenyataan sebagian besar pedagang dan pengusaha saat ini. Memang, ini adalah gambaran yang aneh, karena generasi setelah mereka telah tenggelam dalam urusan duniawi dan sepenuhnya menyerah pada dunia usaha. Pagi dan malam mereka dipenuhi dengan aktivitas perdagangan dan urusan keuangan, dan malam mereka dihabiskan dengan diskusi dan konsultasi tentang masalah perdagangan, kendala, dan cara mengatasinya. Jika ada waktu tersisa, mereka menghabiskannya di pesta, jamuan makan, dan hiburan duniawi, serta hal-hal yang tidak penting.

Semoga Allah memberikan mereka hidayah dan pertolongan untuk kembali kepada jalan yang ditempuh oleh pendahulu mereka sekitar empat puluh tahun yang lalu. Pendahulu mereka membagi waktu mereka antara dunia spiritual dan dunia usaha dengan cara yang telah saya gambarkan, yang kenangannya masih harum dan teringat jelas dalam benak para ulama dan orang-orang tua dari kota ini.

مِثَالٌ رَابِعٌ: رَجُلٌ اتَّجَهَ إِلَى إِحْدَى الْوِلَايَاتِ الْأَمْرِيكِيَّةِ بِقَصْدِ الدِّرَاسَةِ. وَلَمَّا انْتَهَى مِنَ الدِّرَاسَةِ طَمِعَ بِالْمَالِ الْوَفِيرِ، وَالْحَيَاةِ الرَّغِيدَةِ، فَاسْتَمْرَأَ مَعَ زَوْجَتِهِ وَأَوْلَادِهِ الْعَيْشَ هُنَاكَ، وَاسْتَجَابَ لِمُغْرِيَاتِ الْوَظَائِفِ ذَاتِ الْمَرْدُودِ الْمَالِيِّ الْكَبِيرِ، وَمَرَّتْ عَلَيْهِ السِّنُونَ سَعِيدًا مُبْتَهِجًا بِعَيْشِهِ الدُّنْيَوِيِّ هُنَاكَ. أَيِّ إِنَّهُ اسْتَجَابَ لِمُتَطَلَّبَاتِ الْأَسْبَابِ الْقَائِمَةِ مِنْ حَوْلِهِ. 

Contoh keempat: Seorang pria pergi ke salah satu negara bagian Amerika Serikat untuk tujuan belajar. Setelah menyelesaikan studinya, ia tergoda oleh uang yang melimpah dan kehidupan yang nyaman, sehingga ia memilih untuk tinggal di sana bersama istri dan anak-anaknya. Ia tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan yang menawarkan penghasilan besar, dan bertahun-tahun berlalu dengan bahagia menikmati kehidupan duniawinya di sana. Dengan kata lain, ia menanggapi tuntutan kehidupan asbab yang ada di sekitarnya. 

تَرَى أَهُوَ فِي مِيزَانِ الشَّرْعِ وَحُكْمِهِ قَائِمٌ فِي عَالَمِ التَّجْرِيدِ أَمْ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ؟ إِنَّ الْوَاقِعَ الَّذِي يُوَاجِهُ هَذَا الرَّجُلَ وَأَهْلَهُ، هُوَ الَّذِي يُحَدِّدُ الْجَوَابَ.

Pertanyaannya adalah, apakah menurut hukum syariat, ia hidup dalam tajrid atau asbab? Kenyataan yang dihadapi pria ini dan keluarganya adalah yang menentukan jawabannya.

وَإِذَا عُدْنَا نَتَأَمَّلُ الْوَاقِعَ الَّذِي يَتَقَلَّبُ هَذَا الرَّجُلُ مَعَ أَهْلِهِ فِي غِمَارِهِ، نَجِدُ أَنَّ أَوْلَادَهُ يُنَشَّؤُونَ هُنَاكَ تَنْشِئَةً أَمْرِيكِيَّةً تَامَّةً، رُبَّمَا كَانَ الْأَبَوَانِ مُشَدُّودَيْنِ إِلَى مَاضِيْهِمَا الْإِسْلَامِيِّ الْمُلْتَزِمِ، غَيْرَ أَنَّ مِنَ الْوَاضِحِ جِدًّا أَنَّ الْأَوْلَادَ مُشَدُّودُونَ إِلَى التَّيَّارِ الْأَمْرِيكِيِّ الْمُتَجَرِّدِ عَنْ أَيِّ الْتِزَامٍ، كَمَا قَدْ لَاحَظْتُ لَدَى زِيَارَتِي الْأُولَى لِلْوِلَايَاتِ الْمُتَّحِدَةِ وَاحْتِكَاكِي بِكَثِيرٍ مِنَ الْأُسَرِ الْإِسْلَامِيَّةِ هُنَاكَ. 

Jika kita kembali merenungkan kenyataan yang dialami pria ini bersama keluarganya, kita akan mendapati bahwa anak-anaknya dibesarkan dengan cara hidup Amerika yang sepenuhnya, mungkin kedua orang tua tetap terikat dengan masa lalu Islam mereka yang taat. Namun, sangat jelas bahwa anak-anaknya lebih terpengaruh oleh budaya Amerika yang bebas dari segala komitmen, seperti yang saya perhatikan saat kunjungan pertama saya ke Amerika Serikat dan interaksi saya dengan banyak keluarga Muslim di sana.

إِذَنْ فَشَرْعُ اللَّهِ يَقُولُ لِهَذَا الرَّجُلِ: وَيْحَك إِنَّ الْأَسْبَابَ الَّتِي تَتَعَامَلُ مَعَهَا هُنَا، غَيْرُ مُعْتَرَفٍ بِهَا فِي هَدْيِ اللَّهِ وَحُكْمِهِ؛ فَأَنْتَ إِنَّمَا تَتَقَلَّبُ هُنَا فِي عَالَمِ التَّجْرِيدِ، وَأَسْبَابُكَ الشَّرْعِيَّةُ الَّتِي تَدْعُوكَ لِلتَّعَامُلِ مَعَهَا، لَيْسَتْ هَذِهِ الَّتِي تَرْكَنُ إِلَيْهَا هُنَا، بَلْ هِيَ تِلْكَ الَّتِي تَنْتَظِرُكَ فِي بَلَدِكَ الْإِسْلَامِيِّ هُنَاكَ.

Maka dari itu, syariat Allah berkata kepada pria ini: "Celakalah engkau! Sebab, alasan-alasan (duniawi) yang engkau ikuti di sini tidak diakui dalam petunjuk dan hukum Allah. Sebenarnya, engkau berada dalam dunia tanpa sebab di sini. Alasan-alasan syar'i yang seharusnya engkau hadapi bukanlah yang ada di sini, melainkan yang menunggumu di tanah air Islam-mu di sana.

وَآيَةُ ذَلِكَ أَوْلَادُكَ الَّذِينَ يَبْتَعِدُونَ عَنْ نَهْجِكَ وَبَقَايَا التِزَامَاتِكَ رُوَيْدًا رُوَيْدًا، مُتَّجِهِينَ سِرَاعًا إِلَى الْأَفْكَارِ وَالْحَيَاةِ غَيْرِ الْإِسْلَامِيَّةِ، مُتَعَامِلِينَ بِشَغَفٍ مَعَ تَقَالِيدِ الْحَيَاةِ الْأَمْرِيكِيَّةِ وَفَلْسَفَتِهَا. 

Tanda-tandanya adalah anak-anakmu yang perlahan-lahan menjauh dari jalanmu dan sisa-sisa komitmenmu, mereka dengan cepat bergerak menuju pemikiran dan kehidupan yang tidak Islami, dengan antusias mengadopsi tradisi dan filosofi kehidupan Amerika."

وَمِثْلُ هَذَا الرَّجُلِ لَا بُدَّ أَنْ تَصُكَّ أُذْنَهُ ثُمَّ تَسْرِي بِالتَّأْثِيرِ إِلَى قَلْبِهِ حِكْمَةُ ابْنِ عَطَاءِ اللَّهِ: «.. وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ» إِنْ كَانَتْ لَدَيْهِ بَقَايَا مِنْ جَذْوَةِ الْإِيمَانِ وَهَدْيِهِ. 

Pria seperti ini harus mendengarkan dengan seksama, kemudian merenungkan dengan hatinya hikmah dari Ibn Atha’illah: "Dan keinginanmu untuk mencari sebab-sebab (duniawi) sementara Allah telah menempatkanmu dalam keadaan tanpa sebab adalah kemunduran dari tekad yang tinggi," jika ia masih memiliki sisa-sisa iman dan petunjuk di dalam dirinya.

وَالطَّرِيقَةُ الْوَحِيدَةُ لِتَنْفِيذِهِ مُقْتَضَى هَذِهِ الْحِكْمَةِ، هِيَ أَنْ يَرْحَلَ إِلَى عَالَمِ الْأَسْبَابِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي تَنْتَظِرُهُ فِي بَلْدَتِهِ الْإِسْلَامِيَّةِ الَّتِي رَحَلَ مِنْهَا لِسَبَبِ الدِّرَاسَةِ، ثُمَّ اسْتَمْرَأَ الْعَيْشَ هُنَاكَ لِلْأَسْبَابِ الْمَعِيشِيَّةِ الَّتِي كُنْتُ قَدْ ذَكَرْتُهَا. 

Satu-satunya cara untuk melaksanakan makna hikmah ini adalah dengan kembali ke dunia sebab-sebab syar'i yang menantinya di tanah air Islam yang ditinggalkannya demi alasan studi, lalu ia terbiasa tinggal di sana karena alasan kehidupan yang telah saya sebutkan sebelumnya.

فَإِنْ قَالَ الرَّجُلُ: وَلَكِنِّي لَنْ أَعْثُرَ فِي بَلَدِي عَلَى شَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ الَّتِي تُتَاحُ لِي هُنَا، وَالَّتِي غَمَرَتْنِي بِكُلِّ أَلْوَانِ الرَّخَاءِ، أَجَبْنَاهُ بِأَنَّ قَرَارَ اللَّهِ تَعَالَى يَقْضِي بِأَنْ تُضَحِّيَ بِأَسْبَابِ رِزْقِكَ مِنْ أَجْلِ سَلَامَةِ دِينِكَ، لَا بِأَنْ تُضَحِّيَ بِسَلَامَةِ دِينِكَ مِنْ أَجْلِ الْحُصُولِ عَلَى أَسْبَابِ رِزْقِكَ. 

Jika pria itu berkata, "Tetapi saya tidak akan menemukan di negara saya apa yang saya dapatkan di sini, yang telah memberi saya berbagai macam kemakmuran," maka kami akan menjawab bahwa ketetapan Allah Ta'ala menyatakan bahwa kamu harus mengorbankan sumber penghidupanmu demi keselamatan agamamu, bukan mengorbankan keselamatan agamamu demi mendapatkan sumber penghidupanmu.

عَلَى أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمُ مِنْ أَنْ يَتْرُكَكَ لِعَوَاقِبِ الْحِرْمَانِ، إِنْ أَنْتَ آثَرْتَ مُحَافَظَةً عَلَى أَوَامِرِهِ وَالِالْتِزَامَ بِشَرْعِهِ، عَلَى حُظُوظِكَ الْمَالِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ».

Selain itu, Allah Maha Pemurah untuk membiarkanmu mengalami konsekuensi kehilangan, jika kamu memilih untuk mematuhi perintah-Nya dan berpegang teguh pada syariat-Nya, di atas kepentingan finansial dan duniawimu."

تَقْرَأُ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً﴾ [النِّسَاءِ: ١٠٠/٤]

Bacalah firman-Nya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (An-Nisa’: 100) 

رُبَّمَا ابْتَلَاكَ لِيَسْتَبِينَ ثَبَاتُكَ وَصِدْقُ مَشَارِكَ، وَلَكِنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يُكْرِمَكَ أَخِيرًا بِمَا يُسْعِدُكَ وَيَرْضِيكَ. 

Mungkin Allah mengujimu untuk melihat keteguhan dan keikhlasanmu, tetapi pada akhirnya Dia pasti akan memuliakanmu dengan sesuatu yang membahagiakan dan memuaskan hatimu.

وَدَعْنِي أُحَدِّثْكَ بِقِصَّةِ شَابٍّ كَانَ يَغْشَى دُرُوسَ الْحِكَمِ الْعَطَائِيَّةِ هَذِهِ فِي مَسْجِدِ السِّنْجَقْدَارِ بِدِمَشْقَ، كَانَتْ أَسْبَابُ الدُّنْيَا مُدَبِّرَةً عَنْهُ وَكَانَ يَنْقُبُ عَنْهَا فِي حَالَةٍ شَدِيدَةٍ مِنَ الضَّنْكِ، أَيْ فَكَانَ يَمُرُّ بِهَذَا الَّذِي يُسَمِّيهِ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ حَالَ التَّجْرِيدِ.. وَزِيَادَةً فِي الِابْتِلَاءِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، كَانَتْ تُوَاجِهُهُ فُرَصٌ سَانِحَةٌ، الْوَاحِدَةُ مِنْهَا تِلْوَ الْأُخْرَى، مَزَاوِلَةُ أَعْمَالٍ مِنْ شَأْنِهَا أَنْ تُفِيدَهُ بِرِزْقٍ وَفِيرٍ، غَيْرَ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ أَعْمَالًا مَقْبُولَةً فِي مِيزَانِ الشَّرْعِ. فَكَانَ كُلَّمَا لَاحَتْ لَهُ مِنْهَا فُرْصَةٌ جَاءَ يَسْأَلُنِي عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِي التَّعَامُلِ مَعَ تِلْكَ الْفُرْصَةِ.

Izinkan saya menceritakan kisah seorang pemuda yang sering menghadiri pelajaran Hikam Al-‘Atha’iyah di Masjid Sinjaqdar di Damaskus. Kala itu, dunia seakan menjauh darinya, dan dia berusaha mencarinya dalam keadaan sangat sulit. Dia berada dalam situasi yang oleh Ibn ‘Atha’illah disebut sebagai keadaan tajrid (keterlepasan dari sebab-sebab duniawi). Sebagai ujian tambahan dari Allah SWT, dia sering dihadapkan pada peluang-peluang emas satu demi satu—pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan yang melimpah, tetapi sayangnya pekerjaan-pekerjaan itu tidak sesuai dengan syariat. Setiap kali sebuah peluang datang, dia datang kepadaku untuk meminta fatwa tentang hukum syariat dalam menghadapi peluang tersebut.

وَلَقَدْ كُنْتُ أَقِفُ مِنْ اسْتِفْتَائِهِ بَيْنَ الْإِشْفَاقِ الشَّدِيدِ عَلَى حَالِهِ مِنَ الضَّنْكِ الَّذِي يُعَانِيهِ، وَبَيْنَ ضَرُورَةِ الْأَمَانَةِ مَعَ أَوَامِرِ اللَّهِ وَأَحْكَامِهِ.. وَلَكِنَّ صِدْقَهُ مَعَ اللَّهِ كَانَ يُشَجِّعُنِي عَلَى أَنْ أَقُولَ لَهُ: إِنَّكَ تَسْتَشِيرُنِي وَالْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ أَخُونَكَ مِنْ حَيْثُ أَخُونُ دِينَكَ الَّذِي أَرَاهُ غَالِيًا عَلَيْكَ، إِنَّ هَذَا الْعَمَلَ الَّذِي عُرِضَ عَلَيْكَ غَيْرُ شَرْعِيٍّ.. فَكَانَ يُعْرِضُ عَنْ تِلْكَ الْفُرْصَةِ السَّانِحَةِ وَيُوَاصِلُ الصَّبْرَ عَلَى بُؤْسِهِ وَفَقْرِهِ. 

Aku berada di antara perasaan kasihan yang mendalam terhadap kesulitan yang dia alami dan kewajiban untuk menjaga amanah dalam menyampaikan perintah dan hukum Allah. Namun, kejujurannya dengan Allah mendorongku untuk mengatakan kepadanya: "Kamu meminta nasihat dariku, dan orang yang dimintai nasihat harus amanah. Tidak boleh aku mengkhianatimu dengan cara mengkhianati agamamu yang sangat kamu hargai. Pekerjaan ini tidak sesuai dengan syariat." Maka dia menolak peluang tersebut dan terus bersabar menghadapi kesulitan dan kemiskinannya.

وَتَمُرُّ بِهِ بَعْدَ حِينٍ فُرْصَةٌ أُخْرَى، وَيَعُودُ فَيَسْأَلُنِي عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِيهَا، وَأَنْظُرُ فَأَرَاهَا هِيَ الْأُخْرَى مَلْغُومَةٌ وَمُحَرَّمَةٌ، فَأُعِيدُ لَهُ الْجَوَابَ ذَاتَهُ، وَيَعُودُ هُوَ إِلَى الصَّبْرِ ذَاتِهِ، رَاضِيًا بِحَالَةِ التَّجْرِيدِ الَّتِي أَقَامَهُ اللَّهُ فِيهَا بِمُقْتَضَى مِيزَانِ شَرْعِهِ. 

Setelah beberapa waktu, kesempatan lain datang kepadanya. Dia kembali bertanya padaku tentang hukum syariat terkait kesempatan tersebut. Ketika aku memeriksanya, ternyata kesempatan ini juga penuh dengan jebakan dan haram. Aku pun memberinya jawaban yang sama, dan dia kembali bersabar, menerima keadaan *tajrid* (keterlepasan dari sebab-sebab duniawi) yang Allah tetapkan untuknya sesuai dengan hukum syariat.

فَمَاذَا كَانَتْ عَاقِبَةُ صَبْرِهِ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ؟

فَتَحَ اللَّهُ أَمَامَهُ نَافِذَةً إِلَى سَبَبٍ نَقِيٍّ طَاهِرٍ لِرِزْقٍ وَافِرٍ كَرِيمٍ، مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، انْتَقَلَ بِحُكْمِ ذَلِكَ إِلَى الْمَدِينَةِ الْمُنَوَّرَةِ، وَتَزَوَّجَ، وَرَزَقَهُ اللَّهُ الْأَوْلَادَ وَعَادَ فَاشْتَرَى بَيْتًا فَسِيحًا فِي مَسْقِطِ رَأْسِهِ دِمَشْقَ، وَمِنْ خِلَالِ تَعَامُلِهِ الشَّرْعِيِّ مَعَ الْأَسْبَابِ أَصْبَحَ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ مَرْكَزِ عَمَلِهِ فِي الْمَدِينَةِ، وَمَوْطِنِهِ وَمُلْتَقَى أَهْلِهِ فِي دِمَشْقَ. 

Apa hasil dari kesabarannya menghadapi keadaan tersebut? Allah membuka jalan baginya menuju rezeki yang murni, bersih, dan melimpah dari arah yang tidak disangka-sangka. Dia dipindahkan oleh kehendak Allah ke Madinah, menikah, dan Allah memberinya anak-anak. Kemudian, dia kembali membeli rumah yang luas di kampung halamannya di Damaskus. Melalui cara yang sesuai dengan syariat, dia pun bolak-balik antara tempat kerjanya di Madinah dan kampung halamannya di Damaskus, tempat berkumpulnya keluarga.

اسْتَسْلَمَ لِلتَّجْرِيدِ طِوَالَ الْمُدَّةِ الَّتِي ابْتَلَاهُ اللَّهُ بِهَا، ثُمَّ تَقَبَّلَ كَرَمَ اللَّهِ لَهُ، عِنْدَمَا نَقَلَهُ مِنْ خِلَالِ شَرْعِهِ إِلَى عَالَمِ التَّعَامُلِ مَعَ الْأَسْبَابِ.

Dia menyerahkan diri kepada *tajrid* selama masa ujian yang diberikan Allah, dan akhirnya menerima karunia Allah ketika Dia membawanya, melalui syariat-Nya, ke dunia yang penuh dengan sebab-sebab (rezeki) yang halal.

***

أَلَا، فَلْنُعَاهِدِ اللهَ أَنْ يَكُونَ سُلُوكُنَا خَاضِعًا لِقَانُونِ هَذِهِ الْحِكْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ الَّتِي اعْتَصَرَهَا لَنَا ابْنُ عَطَاءِ اللهِ مِنْ بَيَانِ اللهِ وَهَدْيِ نَبِيِّهِ: «إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ، وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ».

Maka, marilah kita berjanji kepada Allah untuk menjadikan perilaku kita tunduk pada hukum hikmah Ilahi ini, yang telah dirangkumkan kepada kita oleh Ibn 'Atha'illah dari penjelasan Allah dan petunjuk Nabi-Nya: *“Keinginanmu untuk hidup dalam keadaan tajrid (keterlepasan dari sebab-sebab duniawi) sementara Allah menempatkanmu di tengah sebab-sebab (rezeki) adalah keinginan yang tersembunyi dari nafsu. Dan keinginanmu untuk hidup dalam keadaan berurusan dengan sebab-sebab (rezeki) sementara Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari semangat yang luhur.”

***

* Catatan: Apabila ada kesalahan dalam penulisan arab dan terjemahan di atas, mohon dikoreksi melalui kolom komentar di bawah. Terima kasih!

Kamis, 15 Agustus 2024

KETIKA DITANYA APAKAH ENGKAU MUKMIN? JAWABLAH INSYA ALLAH !!!

Ihya Ulumiddin halaman 143 baris 9* dari atas sbb.:

مسألة

فإن قلت ما وجه قول السلف أنا مؤمن إن شاء الله والاستثناء شك والشك في الإيمان كفر وقد كانوا كلهم يمتنعون عن جزم الجواب بالإيمان ويحترزون عنه فقال سفيان الثوري رحمه الله من قال أنا مؤمن عند الله فهو من الكذابين ومن قال أنا مؤمن حقاً فهو بدعة 

Permasalahan:

Jika Anda bertanya, apa alasan para ulama salaf berkata, “Saya seorang mukmin, insya Allah,” padahal pengecualian (insya Allah) menunjukkan keraguan, dan keraguan dalam iman adalah kufur. Mereka semua menghindari memberikan jawaban tegas mengenai keimanan dan sangat berhati-hati dalam hal itu. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, "Siapa yang berkata 'Saya seorang mukmin di hadapan Allah', dia adalah seorang pembohong. Dan siapa yang berkata 'Saya benar-benar seorang mukmin', itu adalah bid'ah."

فكيف يكون كاذباً وهو يعلم أنه مؤمن في نفسه ومن كان مؤمناً في نفسه كان مؤمناً عند الله كما أن من كان طويلاً وسخياً في نفسه وعلم ذلك كان كذلك عند الله وكذا من كان مسروراً أو حزيناً أو سميعاً أو بصيراً

Lalu bagaimana seseorang bisa dianggap pembohong padahal dia tahu bahwa dia seorang mukmin dalam hatinya? Dan siapa yang menjadi seorang mukmin dalam hatinya, dia juga seorang mukmin di hadapan Allah, sebagaimana seseorang yang mengetahui dirinya tinggi atau dermawan, maka dia juga demikian di hadapan Allah. Demikian pula dengan orang yang merasa senang atau sedih, atau yang mendengar dan melihat.

 ولو قيل للإنسان هل أنت حيوان لم يحسن أن يقول أنا حيوان إن شاء الله

ولما قال سفيان ذلك قيل له فماذا نقول قال قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا وأي فرق بين أن يقول آمنا بالله وما أنزل إلينا وبين أن يقول أنا مؤمن وقيل للحسن أمؤمن أنت فقال إن شاء الله فقيل له لم تستثني يا أبا سعيد في الإيمان فقال أخاف أن أقول نعم فيقول الله سبحانه كذبت يا حسن فتحق علي الكلمة وكان يقول ما يؤمنني أن يكون الله سبحانه قد اطلع علي في بعض ما يكره فمقتني وقال اذهب لا قبلت لك عملاً فأنا أعمل في غير معمل

Jika seseorang ditanya, "Apakah Anda adalah hewan?" maka tidak pantas baginya untuk berkata, "Saya adalah hewan, insya Allah." Ketika Sufyan berkata demikian, dia ditanya, "Lalu apa yang harus kita katakan?" Dia menjawab, "Katakanlah, 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami.'"

Apa perbedaan antara berkata “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” dengan berkata “Saya seorang mukmin”? Hasan al-Bashri ditanya, “Apakah Anda seorang mukmin?” Dia menjawab, “Insya Allah.” Maka dikatakan kepadanya, “Mengapa Anda mengecualikan iman, wahai Abu Sa’id?” Dia menjawab, “Saya khawatir jika saya berkata 'ya', Allah Subhanahu wa Ta'ala akan berkata, 'Kamu berdusta, wahai Hasan,' dan kata-kata itu menjadi kenyataan bagi saya."

Hasan al-Bashri juga berkata, “Bagaimana saya bisa yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat saya dalam keadaan yang tidak Dia sukai, lalu Dia murka kepada saya dan berkata, ‘Pergilah, Aku tidak akan menerima amalmu!’ Maka, saya bekerja tanpa kepastian (tentang penerimaan amal).” 

وقال إبراهيم بن أدهم إذا قيل لك أمؤمن أنت فقل لا إله إلا الله وقال مرة قل أنا لا أشك في الإيمان وسؤالك إياي بدعة وقيل لعلقمة أمؤمن أنت قال أرجو إن شاء الله وقال الثوري نحن مؤمنون بالله وملائكته وكتبه ورسله وما ندري ما نحن عند الله تعالى فما معنى هذه الاستثناءات فالجواب أن هذا الاستثناء صحيح وله أربعة أوجه وجهان مستندان إلى الشك لا في أصل الإيمان ولكن في خاتمته أو كماله ووجهان لا يستندان إلى الشك

Ibrahim bin Adham berkata, “Jika Anda ditanya, 'Apakah Anda seorang mukmin?' maka katakanlah, 'Tidak ada Tuhan selain Allah.’” Dia juga pernah berkata, “Katakan, ‘Saya tidak meragukan iman, dan pertanyaan Anda adalah bid’ah.’” 'Alqamah ditanya, “Apakah Anda seorang mukmin?” Dia menjawab, “Saya berharap demikian, insya Allah.” Ats-Tsauri berkata, “Kami beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, dan rasul-Nya, tetapi kami tidak tahu bagaimana keadaan kami di hadapan Allah.”

Apa makna dari pengecualian ini? Jawabannya adalah bahwa pengecualian ini benar dan memiliki empat aspek. Dua aspek didasarkan pada keraguan, bukan pada pokok iman, tetapi pada akhir hidup atau kesempurnaan iman. Dua aspek lainnya tidak didasarkan pada keraguan sama sekali.

الوجه الأول الذي لا يستند إلى معارضة الشك الاحتراز من الجزم خيفة ما فيه من تزكية النفس قال الله تعالى فلا تزكوا أنفسكم {وقال} ألم تر إلى الذين يزكون أنفسهم وقال تعالى انظر كيف يفترون على الله الكذب وقيل لحكيم ما الصدق القبيح فقال ثناء المرء على نفسه والإيمان من أعلى صفات المجد والجزم تزكية مطلقة وصيغة الاستثناء كأنها ثقل من عرف التزكية كما يقال للإنسان أنت طبيب أو فقيه أو مفسر فيقول نعم إن شاء الله لا في معرض التشكيك ولكن لإخراج نفسه عن تزكية نفسه فالصيغة صيغة الترديد والتضعيف لنفس الخبر ومعناه التضعيف اللازم من لوازم الخبر وهو التزكية وبهذا التأويل لو سئل عن وصف ذم لم يحسن الاستثناء

Aspek pertama yang tidak didasarkan pada keraguan:

Adalah kehati-hatian dari memastikan sesuatu karena takut terjerumus ke dalam sikap memuji diri sendiri. Allah Ta'ala berfirman, “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.” (QS. An-Najm: 32). Dia juga berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci?” (QS. An-Nisa: 49). Dan Allah Ta'ala berfirman, “Lihatlah bagaimana mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah.” (QS. An-Nisa: 50). Seorang bijak pernah ditanya, "Apa kejujuran yang buruk?" Dia menjawab, "Memuji diri sendiri." Iman adalah salah satu sifat paling mulia, dan memastikan bahwa seseorang memiliki iman merupakan bentuk pujian diri secara mutlak. Oleh karena itu, menggunakan ungkapan pengecualian (insya Allah) adalah sikap kehati-hatian dari sikap memuji diri sendiri. Seperti halnya jika seseorang ditanya, "Apakah Anda seorang dokter, ahli fikih, atau mufassir?" dan dia menjawab, "Ya, insya Allah," bukan untuk menunjukkan keraguan, tetapi untuk menghindari sikap memuji diri. Maka ungkapan pengecualian tersebut sebenarnya adalah bentuk penundaan dan pelemahan terhadap kepastian atas suatu pernyataan, yang mengandung unsur pujian diri. Oleh sebab itu, jika seseorang ditanya mengenai sifat yang tercela, tidaklah pantas baginya untuk menggunakan pengecualian tersebut.

الوجه الثاني التأدب بذكر الله تعالى في كل حال وإحالة الأمور كلها إلى مشيئة الله سبحانه فقد أدب الله سبحانه نبيه صلى الله عليه وسلم فقال تعالى ولا تقولن لشيء إني فاعل ذلك غداً إلا أن يشاء الله ثم لم يقتصر على ذلك فيما لا يشك فيه بل قال تعالى لتدخلن المسجد الحرام إن شاء الله آمنين محلقين رءؤسكم ومقصرين وكان الله سبحانه عالماً بأنهم يدخلون لا محالة وأنه شاءه ولكن المقصود تعليمه ذلك فتأدب رسول الله صلى الله عليه وسلم في ما كان يخبر عنه معلوماً كان أو مشكوكاً حتى قال صلى الله عليه وسلم لما دخل المقابر السلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون (١) واللحوق بهم غير مشكوك فيه ولكن مقتضى الأدب ذكر الله تعالى وربط الأمور به وهذه الصيغة دالة عليه حتى صار بعرف الاستعمال عبارة عن إظهار الرغبة والتمني فإذا قيل لك إن فلاناً يموت سريعاً فتقول إن شاء الله فيفهم منه رغبتك لا تشككك وإذا قيل لك فلان سيزول مرضه ويصح فتقول إن شاء الله بمعنى الرغبة فقد صارت الكلمة معدولة عن معنى التشكيك إلى معنى الرغبة وكذلك العدول إلى معنى التأدب لذكر الله تعالى كيف كان الأمر

Aspek kedua: 

Adalah beradab dengan menyebut nama Allah Ta'ala dalam segala keadaan dan mengaitkan segala urusan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengajarkan adab ini kepada Nabi-Nya, shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ kecuali dengan mengatakan ‘Insya Allah’” (QS. Al-Kahfi: 23-24). Allah Subhanahu wa Ta'ala juga tidak membatasi hal ini hanya pada sesuatu yang tidak diragukan, sebagaimana firman-Nya, “Kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah, dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan memendekkannya” (QS. Al-Fath: 27). Allah Subhanahu wa Ta'ala sebenarnya mengetahui bahwa mereka pasti akan masuk ke Masjidil Haram, dan itu sudah menjadi kehendak-Nya, tetapi maksudnya adalah untuk mengajarkan adab tersebut kepada Nabi. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beradab dengan menyebut nama Allah dalam segala urusan, baik yang diketahui pasti atau yang diragukan, sampai beliau bersabda ketika memasuki pemakaman, “Salam sejahtera atas kalian, wahai penghuni negeri orang-orang beriman, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim).

Meskipun menyusul mereka adalah sesuatu yang tidak diragukan, adab yang mengharuskan menyebut nama Allah Ta'ala dan mengaitkan segala urusan dengan-Nya tetap dilakukan. Penggunaan ungkapan “insya Allah” juga menjadi cara untuk menunjukkan keinginan atau harapan. Misalnya, jika Anda diberi tahu bahwa seseorang akan segera meninggal, dan Anda menjawab, "Insya Allah," maka yang dipahami adalah bahwa Anda berharap demikian, bukan meragukannya. Jika Anda diberi tahu bahwa seseorang akan sembuh dari penyakitnya dan Anda menjawab, "Insya Allah," maksudnya adalah harapan Anda akan kesembuhannya. Dengan demikian, ungkapan ini telah bergeser dari makna keraguan menjadi makna harapan, begitu pula dengan makna adab dalam menyebut nama Allah Ta'ala dalam segala urusan, bagaimanapun keadaannya.

الوجه الثالث مستنده الشك ومعناه أنا مؤمن حقاً إن شاء الله إذ قال الله تعالى لقوم مخصوصين بأعيانهم أولئك هم المؤمنون حقاً فانقسموا إلى قسمين ويرجع هذا إلى الشك في كمال الإيمان لا في أصله 

Aspek ketiga didasarkan pada keraguan:

Maknanya adalah “Saya benar-benar seorang mukmin, insya Allah,” sebagaimana Allah Ta'ala berfirman mengenai sekelompok orang tertentu, “Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenar-benarnya” (QS. Al-Anfal: 4). Oleh karena itu, mereka terbagi menjadi dua kelompok, dan hal ini kembali kepada keraguan dalam kesempurnaan iman, bukan dalam pokoknya. 

وكل إنسان شاك في كمال إيمانه وذلك ليس بكفر والشك في كمال الإيمان حق من وجهين أحدهما من حيث إن النفاق يزيل كمال الإيمان وهو خفي لا تتحقق البراءة منه والثاني أنه يكمل بأعمال الطاعات ولا يدري وجودها على الكمال أما العمل فقد قال الله تَعَالَى إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سبيل الله أولئك هم الصادقون {فيكون}

الشك في هذا الصدق وكذلك قال الله تعالى ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين فشرط عشرين وصفاً كالوفاء بالعهد والصبر على الشدائد

Setiap orang meragukan kesempurnaan imannya, dan keraguan ini bukanlah kekufuran. Keraguan dalam kesempurnaan iman adalah hal yang benar dari dua sudut pandang:

1) Dari sudut pandang bahwa kemunafikan menghilangkan kesempurnaan iman, dan kemunafikan ini bersifat tersembunyi sehingga seseorang tidak dapat memastikan bahwa dirinya benar-benar terbebas darinya.

2) Kesempurnaan iman dicapai melalui amal ibadah, dan seseorang tidak tahu apakah amalnya sudah sempurna.

Adapun amal, Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujurat: 15). Maka, keraguan terkait dengan kejujuran ini. Begitu pula Allah Ta'ala berfirman, “Akan tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS. Al-Baqarah: 177), kemudian Dia menetapkan dua puluh sifat seperti memenuhi janji dan bersabar dalam kesulitan.

ثم قال تعالى أولئك الذين صدقوا وقد قال تَعَالَى يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أوتوا العلم درجات وقال تعالى لا يستوي منكم من أنفق من قبل الفتح وقاتل الآية وقد قال تعالى هم درجات عند الله وقال صلى الله عليه وسلم الإيمان عريان ولباسه التقوى الحديث

Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS. Al-Baqarah: 177). Allah Ta'ala juga berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah: 11). Allah Ta'ala berfirman, “Tidaklah sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) sebelum penaklukan (Mekah) dan ikut berperang” (QS. Al-Hadid: 10). Dan Allah Ta'ala juga berfirman, “Mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah” (QS. Ali Imran: 163). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah takwa.” (HR. Ahmad). 

وقال صلى الله عليه وسلم الإيمان بضع وسبعون باباً أدناها إماطة الأذى عن الطريق فهذا ما يدل على ارتباط كمال الإيمان بالأعمال وأما ارتباطه بالبراءة عن النفاق والشرك الخفي فقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فيه فهو منافق خالص وإن صام وصلى وزعم أنه مؤمن مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وإذا اؤتمن خان وإذا خاصم فجر وفي بعض الروايات وإذا عاهد غدر وفي حديث أبي سعيد الخدري القلوب أربعة قلب أجرد وفيه سراج يزهر فذلك قلب المؤمن وقلب مصفح فيه إيمان ونفاق فمثل الإيمان فيه كمثل البقلة يمدها الماء العذب ومثل النفاق فيه كمثل القرحة يمدها القيح والصديد فأي المادتين غلب عليه حكم له بها وفي لفظ آخر غلبت عليه ذهبت به وقال عليه السلام أكثر منافقي هذه الأمة قراؤها

Adapun kaitannya dengan terbebas dari kemunafikan dan syirik yang tersembunyi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada empat hal yang jika dimiliki seseorang, ia adalah munafik murni, meskipun ia berpuasa, shalat, dan mengaku sebagai mukmin: Jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; jika dipercaya, ia berkhianat; dan jika berselisih, ia berbuat curang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam beberapa riwayat juga disebutkan, “Jika ia membuat perjanjian, ia berkhianat.”

Dalam hadits Abu Sa'id al-Khudri, disebutkan bahwa hati manusia ada empat jenis: hati yang bersih yang di dalamnya terdapat cahaya yang bersinar, itulah hati seorang mukmin; hati yang berlapis, di dalamnya terdapat iman dan kemunafikan, perumpamaan iman di dalamnya seperti tumbuhan yang disirami air yang bersih, dan perumpamaan kemunafikan di dalamnya seperti luka yang disirami nanah dan darah, maka mana yang lebih dominan, itulah yang akan menguasainya (HR. Ahmad dan Thabrani). Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika yang dominan adalah salah satunya, itulah yang akan membawanya pergi.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Mayoritas munafik di antara umat ini adalah para qari'nya.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

وفي حديث الشرك أخفى في أمتى من دبيب النمل على الصفا وقال حذيفة رضي الله عنه كان الرجل يتكلم بالكلمة عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يصير بها منافقاً إلى أن يموت وإني لأسمعها من أحدكم في اليوم عشر مرات وقال بعض العلماء أقرب الناس من النفاق من يرى أنه بريء من النفاق وقال حذيفة المنافقون اليوم أكثر منهم على عهد النبي صلى الله عليه وسلم فكانوا إذ ذاك يخفونه وهم اليوم يظهرونه وهذا النفاق يضاد صدق الإيمان وكماله وهو خفي وأبعد الناس منه من يتخوفه وأقربهم منه من يرى أنه بريء منه فقد قيل للحسن البصري يقولون أن لا نفاق اليوم فقال يا أخي لو هلك المنافقون لاستوحشتم في الطريق وقال هو أو غيره لو نبتت للمنافقين أذناب ما قدرنا أن نطأ على الأرض بأقدامنا

Dalam hadits lain disebutkan, “Syirik itu lebih tersembunyi di antara umatku daripada jejak semut di atas batu.” (HR. Ahmad). Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seseorang bisa menjadi munafik hanya karena satu kata yang diucapkannya hingga ia mati. Dan aku mendengar dari kalian dalam sehari sepuluh kata seperti itu.” (HR. Bukhari). Sebagian ulama berkata, “Orang yang paling dekat dengan kemunafikan adalah orang yang mengira dirinya bebas dari kemunafikan.” Hudzaifah juga berkata, “Sekarang, orang-orang munafik lebih banyak dibandingkan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dulu mereka menyembunyikannya, sekarang mereka menampakkannya.”

Kemunafikan ini bertentangan dengan kejujuran iman dan kesempurnaannya, dan ia tersembunyi. Orang yang paling jauh darinya adalah orang yang takut terhadap kemunafikan, dan yang paling dekat dengannya adalah orang yang mengira dirinya bebas darinya. Hasan al-Bashri berkata, “Mereka mengatakan bahwa tidak ada lagi kemunafikan hari ini.” Dia menjawab, “Wahai saudaraku, jika para munafik binasa, kalian akan merasa kesepian di jalan.” Beliau juga berkata, “Jika para munafik memiliki ekor, kita tidak akan mampu berjalan di bumi karena jumlah mereka.”

وسمع ابن عمر رضي الله عنه رجلاً يتعرض للحجاج فقال أرأيت لو كان حاضراً يسمع أكنت تتكلم فيه فقال لا فقال كنا نعد هذا نفاقاً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم (٧) وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ ذا لسانين في الدنيا جعله الله ذا لسانين في الآخرة وقال أيضاً صلى الله عليه وسلم شر الناس ذو الوجهين الذي يأتي هؤلاء بوجه ويأتي هؤلاء بوجه وقيل للحسن إن قوماً يقولون إنا لا نخاف النفاق فقال والله لأن أكون أعلم أني بريء من النفاق أحب إلي من تلاع الأرض ذهباً وقال الحسن إن من النفاق اختلاف اللسان والقلب والسر والعلانية والمدخل والمخرج وقال رجل لحذيفة رضي الله عنه إني أخاف أن أكون منافقاً فقال لو كنت منافقاً ما خفت النفاق إن المنافق قد أمن النفاق وقال ابن أبي مليكة أدركت ثلاثين ومائة وفي رواية خمسين ومائة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخافون النفاق

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mendengar seseorang mencela al-Hajjaj, lalu berkata, “Apakah jika dia hadir dan mendengar, kamu akan tetap berbicara seperti itu?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Ibnu Umar berkata, “Dahulu, kami menganggap ini sebagai kemunafikan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang memiliki dua wajah di dunia, Allah akan memberinya dua lidah di akhirat.” Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki satu wajah, dan seburuk-buruk orang adalah yang memiliki dua wajah, yang datang kepada satu kelompok dengan satu wajah dan datang kepada kelompok lain dengan wajah yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hasan al-Bashri pernah mendengar seseorang berkata, “Ada orang yang mengatakan bahwa mereka tidak takut terhadap kemunafikan.” Dia menjawab, “Demi Allah, lebih baik aku mengetahui bahwa aku bebas dari kemunafikan daripada memiliki seluruh lembah-lembah bumi penuh dengan emas.” Hasan juga berkata, “Termasuk tanda-tanda kemunafikan adalah perbedaan antara perkataan dan hati, antara rahasia dan yang tampak, antara masuk dan keluar.”

Seorang lelaki berkata kepada Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, “Aku khawatir bahwa aku adalah seorang munafik.” Hudzaifah menjawab, “Jika kamu khawatir akan hal itu, maka kamu bukan seorang munafik. Sesungguhnya seorang munafik tidak pernah khawatir akan kemunafikannya.”

Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku menjumpai seratus tiga puluh (dalam riwayat lain: seratus lima puluh) sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya khawatir terhadap kemunafikan.”

وروي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالساً في جماعة من أصحابه فذكروا رجلاً وأكثروا الثناء عليه فبيناهم كذلك إذ طلع عليهم الرجل ووجهه يقطر ماء من أثر الوضوء وقد علق نعله بيده وبين عينيه أثر السجود فقالوا يا رسول الله هذا هو الرجل الذي وصفناه فقال صلى الله عليه وسلم أرى على وجهه سفعة من الشيطان فجاء الرجل حتى سلم وجلس مع القوم فقال النبي صلى الله عليه وسلم نشدتك الله هل حدثت نفسك حين أشرفت على القوم أنه ليس فيهم خير منك فقال اللهم نعم (١) فقال صلى الله عليه وسلم في دعائه اللهم إني أستغفرك لما علمت ولما لم أعلم فقيل له أتخاف يا رسول الله فقال وما يؤمنني والقلوب بين إصبعين من أصابع الرحمن يقلبها كيف يشاء وقد قال سبحانه {وبدا لهم من الله ما لم يكونوا يحتسبون} (٢) قيل في التفسير عملوا أعمالاً ظنوا أنها حسنات فكانت في كفة السيئات

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk bersama sekelompok sahabatnya, lalu mereka membicarakan seorang pria dan memujinya dengan banyak pujian. Ketika mereka sedang membicarakannya, tiba-tiba pria tersebut datang dengan wajah yang masih basah karena wudhu, memegang sandalnya di tangan, dan terdapat bekas sujud di dahinya. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, inilah orang yang kami bicarakan tadi.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat ada tanda dari setan di wajahnya.”

Pria itu datang dan memberi salam, kemudian duduk bersama mereka. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Demi Allah, aku bertanya kepadamu, apakah saat engkau mendekati kami tadi, engkau berpikir bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang lebih baik darimu?” Pria itu menjawab, “Demi Allah, ya.” (HR. Ahmad). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, aku memohon ampun kepada-Mu untuk apa yang aku ketahui dan apa yang tidak aku ketahui.”

Ketika ditanya apakah beliau khawatir, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Bagaimana aku bisa merasa aman, sementara hati berada di antara dua jari dari jari-jari Allah, Dia membolak-balikkan hati sesuai kehendak-Nya?” Allah Ta'ala berfirman, “Dan tampaklah bagi mereka dari Allah apa yang dahulu tidak mereka perkirakan” (QS. Az-Zumar: 47). Dalam tafsir disebutkan bahwa mereka melakukan amal yang mereka kira sebagai kebaikan, tetapi ternyata berada di timbangan keburukan.

وقال سري السقطي لو أن إنساناً دخل بستاناً فيه من جميع الأشجار عليها من جميع الطيور فخاطبه كل طير منها بلغة فقال السلام عليك يا ولي الله فسكنت نفسه إلى ذلك كان أسيراً في يديها فهذه الأخبار والآثار تعرفك خطر الأمر بسبب دقائق النفاق والشرك الخفي وأنه لا يؤمن منه حتى كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يسأل حذيفة عن نفسه وأنه هل ذكر في المنافقين 

Sari as-Saqathi berkata, “Jika seseorang memasuki sebuah kebun yang dipenuhi berbagai pohon dengan berbagai burung yang menyanyi, lalu setiap burung menyapanya dengan berkata, ‘Salam sejahtera bagimu, wahai wali Allah,’ dan hatinya merasa tenang dengan sapaan tersebut, maka dia telah menjadi tawanan mereka.”

Kisah-kisah dan hadis-hadis ini menunjukkan betapa berbahayanya kemunafikan dan syirik yang tersembunyi, serta tidak ada yang merasa aman darinya kecuali orang-orang seperti Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, yang biasa bertanya kepada Hudzaifah apakah namanya tercantum di antara orang-orang munafik.

وقال أبو سليمان الداراني سمعت من بعض الأمراء شيئاً فأردت أن أنكره فخفت أن يأمر بقتلي ولم أخف من الموت ولكن خشيت أن يعرض لقلبي التزين للخلق عند خروج روحي فكففت وهذا من النفاق الذي يضاد حقيقة الإيمان وصدقه وكماله وصفاءه لا أصله

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Aku mendengar sesuatu dari seorang penguasa dan ingin menolaknya, tetapi aku takut dia akan memerintahkan untuk membunuhku. Bukan kematian yang kutakutkan, tetapi aku khawatir jika saat kematianku, hatiku tergoda untuk berpura-pura kepada manusia, maka aku menahan diri.” Ini adalah bagian dari kemunafikan yang bertentangan dengan hakikat iman, kejujurannya, kesempurnaannya, dan kemurniannya, bukan pokoknya.

فالنفاق نفاقان أحدهما يخرج من الدين ويلحق بالكافرين ويسلك في زمرة المخلدين في النار والثاني يفضي بصاحبه إلى النار مدة أو ينقص من درجات عليين ويحط من رتبة الصديقين وذلك مشكوك فيه ولذلك حسن الاستثناء فيه وأصل هذا النفاق تفاوت بين السر والعلانية والأمن من مكر الله والعجب وأمور أخر لا يخلو عنها إلا الصديقون

Kemunafikan ada dua jenis: salah satunya mengeluarkan seseorang dari agama, membuatnya bergabung dengan orang-orang kafir, dan termasuk golongan yang kekal di neraka. Yang kedua membawa pelakunya ke dalam neraka untuk sementara atau mengurangi derajatnya di surga dan menurunkan kedudukannya di antara orang-orang yang jujur. Oleh karena itu, sikap waspada dalam hal ini adalah baik. Asal dari kemunafikan ini adalah perbedaan antara yang tersembunyi dan yang tampak, rasa aman dari tipu daya Allah, rasa kagum pada diri sendiri, dan hal-hal lainnya yang hanya bisa dihindari oleh orang-orang yang benar-benar jujur.

الوجه الرابع وهو أيضاً مستند إلى الشك وذلك من خوف الخاتمة فإنه لا يدري أيسلم له الإيمان عند الموت أم لا فإن ختم له بالكفر حبط عمله السابق لأنه موقوف على سلامة الآخر ولو سئل الصائم ضحوة النهار عن صحة صومه فقال أنا صائم قطعاً فلو أفطر في أثناء نهاره بعد ذلك لتبين كذبه إذ كانت الصحة موقوفة على التمام إلى غروب الشمس من آخر النهار

وكما أن النهار ميقات تمام الصوم فالعمر ميقات تمام صحة الإيمان ووصفه بالصحة قبل آخره بناء على الاستصحاب وهو مشكوك فيه والعاقبة مخوفة وللها كان بكاء أكثر الخائفين لأجل أنها ثمرة القضية السابقة والمشيئة الأزلية التي لا تظهر إلا بظهور المقضي به ولا مطلع عليه لأحد من البشر فخوف الخاتمة كخوف السابقة وربما يظهر في الحال ما سبقت الكلمة بنقيضه فمن الذي يدري أنه من الذين سبقت لهم من الله الحسنى وقيل في معنى قوله تعالى {وجاءت سكرة الموت بالحق} أي بالسابقة يعني أظهرتها

Alasan keempat juga didasarkan pada keraguan, yaitu ketakutan akan akhir kehidupan. Seseorang tidak tahu apakah imannya akan tetap terjaga saat ajal menjemput atau tidak. Jika akhir hidupnya diakhiri dengan kekufuran, maka semua amal kebaikan sebelumnya akan terhapus, karena amal itu bergantung pada keselamatan di akhir kehidupan. Misalnya, jika seseorang yang berpuasa ditanya pada siang hari tentang kondisi puasanya, dan dia menjawab dengan yakin bahwa dia berpuasa, namun jika kemudian dia membatalkan puasanya sebelum waktu berbuka, maka terbukti bahwa dia keliru. Hal ini karena kesempurnaan puasa tergantung pada penyelesaiannya hingga matahari terbenam di akhir hari. Seperti halnya hari merupakan waktu penyempurnaan puasa, kehidupan merupakan waktu penyempurnaan iman. Menyebutnya sempurna sebelum akhir kehidupan hanyalah berdasarkan asumsi, yang masih diragukan, dan akhir hidup itu menakutkan.

Oleh karena itu, banyak orang yang takut menangis karena akhir hidup mereka adalah hasil dari keputusan yang telah ditentukan sebelumnya dan kehendak azali yang tidak akan tampak kecuali dengan munculnya takdir yang telah ditetapkan, dan tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Ketakutan akan akhir kehidupan mirip dengan ketakutan akan takdir yang telah ditetapkan sebelumnya. Mungkin saja pada saat ini, seseorang melihat tanda yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan. Siapa yang tahu apakah dia termasuk orang-orang yang telah ditetapkan untuk memperoleh kebaikan dari Allah? Ada yang menafsirkan ayat “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya” (QS. Qaf: 19) sebagai tanda dari takdir sebelumnya, yaitu bahwa takdir itu kini menjadi jelas.

وقال بعض السلف إنما يوزن من الأعمال خواتيمها وكان أبو الدرداء رضي الله عنه يحلف بالله ما من أحد يأمن أن يسلب إيمانه إلا سلبه وقيل من الذنوب ذنوب عقوبتها سوء الخاتمة نعوذ بالله من ذلك وقيل هي عقوبات دعوى الولاية والكرامة بالافتراء وقال بعض العارفين لو عرضت علي الشهادة عند باب الدار والموت على التوحيد عند باب الحجرة لاخترت الموت على التوحيد عند باب الحجرة لأني لا أدري ما يعرض لقلبي من التغيير عن التوحيد إلى باب الدار وقال بعضهم لو عرفت واحداً بالتوحيد خمسين سنة ثم حال بيني وبينه سارية ومات لم أحكم أنه مات على التوحيد

Beberapa ulama salaf mengatakan bahwa amal-amal itu dinilai berdasarkan akhirnya. Abu Darda' radhiyallahu 'anhu bersumpah demi Allah bahwa tidak ada seorang pun yang merasa aman dari kehilangan imannya, kecuali dia benar-benar kehilangannya. Dikatakan pula bahwa ada dosa-dosa yang akibatnya adalah akhir kehidupan yang buruk, kita berlindung kepada Allah dari hal itu. Dikatakan juga bahwa dosa-dosa tersebut merupakan hukuman bagi klaim palsu tentang kewalian dan karomah. 

Salah seorang arif billah mengatakan bahwa jika ditawarkan kepadanya kesyahidan di depan pintu rumahnya dan mati dalam keadaan tauhid, dia tidak akan merasa aman. Saya lebih memilih mati dalam keadaan tauhid daripada di depan pintu rumah, karena saya tidak tahu apa yang mungkin terjadi pada hati saya berupa perubahan dari tauhid ketika saya sampai di depan pintu rumah. Salah seorang dari mereka berkata, "Jika saya mengenal seseorang sebagai penganut tauhid selama lima puluh tahun, kemudian saya terhalang oleh sebuah tiang darinya dan dia meninggal, saya tidak akan memutuskan bahwa dia meninggal dalam keadaan tauhid."

وفي الحديث من قال أنا مؤمن فهو كافر ومن قال أنا عالم فهو جاهل وقيل في قوله تعالى وتمت كلمات ربك صدقاً وعدلاً صدقاً لمن مات على الإيمان وعدلاً لمن مات على الشرك وقد قال تعالى {ولله عاقبة الأمور} فمهما كان الشك بهذه المثابة كان الاستثناء واجباً لأن الإيمان عبارة عما يفيد الجنة كما أن الصوم عبارة عما يبرىء الذمة وما فسد قبل الغروب لا يبرىء الذمة فيخرج عن كونه صوماً فكذلك الإيمان بل لا يبعد أن يسأل عن الصوم الماضي الذي لا يشك فيه بعد الفراغ منه فيقال أصمت بالأمس فيقول نعم إن شاء الله تعالى إذ الصوم الحقيقي هو المقبول والمقبول غائب عنه لا يطلع عليه إلا الله تعالى

Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang mengatakan 'Aku seorang mukmin,' maka dia adalah kafir, dan barang siapa yang mengatakan 'Aku seorang alim,' maka dia adalah orang yang bodoh." Dikatakan juga dalam tafsiran firman Allah Ta'ala: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai ketetapan yang benar dan adil” (QS. Al-An'am: 115). Benar bagi orang yang mati dalam keadaan beriman, dan adil bagi orang yang mati dalam keadaan syirik. Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan" (QS. Al-Hajj: 41). Karena itu, selama ada keraguan seperti ini, maka penggunaan kata "insya Allah" menjadi wajib, karena iman adalah sesuatu yang mengantarkan seseorang ke surga, sebagaimana puasa adalah sesuatu yang membebaskan tanggungan kewajiban. Jika puasa rusak sebelum matahari terbenam, maka itu tidak membebaskan dari kewajiban dan tidak lagi disebut sebagai puasa. Demikian pula dengan iman. Bahkan, mungkin saja seseorang ditanya tentang puasa di masa lalu yang tidak diragukan setelah selesai melaksanakannya, "Apakah kamu berpuasa kemarin?" dan dia menjawab, "Ya, insya Allah," karena puasa yang sejati adalah yang diterima, dan yang diterima itu tersembunyi dan hanya diketahui oleh Allah Ta'ala.

فمن هذا حسن الاستثناء في جميع أعمال البر ويكون ذلك شكا في القبول إذ يمنع من القبول بعد جريان ظاهر شروط الصحة أسباب خفيفة لا يطلع عليها إلا رب الأرباب جل جلاله فيحسن الشك فيه فهذه وجوه حسن الاستثناء في الجواب عن الإيمان وهي آخر ما نختم به كتاب قواعد العقائد تم الكتاب بحمد الله تعالى وصلى الله عليه وسلم على سيدنا محمد وعلى كل عبد مصطفى

Oleh karena itu, penggunaan "insya Allah" dalam semua amal kebaikan adalah baik, karena hal itu menunjukkan keraguan dalam penerimaan, sebab ada alasan-alasan tersembunyi yang menghalangi diterimanya amal, yang hanya diketahui oleh Tuhan semesta alam. Maka, keraguan dalam hal ini dianggap wajar. Inilah alasan mengapa penggunaan "insya Allah" dalam menjawab pertanyaan tentang iman adalah baik, dan ini menjadi penutup dari Kitab Qawa'id al-Aqa'id. Kitab ini selesai dengan pujian kepada Allah Ta'ala, semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada semua hamba yang terpilih.

---

Download Kitab Ihya Ulumiddin Cetakan Dar Ibnu Hazm. 2005. Beirut Libanon. 

* Apabila ada terjemahan di atas yang masih salah, mohon koreksinya melalui komentar di bawah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More