Kamis, 01 Agustus 2024

Ihya Ulumiddin Kitab Kaidah Aqidah Bab Keempat

 

Bab ini adalah Bab IV dari Kitab Kaidah Akidah 


Bab Keempat dari Dasar-Dasar Keyakinan: Tentang Iman dan Islam, serta Hubungan di Antara Keduanya, serta Bagaimana Mereka Bisa Bertambah atau Berkurang, dan Pendapat Ulama Salaf tentang Hal Ini

Bab ini terdiri dari tiga masalah:

  1. Apakah Islam dan Iman adalah satu atau berbeda? Jika berbeda, apakah keduanya terpisah atau terkait?
  2. Apakah keduanya terkait atau tidak?
  3. Bagaimana pandangan ulama tentang hal ini?




Dikatakan bahwa Islam dan Iman adalah dua kata yang satu makna sama. Ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal yang tidak berhubungan. Ada juga yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal yang saling terkait.

Abu Talib al-Makki membahas ini dengan panjang lebar dan agak membingungkan. Mari kita langsung mengungkap kebenaran tanpa membahas panjang lebar yang kurang substansi.

Kita akan membahas tiga aspek:

  1. Pengertian Islam dan Iman menurut bahasa.
  2. Pengertian Islam dan Iman dalam konteks syariah.
  3. Islam dan Iman dalam konteks hukum Islam di dunia dan akhirat.

Aspek Pertama: Menurut Bahasa

Iman berarti keyakinan atau kepercayaan. Allah berfirman: "Dan kamu bukanlah seorang yang beriman kepada kami," yang berarti "tidak percaya". Islam berarti penyerahan diri dengan penuh kepatuhan dan ketaatan, serta meninggalkan pemberontakan dan penolakan. Keyakinan adalah sifat hati, sementara penyerahan diri melibatkan hati, lisan, dan anggota tubuh. Setiap keyakinan dalam hati adalah penyerahan diri, meninggalkan penolakan dan penyangkalan. Demikian pula, pengakuan dengan lisan dan ketaatan dengan anggota tubuh adalah penyerahan diri. Jadi, menurut bahasa, Islam lebih umum dan Iman lebih khusus. Iman adalah bagian paling mulia dari Islam. Setiap keyakinan adalah penyerahan diri, tetapi tidak setiap penyerahan diri adalah keyakinan.

Aspek Kedua: Dalam Konteks Syariah

Menurut syariah, istilah Iman dan Islam digunakan dengan cara yang saling menggantikan, berbeda, atau saling terkait. Penggunaan secara saling menggantikan terlihat dalam firman Allah: "Kami mengeluarkan orang-orang yang beriman dari sana," dan "Kami tidak menemukan di sana selain satu rumah dari orang-orang Muslim," yang merujuk pada rumah yang sama. Juga, firman-Nya: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, bertawakallah kepada-Nya jika kamu benar-benar Muslim."

Rasulullah SAW bersabda: "Islam dibangun di atas lima hal." Ketika ditanya tentang Iman, beliau menjawab dengan lima hal tersebut.

Perbedaan antara Iman dan Islam terlihat dalam firman Allah: "Orang-orang Arab berkata, 'Kami telah beriman.' Katakanlah, 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk''." Di sini, Iman berarti keyakinan hati, sementara Islam berarti penyerahan diri secara lahiriah dengan lisan dan anggota tubuh.

Dalam hadits Jibril ketika ia bertanya tentang Iman, Rasulullah SAW menjawab: "Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, kebangkitan setelah mati, perhitungan, dan takdir baik dan buruk." Ketika ditanya tentang Islam, beliau menjawab dengan menyebutkan lima hal: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.

Perbedaan dan saling terkait antara keduanya juga terlihat ketika Rasulullah SAW ditanya: "Amalan apa yang terbaik?" Beliau menjawab: "Islam." Ketika ditanya lagi: "Islam yang mana yang terbaik?" Beliau menjawab: "Iman." Ini menunjukkan bahwa Iman adalah bagian dari Islam, dan merupakan yang terbaik dari semuanya.

Aspek Ketiga: Hukum Syar'i tentang Islam dan Iman

Pembahasan ketiga adalah tentang hukum syar'i, yaitu tentang Islam dan iman. Hukum ini berlaku baik di dunia maupun di akhirat. Adapun hukum akhirat, hal itu adalah menyelamatkan seseorang dari neraka dan mencegah kekekalan di dalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Keluar dari neraka orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari iman." (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada perbedaan pendapat mengenai apa yang mendasari hukum ini dan apa yang dimaksud dengan iman. Ada yang mengatakan bahwa iman hanyalah keyakinan dalam hati. Ada pula yang mengatakan bahwa iman terdiri dari keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan. Sedangkan yang lainnya menambahkan ketiga, yaitu beramal dengan anggota badan. Kami akan menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Tingkat pertama: Barangsiapa yang menggabungkan ketiga unsur ini (keyakinan dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan), maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa tempat tinggalnya adalah surga.

  2. Tingkat kedua: Jika seseorang memiliki dua unsur (keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan) serta sebagian amal, namun ia melakukan dosa besar atau beberapa dosa besar, maka menurut pandangan Mu'tazilah, orang tersebut telah keluar dari iman tetapi tidak masuk ke dalam kekufuran. Sebaliknya, ia disebut fasiq dan berada di antara dua keadaan. Namun, pandangan ini dianggap batil sebagaimana yang akan dijelaskan.

  3. Tingkat ketiga: Jika seseorang memiliki keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan tanpa amal dengan anggota badan, maka terdapat perbedaan pendapat tentang hukumnya. Abu Talib al-Makki mengatakan bahwa amal dengan anggota badan adalah bagian dari iman dan tidak sempurna tanpa itu. Dia mengklaim adanya konsensus tentang hal ini, namun sebenarnya tidak ada konsensus tersebut.

  4. Tingkat keempat: Jika terdapat keyakinan dalam hati sebelum seseorang mengucapkan dengan lisan atau melakukan amal, dan kemudian ia meninggal, apakah kita mengatakan bahwa ia mati dalam keadaan beriman? Ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Mereka yang mensyaratkan pengucapan dengan lisan untuk sempurnanya iman mengatakan bahwa orang ini mati sebelum mencapai iman, dan pandangan ini adalah salah.

  5. Tingkat kelima: Jika seseorang memiliki keyakinan dalam hati dan cukup waktu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, namun tidak melakukannya, maka terdapat dua kemungkinan: apakah kita menganggapnya sebagai orang yang menolak ataukah kita mengatakan bahwa ia adalah seorang mukmin yang tidak kekal di neraka.

  6. Tingkat keenam: Jika seseorang mengucapkan dengan lisan "La ilaha illallah Muhammad Rasulullah" namun tidak memiliki keyakinan dalam hatinya, maka tidak diragukan bahwa dalam hukum akhirat ia termasuk golongan kafir dan kekal di neraka. Namun, dalam hukum dunia, ia diperlakukan sebagai seorang muslim karena kita tidak bisa mengetahui isi hatinya.

Ada juga perdebatan mengenai aspek duniawi antara seseorang dan Allah SWT. Jika seseorang meninggal, dan kerabatnya yang muslim menerima warisannya namun baru kemudian menyadari bahwa ia belum meyakini Islam dengan sepenuh hati saat kerabatnya meninggal, atau jika seseorang menikah dengan seorang muslimah dan baru kemudian meyakini Islam dengan sepenuh hati, apakah ia harus mengembalikan warisan atau mengulang akad nikahnya?

Ini adalah masalah yang memerlukan pertimbangan. Ada dua pendapat yang mungkin: Pertama, aturan-aturan dunia mungkin didasarkan pada penampilan lahiriah, sehingga apa yang tampak berlaku baik secara lahir maupun batin. Kedua, aturan-aturan dunia hanya berlaku untuk hal-hal yang terlihat oleh orang lain, sementara keadaan batiniah seseorang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah. Pendapat yang lebih kuat, dengan segenap pengetahuan yang ada pada kita, adalah bahwa orang tersebut tidak berhak atas warisan tersebut dan harus mengulang akad nikahnya.

Hal ini terkait dengan kebiasaan Hudzifah r.a. yang tidak menghadiri pemakaman orang-orang munafik yang meninggal, dan Umar r.a. memperhatikan hal tersebut dan juga tidak menghadiri pemakaman jika Hudzifah tidak hadir. Salat adalah tindakan yang terlihat di dunia, meskipun itu adalah ibadah, dan menjauhi hal-hal yang haram juga termasuk kewajiban kepada Allah, seperti halnya salat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, "Mencari yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban lainnya."

Ini tidak bertentangan dengan pendapat kami bahwa warisan adalah hukum Islam, yang berarti penyerahan diri. Namun, penyerahan diri yang sempurna mencakup baik aspek lahir maupun batin. Ini adalah diskusi dalam ilmu fiqih yang didasarkan pada penafsiran kata-kata dan generalisasi, serta logika. Tidak sepatutnya bagi orang yang belum berpengalaman dalam ilmu pengetahuan untuk mengira bahwa semua keputusan harus didasarkan pada kepastian, sebagaimana dalam ilmu kalam yang mengharuskan kepastian. Maka, seseorang tidak akan berhasil jika hanya mengikuti kebiasaan dan formalitas dalam ilmu pengetahuan.

Jika Anda bertanya, apa dalil dari golongan Mu'tazilah dan Murji'ah serta apa hujjah yang membatalkan pendapat mereka, maka saya akan menjelaskan. Mereka menggunakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum. Golongan Murji'ah berpendapat bahwa seorang mukmin tidak akan masuk neraka meskipun melakukan semua dosa, karena firman Allah SWT: 

1. "Maka barang siapa yang beriman kepada Tuhannya, ia tidak akan takut dirugikan atau terhina." (QS. Al-Jin: 13).

2. "Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, mereka itu adalah orang-orang yang benar..." (QS. Al-Hadid: 19).

3. "Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekelompok (orang), penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka, 'Tidakkah seorang pemberi peringatan datang kepadamu?' Mereka menjawab, 'Benar, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakan...'" (QS. Al-Mulk: 8-9). Ayat ini menunjukkan bahwa yang dilempar ke neraka adalah orang-orang yang mendustakan.

Mereka juga berdalil dengan ayat-ayat lain, seperti:

4. "Tidak akan masuk neraka kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (darinya)." (QS. Al-Lail: 15-16).

5. "Barang siapa yang membawa kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik darinya; mereka itu aman dari ketakutan pada hari itu." (QS. An-Naml: 89).

Namun, argumentasi mereka tidak tepat karena di mana pun disebutkan iman dalam ayat-ayat ini, yang dimaksud adalah iman yang disertai dengan amal, sebagaimana telah dijelaskan bahwa iman kadang diartikan sebagai Islam yang mencakup keyakinan dalam hati, ucapan, dan perbuatan. Bukti dari penafsiran ini adalah banyaknya hadis yang menyebutkan siksaan bagi para pelaku maksiat dan tingkatannya.

Sedangkan golongan Mu'tazilah, mereka berdalil dengan firman Allah SWT: "Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap dalam petunjuk." (QS. Taha: 82). Dan firman-Nya: "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh..." (QS. Al-Asr: 1-3).

Mereka juga berdalil dengan ayat-ayat lain yang menyebutkan amal saleh yang disertakan dengan iman. Namun, ayat-ayat umum ini juga harus dipahami dalam konteks pengecualian, sebagaimana firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa: 48).

Begitu pula dengan hadis Nabi SAW: "Keluar dari neraka orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari iman." Dan firman-Nya: "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Kahfi: 30). Bagaimana mungkin Allah menyia-nyiakan pahala dari iman yang ada dalam hati seseorang hanya karena satu dosa? Firman-Nya juga menyatakan, "Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal di dalamnya." (QS. An-Nisa: 93).

Semua ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa ada pengecualian dan bahwa dosa besar tidak otomatis membatalkan iman atau membuat seseorang kekal di neraka.

Jika Anda bertanya, "Apakah pilihan (pandangan) ini menunjukkan bahwa iman itu ada tanpa amal?" Dan telah terkenal dari para salaf (ulama terdahulu) bahwa mereka berkata, "Iman adalah keyakinan, ucapan, dan amal." Apa artinya ini? Kami menjawab: Tidak mustahil bahwa amal dianggap sebagai bagian dari iman karena amal melengkapinya dan menyempurnakannya, seperti kepala dan tangan dianggap sebagai bagian dari manusia. Diketahui bahwa seseorang berhenti menjadi manusia jika kehilangan kepalanya, tetapi tidak demikian jika dia kehilangan tangannya.

Begitu pula dikatakan bahwa tasbih dan takbir adalah bagian dari shalat, meskipun shalat tidak batal jika tidak dilakukan. Maka, keyakinan dalam hati adalah bagian dari iman, seperti kepala adalah bagian dari keberadaan manusia. Iman akan hilang tanpanya, dan sisa ibadah seperti anggota tubuh, yang mana beberapa lebih tinggi dari yang lain. Nabi SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina berzina saat dia berzina dalam keadaan beriman." Para sahabat radhiallahu 'anhum tidak meyakini bahwa seseorang keluar dari iman karena zina, tetapi maknanya adalah bahwa dia bukanlah seorang mukmin yang sempurna sepenuhnya.

Mereka yang kekurangan anggota tubuh dianggap kurang sempurna sebagai manusia, meskipun masih manusia. Demikian pula, dikatakan bahwa iman bertambah dan berkurang dengan amal perbuatan. Jika keyakinan adalah iman, tidak mungkin ada peningkatan atau pengurangan di dalamnya. Namun, jika kita meninggalkan kompromi dan tidak peduli dengan mereka yang berargumen, dan membuka tabir, maka persoalan ini akan terselesaikan.

Iman adalah nama yang memiliki tiga makna:

1. Keyakinan dalam hati: Ini adalah kepercayaan secara taklid tanpa pengetahuan yang mendalam, seperti iman orang awam dan kebanyakan orang. Kepercayaan ini bisa kuat atau lemah seperti simpul pada benang. Anggaplah simpul itu sebagai contoh: ada orang yang memiliki keyakinan kuat dan tidak bisa digoyahkan oleh ancaman, nasihat, atau bukti, seperti Yahudi atau Nasrani. Begitu juga, ada yang bisa diragukan dengan sedikit argumen, namun mereka tetap yakin dalam keyakinannya.

2. Keyakinan yang datang dengan pengetahuan dan bukti: Ini adalah iman orang-orang khusus yang didasarkan pada ilmu dan bukti. Kepercayaan ini lebih kuat dan lebih kokoh.

3. Keyakinan yang tumbuh dengan amal perbuatan: Amal perbuatan mempengaruhi pertumbuhan dan peningkatan keyakinan ini, seperti air yang menyuburkan pohon. Allah SWT berfirman, "Maka bertambah iman mereka," dan, "Agar iman mereka bertambah bersama iman mereka yang sudah ada." Nabi SAW juga bersabda, "Iman bertambah dan berkurang," ini menunjukkan bahwa amal perbuatan mempengaruhi hati. 

Dengan demikian, iman dapat bertambah dan berkurang tergantung pada amal perbuatan.

Apabila Anda bertanya, "Bagaimana mungkin iman bertambah dan berkurang jika iman terdiri dari keyakinan tanpa amal perbuatan?" Jawabannya adalah bahwa keyakinan hati dapat dikuatkan dan diperkuat oleh amal perbuatan. Misalnya, jika seseorang melakukan tindakan belas kasih, hal itu dapat meningkatkan dan memperkuat rasa belas kasih dalam hatinya. Demikian pula, jika seseorang memiliki sikap rendah hati dan kemudian melakukan tindakan tunduk, seperti sujud, hatinya akan merasakan kerendahan hati yang lebih mendalam. Begitu juga, semua sifat hati mempengaruhi tindakan lahiriah, dan tindakan tersebut kembali mempengaruhi hati, memperkuat dan meningkatkan sifat-sifat tersebut.

Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan hubungan antara batin dan lahir, serta antara amal perbuatan dan keyakinan hati. Hal ini mirip dengan hubungan antara dunia nyata yang bisa dirasakan dengan panca indra (alam nyata) dan dunia gaib yang hanya dapat dipahami dengan cahaya mata batin (alam gaib). Hati adalah bagian dari alam gaib, sementara anggota tubuh dan perbuatannya adalah bagian dari alam nyata. Hubungan yang halus dan rumit antara kedua alam ini telah membuat beberapa orang percaya bahwa keduanya adalah satu dan sama, sementara yang lain berpikir bahwa tidak ada alam lain selain alam nyata, yaitu benda-benda yang bisa dirasakan.

Ketika kita memahami keberadaan kedua alam ini serta keterkaitan antara keduanya, kita dapat menggambarkan hubungan ini dengan berkata: "Kaca menjadi halus, dan anggur juga halus, sehingga keduanya tampak serupa. Seakan-akan ada anggur tanpa gelas, atau gelas tanpa anggur." 

Namun, kembali ke topik utama, ilmu ini adalah ilmu yang terpisah dari ilmu muamalah (ilmu tentang interaksi sehari-hari), meskipun ada hubungan antara kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, ilmu tentang pengungkapan batin seringkali menyusup ke dalam ilmu muamalah, hingga akhirnya terungkap melalui tugas-tugas tersebut. Ini adalah salah satu cara iman dapat meningkat melalui ketaatan.

Inilah sebabnya sahabat Ali, semoga Allah memuliakan wajahnya, berkata bahwa iman dimulai dengan bintik putih yang kecil. Jika seseorang melakukan perbuatan baik, bintik itu tumbuh dan bertambah hingga seluruh hati menjadi putih. Sebaliknya, kemunafikan dimulai dengan bintik hitam yang kecil. Jika seseorang melanggar larangan-larangan, bintik itu tumbuh dan bertambah hingga seluruh hati menjadi hitam, yang mengakibatkan hati tertutup. Dia kemudian mengutip ayat Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), tetapi apa yang mereka kerjakan telah menutupi hati mereka."

Iman juga dapat mencakup keyakinan dan amal perbuatan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Iman terdiri dari lebih dari tujuh puluh cabang," dan juga, "Tidaklah seorang pezina berzina saat dia berzina dalam keadaan beriman." Ketika amal perbuatan dimasukkan dalam definisi iman, maka tidak diragukan lagi bahwa iman dapat bertambah dan berkurang.

Yang ketiga adalah bahwa iman berarti keyakinan yang pasti, yang dicapai melalui pengalaman langsung dan pencerahan batin. Ini adalah yang paling jauh dari kemungkinan peningkatan, tetapi keyakinan yang pasti ini juga dapat memiliki tingkat ketenangan hati yang berbeda. Tidak semua keyakinan memiliki tingkat kepastian dan ketenangan hati yang sama. Keyakinan yang pasti ini juga dapat memiliki berbagai tingkatan kejelasan dan ketenangan hati.

Pada akhirnya, semua pengertian iman tersebut menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh para salaf tentang peningkatan dan penurunan iman adalah benar. Bagaimana mungkin berbeda jika dalam hadis disebutkan bahwa seseorang akan keluar dari neraka jika dalam hatinya ada iman sebesar biji sawi, atau dalam hadis lain sebesar dinar? Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam tingkat iman yang ada di hati.

bersambung...

---

Terjemah dari AI

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More