Senin, 26 Agustus 2024

Hikmah 126 Menurut Syarah Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthy || Ilmu yang Bermanfaat

Hikmah ke-126:

 الحكمة السادسة والعشرون بعد المئة الثانية:

(العلم النافع هو الذي ينبسط في الصدر شعاعه ويكشف به عن القلب قناعه )

"Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang cahayanya menyebar di dada dan mengungkapkan tirai yang menutupi hati."

Mungkin makna lahiriah dari hikmah ini memberi kesan bahwa dalam ilmu itu sendiri terdapat ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Namun, kenyataannya tidak demikian, dan Ibnu ‘Aṭā’illah rahimahullah tidak bermaksud demikian dengan kata-katanya. Ilmu, dalam esensinya, selalu bermanfaat dan diinginkan dalam segala situasi. Meskipun pentingnya ilmu berbeda-beda sesuai dengan manfaatnya, dari sinilah para ulama membagi ilmu menjadi fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, dan fardu kifayah, yang ditujukan kepada sekelompok orang yang mencukupi kebutuhan ilmu tersebut bagi masyarakat lainnya.

Mungkin Anda berkata: "Tetapi ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan, seperti ilmu perbintangan (tanjim) dan sihir." Jawabannya adalah bahwa sihir pada dasarnya bukanlah ilmu, melainkan tipu daya dan penipuan, di samping sebagai alat untuk menyakiti dan merugikan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali. Begitu pula dengan ilmu perbintangan dan sejenisnya.

Karena pentingnya ilmu berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan (dengan keyakinan bahwa setiap ilmu pada dasarnya memiliki keutamaan), Anda mungkin menemukan bahwa ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, teknik, dan industri, lebih penting dalam pandangan agama daripada beberapa ilmu agama. Misalnya, ketika di suatu kota terdapat banyak ahli dalam ilmu-ilmu agama, tetapi tidak cukup ahli dalam ilmu-ilmu duniawi lainnya. Bahkan, istilah **"ilmu agama"** tidak terbatas pada ilmu-ilmu tertentu saja. Ada kalanya ilmu duniawi, yang bahkan dipelajari oleh orang-orang kafir, masuk dalam kategori ilmu agama karena suatu alasan tertentu. Sebaliknya, ada pula ilmu yang dianggap sebagai ilmu agama, tetapi karena suatu alasan masuk dalam kategori ilmu duniawi.

Berikut ini adalah pernyataan yang sangat mendalam dari Imam Al-Ghazali mengenai hal ini, yang jarang disadari dan dipahami kecuali oleh para ulama besar: 

"Berapa banyak kota yang tidak memiliki seorang pun dokter kecuali dari kalangan non-Muslim, dan tidak boleh menerima kesaksian mereka terkait hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan kedokteran, namun tidak ada seorang pun yang mempelajari ilmu kedokteran, sementara mereka berbondong-bondong mempelajari ilmu fiqih, terutama yang berkaitan dengan perdebatan dan argumentasi. Kota itu penuh dengan ahli fiqih yang sibuk dengan fatwa dan jawaban terhadap berbagai masalah! Sungguh aneh bagaimana para ahli fiqih membolehkan sibuk dengan fardu kifayah yang sudah tercukupi oleh sebagian orang, sementara mereka mengabaikan fardu kifayah yang belum ada yang memenuhinya! Bukankah penyebabnya adalah bahwa kedokteran tidak memberikan kesempatan untuk mengelola wakaf, mengurus wasiat, mendapatkan harta anak yatim, menjadi hakim, atau memimpin atas rekan-rekan mereka dan menguasai musuh-musuh mereka? Sungguh, ilmu agama telah rusak oleh tipu daya para ulama yang buruk. Semoga Allah melindungi kita dari tipuan ini yang membuat Allah murka dan membuat setan tertawa.”

Jika hal ini sudah jelas, lalu berdasarkan apa Ibnu ‘Aṭā’illah membagi ilmu menjadi bermanfaat dan tidak bermanfaat? Jawabannya adalah bahwa pembagian ini tidak merujuk pada ilmu itu sendiri, melainkan pada niat orang yang mempelajarinya. Jika niat seseorang dalam mempelajari atau mengajarkan ilmu sesuai dengan tuntunan syariat, maka ilmu itu dianggap bermanfaat. Namun, jika niatnya bertentangan dengan syariat, maka ilmu tersebut dianggap tidak bermanfaat. Tuntunan syariat hanya melihat pada apa yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah dan menambah ketaatan kepada-Nya, atau apa yang menjauhkan seorang hamba dari Allah dan menambah jarak dari ketaatan kepada-Nya.

Diketahui bahwa siapa pun yang mengenal Allah dan mengikuti petunjuk-Nya, dia akan bermanfaat bagi hamba-hamba Allah dan mencintai mereka. Sebaliknya, siapa pun yang terhalang dari mengenal Allah dan menjauh dari petunjuk-Nya, dia akan hidup dalam kelalaian atau meremehkan hak-hak manusia, menjadi egois dan mementingkan dirinya sendiri. Ilmu hanyalah alat di tangan manusia dalam kedua kondisi ini. Karena itu, ilmu akan berwarna sesuai dengan pemiliknya. Ilmu akan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi siapa pun yang mengenal Allah dan mengikuti petunjuk-Nya, dan akan menjadi ilmu yang merugikan bagi siapa pun yang terhalang dari Allah dan menjauh dari jalan dan petunjuk-Nya.

Bagi seseorang yang telah mengenal Allah, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, dan mengikuti petunjuk-Nya, kemudian mendalami salah satu ilmu yang disebut ilmu duniawi seperti kedokteran, teknik, pertanian, industri, matematika, fisika, kimia, astronomi, dan lain-lain, baik sebagai pelajar maupun pengajar, maka ilmu-ilmu itu hanya akan menjadi alat untuk menambah pengetahuannya tentang Allah dan mengagungkan-Nya, dan ia tidak akan menggunakannya kecuali untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat manusia. Maka, sungguh beruntunglah ia memiliki ilmu yang bermanfaat, yang mendekatkan kepada Allah dan berguna bagi hamba-hamba-Nya.

Dan barangsiapa yang pernah tersesat dari mengenal Allah dan iman yang sejati kepada-Nya, serta menjauh dari berpegang teguh pada petunjuk-Nya, kemudian mendalami ilmu-ilmu yang disebut sebagai ilmu agama, seperti fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, akidah, sirah Nabi, dan lain sebagainya—baik sebagai pelajar, pengajar, atau praktisi—maka ilmu-ilmu tersebut baginya hanya akan menjadi alat yang tunduk pada keinginan nafsunya yang mencari kesenangan pribadi, serta untuk mengendalikan semua sistem dan hukum yang berlaku demi keuntungan pribadi, sambil meremehkan hak dan kepentingan orang lain.

Betapa sering kita melihat ilmu-ilmu yang sebenarnya bersifat Islam dan religius pada intinya, berubah di tangan orang-orang yang menguasainya dan di bawah kekuasaan kegiatan mereka menjadi alat untuk meraih keuntungan materi, mencapai ambisi kepemimpinan dan kekuasaan, serta memuaskan keinginan dan hasrat pribadi. Sungguh celakalah ilmu-ilmu tersebut, yang telah diturunkan dari kedudukannya yang luhur menjadi pelayan untuk meraih keuntungan pribadi dan hasrat duniawi. Meskipun pada dasarnya ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu yang bermanfaat dan lampu penerang menuju kebenaran, namun di tangan orang-orang yang telah menjadi budak nafsu mereka sendiri, ilmu-ilmu itu berubah menjadi ilmu yang merugikan dan menjadi alat untuk menemukan jalan menuju keinginan dan hasrat mereka.

Tidakkah engkau melihat bagaimana ilmu-ilmu yang bermanfaat pada dasarnya, ketika berada di bawah kekuasaan orang-orang yang buruk niatnya, dapat memutarbalikkan kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran? Tidakkah engkau melihat bagaimana ilmu-ilmu itu, dalam praktiknya, berubah menjadi argumen verbal untuk membela nafsu mereka dan apa yang diminta oleh kepentingan dan ambisi mereka? Tidak ada yang lebih mudah bagi seseorang yang hatinya kosong dari perasaan akan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya selain bermain-main dengan teks-teks syariat agar sesuai dengan kehendaknya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi dalam kitab *Al-Muwafaqat*. Sungguh, tidak ada perbedaan antara seorang pengacara yang bermain-main dengan teks-teks hukum demi mendapatkan bayaran yang telah disepakati, dengan seorang ulama yang bermain-main dengan teks-teks agama demi meraih keuntungan duniawi yang ia perjuangkan. Selama teks-teks itu hanya berupa kata-kata, dan selama kata-kata tersebut adalah istilah-istilah yang siap diisi dengan makna apapun yang diinginkan.

Apakah jargon-jargon seperti "pembacaan kontemporer," "modernitas," "penentuan agama," dan "mengikuti semangat syariat Islam" tidak tersebar luas untuk menjadi tirai asap, di baliknya diselundupkan kepentingan pribadi dan keinginan-keinginan, yang dibalut dengan penampilan semu Islam dan digambarkan dalam cahaya palsu dari lingkaran hukum Allah?

Betapa tepat dan benar kata-kata yang diriwayatkan dari Imam Al-Ghazali, yang mengatakan: "Penambahan ilmu pada orang yang buruk seperti penambahan air pada akar tanaman pahit, semakin banyak airnya, semakin pahit rasanya."

Ilmu memang memiliki aturan dan prinsip dalam ilmu bahasa Arab yang dijaga dan teratur, yang melindungi dari segala penyalahgunaan, karena para pendukung jargon-jargon tersebut menganggap bahwa aturan-aturan bahasa Arab itu sudah usang. Dan tidak lama lagi, bahasa Arab itu sendiri juga akan dianggap telah usang.

Jadi, terbukti bahwa ilmu berubah warnanya sesuai dengan niat yang tersembunyi di dalam jiwa orang yang mempelajarinya atau mengajarkannya. Mengingat bahwa niat secara keseluruhan terbagi menjadi yang diperbolehkan dan bermanfaat, serta yang dilarang dan merugikan, maka ilmu-ilmu yang dipraktikkan oleh manusia juga harus terbagi menjadi ilmu yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Meskipun semua ilmu, terlepas dari bagaimana niat pemiliknya menggunakannya, pada dasarnya bermanfaat, menunjukkan kebenaran, dan menjelaskan tanda yang memisahkannya dari kebatilan, serta dengan demikian, semuanya menunjukkan dan mengantarkan kepada kebenaran yang sejati, yaitu Allah.

Selanjutnya, baik hati maupun akal, keduanya akan mengambil warna dari ilmu yang dipelajari oleh pemiliknya. Ilmu yang bermanfaat (sebagaimana telah dijelaskan ukuran manfaat dan bahayanya) memancarkan cahaya tersembunyi yang menyebar sebagian ke hati, yang kemudian menghasilkan rasa kagum, hormat, dan cinta kepada Allah SWT. Cahaya ini juga menyinari akal, sehingga lapisan-lapisan keraguan yang menumpuk dan menyebabkan kebingungan serta kegelisahan pun menghilang. Tidak ada perbedaan antara ilmu yang disebut sebagai ilmu dunia dan ilmu yang disebut sebagai ilmu akhirat dalam hal ilmu yang bermanfaat yang memancarkan cahaya ini. Sebab, seperti yang telah diketahui, tujuan yang mengklasifikasikan ilmu tersebut dan membaginya menjadi ilmu dunia yang merugikan dan ilmu akhirat yang bermanfaat.

Sumber cahaya yang memancarkan sinar ke akal dan hati berasal dari objek pengetahuan, baik itu berkaitan dengan alam semesta maupun agama. Adapun objek alam semesta, yang mencakup berbagai ilmu pengetahuan alam seperti yang telah disebutkan contohnya, sumber cahayanya berasal dari kebenaran yang dijelaskan oleh firman Allah SWT: *“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”* (QS. Al-Isra: 44) dan firman-Nya: *“Masing-masing mengetahui cara berdoa dan bertasbihnya masing-masing.”* (QS. An-Nur: 41). Maksudnya, tidak ada satu pun kebenaran ilmiah yang berkaitan dengan hukum alam di bumi, langit, atau di antara keduanya, kecuali hukum tersebut menunjukkan kepatuhan terhadap kekuasaan Allah SWT dan keteraturan dalam fungsi yang telah Allah tetapkan. Kepatuhan yang diungkapkan oleh ilmu ini merupakan bagian dari makna firman-Nya: *“Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”* (QS. Al-Furqan: 2).

Ilmu tentang hukum-hukum ini pada dasarnya adalah penemuan dari fungsi yang Allah tundukkan pada komponennya. Hukum-hukum ini terus berjalan tanpa cacat atau gangguan, dan ini adalah salah satu makna tasbih yang diberitakan oleh Allah mengenai semua makhluk-Nya, yang dapat dipahami oleh mereka yang mendalami ilmu tentang makhluk-makhluk ini, baik itu dalam ilmu kedokteran, astronomi, fisika, kimia, teknik, pertanian, industri, dan lainnya. Namun, ada satu syarat agar cahaya ini bisa menyebar ke akal dan hati seorang ilmuwan, yaitu bahwa ia tidak mengharapkan apapun dari pendalaman ilmu tersebut kecuali satu hal: memahami kebenaran untuk meresapinya dan memperlakukan alam semesta berdasarkan kebenaran itu. Jika tujuannya murni saat mempelajari dan meneliti hukum-hukum ini, ia akan memahami tasbih dari hukum-hukum alam ini kepada Allah, bahkan mendengarnya dengan telinga kesadaran dan akalnya, serta memahami bahwa hukum-hukum tersebut mengagungkan dan menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Hatinya pun akan dipenuhi dengan rasa hormat dan penghargaan kepada-Nya, serta perasaan kagum terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya yang luar biasa. Inilah cahaya yang dimaksud oleh Ibn Atha'illah ketika beliau berkata, *“... cahaya itu menyebar di dalam dada.”*

Namun, jika seseorang mendalami ilmu ini dengan tujuan memperkuat keyakinan yang salah, mengejar keuntungan duniawi, atau melayani prinsip yang merusak, maka ia tidak akan melihat apapun dalam hukum-hukum menakjubkan ini yang menunjukkan keberadaan Allah. Ia tidak akan merasakan tasbih dari hukum-hukum alam ini kepada Penciptanya. Sekalipun bukti-bukti luar biasa muncul di hadapannya, ia tetap akan tersesat dan terhalang dari memahami kebenaran itu. Mungkin seseorang seperti ini akan menjelaskan satu dari hukum-hukum alam yang menunjukkan penciptaan Allah, kebijaksanaan-Nya yang agung, dan kekuasaan-Nya yang luar biasa di hadapan para mahasiswa, misalnya, sehingga cahaya kebenaran ilmiah tersebut menyebar ke pikiran dan hati banyak dari mereka. Namun, ia sendiri, yang mengajarkan dan memahami hukum tersebut, tetap terhalang dari memahaminya dan terus berkubang dalam kegelapan akibat kesesatan dan ambisi duniawi yang telah disebutkan sebelumnya.

Tanda dari apa yang saya katakan kepada Anda adalah ketika seorang mahasiswa bertanya kepada seorang pengajar di tengah penjelasannya tentang keajaiban yang menunjukkan kebesaran ciptaan Allah dan kebijaksanaan-Nya yang mendalam, pengajar tersebut menjawab, "Kami tidak sedang memberikan ceramah agama, melainkan hanya menjelaskan ilmu pengetahuan." Seolah-olah ilmu pengetahuan adalah tirai yang menghalangi dari Allah, bukan bukti pertama yang menunjukkan-Nya. Allah berfirman: *“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidak ada cahaya baginya.”* (QS. An-Nur: 40).

Adapun mengenai topik keagamaan, sumber cahayanya adalah jenis zikir kepada Allah yang paling mulia, karena ilmu yang berkaitan dengan agama tidak lain adalah keterlibatan dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah, atau apa yang diambil darinya, seperti akidah keimanan, fikih, dan usulnya. Tidak diragukan lagi, siapa pun yang terlibat dalam mempelajari hal-hal tersebut, seolah-olah dia sedang mendekati Allah untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang diri-Nya dan sifat-sifat-Nya, serta penjelasan lebih lanjut tentang prinsip-prinsip dan hukum yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk menaatinya. Maka, dia berada bersama Allah dalam semua hal tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang berada bersama Allah, yang menerima ilmu tentang tugas-tugas yang diciptakan untuk dilaksanakan oleh hamba-hamba-Nya, akan menjadi tempat bagi manifestasi kelembutan, kenyamanan, dan rahmat Allah. Tidak diragukan lagi bahwa Allah akan selalu bersamanya dalam hal perlindungan, pemeliharaan, dan kecukupan selama dia bersama Allah dengan mempelajari agama-Nya, mendengarkan firman-Nya, dan mengikuti perintah-perintah-Nya yang Allah sampaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Cukuplah sebagai bukti bahwa mempelajari ilmu Al-Qur'an dan Sunnah adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia, sabda Rasulullah ﷺ: *"Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang lainnya."* (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Hibban, dari hadits Abu Darda).

Jika seorang hamba mendekati Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya untuk mengeluarkan darinya ilmu agama dan prinsip-prinsip akidah, dengan niat murni tanpa dorongan apa pun selain mengetahui tugas yang dibebankan Allah kepadanya dan menikmati kedekatan yang lebih dengan Allah serta mendapatkan pemahaman lebih tentang diri-Nya dan sifat-sifat-Nya, maka cahaya dari ilmu tersebut akan menyebar ke akalnya dan hatinya, menyinari akalnya dengan keyakinan yang lebih terhadap Allah, dan membakar hatinya dengan rasa hormat dan cinta yang lebih kepada-Nya serta kerinduan kepada-Nya.

Namun, jika seseorang menggunakan ilmunya tersebut sebagai alat untuk mencapai ambisi duniawi, tidak diragukan lagi bahwa ia akan terhalang dari cahaya tersebut dan akan tertutup oleh mimpi dan keinginan duniawinya. Sayangnya, masalahnya tidak berhenti di situ, karena seringkali Allah menghukum orang yang menggunakan agama untuk tujuan duniawi dan nafsu pribadinya dengan kekerasan hati, dan mungkin saja ia termasuk dalam golongan orang yang disebut Allah dalam firman-Nya: *“... dan ketahuilah bahwa Allah menghalangi antara manusia dan hatinya ...”* (QS. Al-Anfal: 24).

Saya telah melihat di antara mereka yang mempelajari ilmu agama dengan tujuan duniawi, ada yang meremehkan ibadah, sehingga mereka lalai dalam melaksanakan shalat yang wajib tepat waktu, terutama shalat subuh. Bahkan, ketika mereka diingatkan tentang shalat, mereka berdebat bahwa mereka sedang sibuk dengan hal yang lebih penting daripada shalat.

Salah satu dampak paling berbahaya dari kekerasan hati ini adalah ilmu tentang hukum agama menjadi alat untuk mencari kelonggaran dalam hukum, demi menghindari kewajiban agama dan aturan-aturannya, serta berusaha sebisa mungkin melepaskan diri dari beban kewajiban yang merupakan cerminan penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, bagi mereka yang hatinya tidak diliputi rasa takut kepada Allah dan hatinya keras, teks-teks agama tidak akan menghalangi mereka untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Betapa mudahnya bagi mereka untuk mempermainkan teks-teks tersebut sesuai dengan keinginan mereka. Lihatlah kondisi para ulama yang buruk saat ini, yang jumlahnya tidak sedikit, dan Anda akan menemukan bukti dari apa yang saya katakan.

Ketika dunia menjadi tujuan utama bagi para ulama, Anda tidak akan menemukan perbedaan antara mereka dalam mempermainkan teks-teks agama dan para pengacara yang hanya mengejar uang dalam mempermainkan teks-teks hukum.

Kesimpulannya: semua ilmu, pada dasarnya, adalah jalan untuk mengenal Allah, tetapi ilmu-ilmu tersebut terbagi menjadi ilmu yang bermanfaat dan yang berbahaya tergantung pada kondisi dan niat pemiliknya, tanpa memandang apakah itu disebut ilmu agama atau ilmu dunia. Jika seseorang memiliki niat yang tulus, tanpa dorongan nafsu dan keinginan duniawi, ilmu yang dimilikinya akan menghasilkan cahaya yang menyebar ke akalnya dengan keyakinan yang lebih terhadap Allah dan sifat-sifat-Nya, dan menyebar ke hatinya dengan rasa hormat, cinta, dan kerinduan yang lebih kepada-Nya.

Namun, ada juga orang-orang yang keinginan hawa nafsu dan syahwatnya bercampur dengan niat mereka dalam urusan agama, dan mungkin keinginan-keinginan tersebut lebih dominan. Tetapi Allah menghendaki cahaya ilmu mereka mengalahkan kegelapan keinginan mereka, sehingga keinginan tersebut semakin surut dari pusat kendali dalam jiwa mereka, dan niat mereka menjadi murni untuk Allah saja. Mereka pun menjadi seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali tentang dirinya: *"Kami mencari ilmu bukan untuk Allah, tetapi ilmu tersebut menolak kecuali hanya untuk Allah."*

Maka ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar Engkau membersihkan niatku dari kegelapan yang asing, sehingga cahaya dari manifestasi dan kelembutan-Mu menyinari akal dan hatiku. Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, agar Engkau tidak membiarkan diriku sendiri dalam hal ini atau dalam urusan lain dari semua urusanku, dan agar Engkau menghormati aku dengan kelapangan dada, pengaturan urusan, dan mengganti kesulitanku dengan kemudahan, karena Engkau mengetahui keadaanku dan mengetahui kerasnya hari-hari yang aku lalui. Aku telah berjanji kepada-Mu bahwa aku tidak akan mengadu kepada siapa pun kecuali kepada-Mu, maka aku memohon kepada-Mu, ya Allah, agar Engkau memberiku kemampuan untuk menepati janji tersebut.

---

Terjemahan AI ChatGPT. Jika terdapat kekeliruan pada terjemahan di atas, mohon koreksinya melalui kolom komentar. Terima kasih.

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More