Selasa, 30 Oktober 2018

KEGELISAHAN PARA DAKSA, KEGAMANGAN PARA DEWA


A.    Pendahuluan
Di tengah perdebatan para pemikir organisasi keagamaan, dalam usaha mencoba mengamati, meneliti, mengklarifikasi, mengkalkulasi dan menata realitas budaya dan peradaban, agar “menjadi sesuai dengan kehendak Tuhan”, tiga orang: Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sholihaddin seorang pegawai di sebuah mall; Sholihiddin seorang sopir, dan Sholihuddin seorang pegawai negeri rendahan. Usia ketiga orang tersebut berkisar antara 30-40 tahun dengan masing-masing satu istri dan dua anak. Yang berbeda di antara mereka adalah agama, Sholihaddin taat dengan keyakinan Hindunya, Sholihiddin akrab dengan keyakinan Protestannya dan Sholihuddin kuat dengan keyakinan Islamnya.
Sebagaimana kesimpulan Weber dalam penelitiannya tentang pengaruh ajaran Kristen Protestan terhadap pemeluknya, khususnya di Eropa Barat dan penelitian Bellah tentang kekuatan motivasi ajaran Tokugawa terhadap kegigihan Samurai dalam membangun Jepang, bahwa secara meyakinkan adanya pengaruh yang sangat kuat antara ajaran agama yang diresapi dan diyakini individu maupun masyarakat terhadap aktivitas di kehidupan nyata (dalam Cholidy Ibrar, dalam M. Masyur Amin dan Ismail S. Ahmad, 1993), maka ketiga orang tersebut adalah representasi dari hasil penelitian tersebut. Ketiganya adalah individu-individu yang kuat memegang keyakinannya. Hanya saja karena mereka bertiga adalah orang-orang awam, maka pengetahuan agama yang mereka pahami adalah hasil dari transformasi para elit agama mereka, bukan hasil pemikiran ataupun kontemplasi. Teologi model bagaimana yang mereka terima, model seperti itulah yang mempengaruhi aktivitas keseharian mereka.
Dialog antar-agama sering terjadi warung soto Murah Meriah milik Pak Triman, di mana minimal dua kali dalam seminggu mereka bertiga bertemu di saat makan siang maka obrolan hangat di antara mereka pun segera mengalir berebut masuk-keluar antara makanan dan kata-kata mereka; saling sindir, tertawa lepas, mentertawakan diri (nasib) mereka sendiri atau mentertawakan badut-badut politik yang sedang pentas di panggung eksekutif atau legislatif. Namun mereka menjadi serius saat mendiskusikan anak-anak mereka di kehidupan yang, seperti Jargon John Naisbit, dinamakan Global Paradox, yaitu dalam waktu bersamaan mereka dihadapkan pada beberapa kecenderungan paradoksal (dalam Tarmizi Taher dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Ed.), 1996). Di satu sisi kehidupan dewasa ini menawarkan semangat etnis dan keberagamaan yang menguat, namun di sisi lain arus globalisasi juga menanamkan pengaruhnya yang sangat kuat.
Yang terpenting dari “dialog serius mereka” adalah adanya kegelisahan ketidakmampuan agama dalam membimbing anak-anak mereka – dan mereka sendiri – menghadapi realitas kehidupan ini. Mereka berpikir apakah pada saatnya nanti agama yang mereka pegang tak akan ada lagi yang mewarisi, dalam Bahasa Nabi Ya'kub ma ta’budu min ba’di, Apa yang kalian sembah setelah (generasi) ku? Agama hanya akan tinggal nama, namun tak lagi bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Apa yang diajarkan oleh para agamawan tak lagi mampu menyelesaikan probelm-problem yang muncul, baik dalam diri maupun lingkungan mereka, terutama dalam kaitannya dengan pluralisme, globalisme, progresivisme, pragmatism, politikesme. Bagaimana memikirkan anak-anak mereka apabila mereka sendiri saja mulai gamang memegang keyakinan agama mereka, walau ibadah tetap mereka jalankan; setiap purnama Sholihaddin ke pura, minggu pagi Sholihiddin ke gereja, dan Jum’at siang Sholihuddin pergi ke masjid, namun tak urung kemajuan zaman membuat mereka ketar-ketir. Mereka berpikir, seandainya agama bisa up grade, maka agama tidak akan menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman, dan mereka bisa dengan nyaman melakukan aktivitas yang selaras dengan “keyakinan hasil up grade” mereka.
Satu saat, di mana peradaban tak lagi bisa ditentukan identitasnya karena semua adalah satu dan satu adalah semua, maka berbagai macam bentuk peraturan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan nilai-nilai dasar yang universal. Artinya, nilai-nilai dasar universal tersebut bisa diterima oleh semua umat manusia. Saat seperti ini, di manakah meletakkan agama? Sampai pada bagian ini, pikiran nakal terbersit dalam benak mereka, agama yang tak mampu menyelesaikan problem-problem manusia bukan agama sebenarnya. Agama yang sebenarnya adalah yang mampu memberi pencerahan kepada umatnya dalam menghadapi segala permasalahan hidup dan kehidupan. “Akan kurobohkan pura, gereja dan masjid apabila tak mampu memberikan jawaban!” Pikir mereka lebih usil.
Fenomena imajinatif di atas paling tidak memberikan ilustrasi bagi kita bahwa bagaimanapun kuatnya keyakinan (agama) apabila sudah tidak mampu lagi merespon ‘kebutuhan’ kemanusiaan, maka akan ditinggalkan. Namun agak berbeda dengan teori yang lain, agama memiliki suatu janji yang membuat manusia gamang meninggalkannya secara semena-mena, yaitu keselamatan di alam penuh misteri, alam sesudah kematian. Secara psikologis orang lebih nyaman dengan bekal apabila akan melakukan perjalanan, lebih-lebih perjalanan ke tempat yang tidak dikenalnya (misteri). Di sinilah agama tampil memberikan bekal tersebut, sehingga kenyataan agama tidak mampu memberikan penyelesaian di alam nyata manusia ’saat ini’ kadang tidak terlalu diperhatikan.
Asumsi di atas, atau bahkan mungkin kenyataan, memberikan hipotesa bahwa agama tidak urgen lagi apabila tidak berpihak kepada manusia. Suatu agama tentu sangat lekat dengan teologi agama tersebut, namun apabila teologi yang mencoba menjelaskan dan menafsirkan wahyu menjadi ‘kebablasan’ dan tak lagi mampu merespon kegelisahan manusia, tak berpihak kepada manusia, maka bisa dikatakan teologi agama tersebut menghancurkan agama yang dibangunnya. Teologi tersebut mereduksi agama yang dibangunnya.
Teologi adalah usaha metodis untuk memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Usaha metodis di sini meliputi menyelidiki, mengklarifikasi dan mengajarkan secara logis (Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ., 1996). Teologi adalah Produk pemikiran klasik yang belum terilmiahkan, oleh karena itu teologi mengalami kemandegan, hanya sebatas mengurusi masalah-masalah transenden dan supranatural. Kalau teologi tetap berkutat di lingkaran transenden dan supranatural, maka teologi tetap tidak mampu mendongkrak agama menjadi bagian yang urgen bagi hidup dan kehidupan manusia, dan gilirannya teologi akan membunuh agama. Teologi sebagai bagian dari agama akan menggerogoti dari dalam. Teologi sebagai hasil produk pemikiran manusia seharusnya tidak stagnan dan berpihak kepada manusia daripada melingkar pada transedensi dan supranatural, dan membumikan “kehendak Tuhan” dengan lebih arif. Tuhan tanpa teologi tak akan berkurang sifat ke-Tuhanan-Nya. Bahkan Tuhan pun berkehendak agar manusia menjadi sejahtera dengan adanya agama, maka teologi sebagai bagian dari agama seharusnya membuat sejahtera manusia. Di sinilah akan ditemukan kembali urgensi teologi dan agama.
Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin adalah bagian setitik realitas kehidupan yang perlu jawaban. Dengan penuh semangat mereka bekerja, tapi apakah banyak orang tahu bahwa mereka gelisah. Gelisah dengan agama yang mereka peluk dengan erat namun kadang tidak memberikan kenyamanan dan ketenangan apalagi kebahagiaan. Karena ada sesuatu yang salah yang mereka terima dari para elit agama yang rajin memberikan pencerahan yang ‘malah’ menenggelamkan mereka. (Lukman, 2002)

B.     Metode
Metode dalam kajian ini menggunakan Hermeneutik, yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang makna. Hermeneutik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermesdewa Pengetahuan dalam mitologiYunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus. (Wikipedia, 2018) Hermeneutik merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan “understanding of understanding” (pemahaman pada pemahaman) terhadap teks kitab suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi pembacanya (Muslih, 2004).
Metode Hermeneutik digunakan dalam kajian ini mengingat obyek yang dikaji adalah pesan dalam perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit dan karya-karyanya yang terhimpun dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Diharapkan dengan menggunakan metode Hermeneutik ini akan terungkap pesan-pesan utama dalam perkuliahan yang terekam dan pesan-pesan baik elegi maupun karya ilmiah laiinya pada blog tersebut. Secara operasional metode ini digunakan dengan memahami Misi “memahamkan pesan kepada umat manusia” yang diemban oleh Hermes, yang secara implisit berhubungan dengan tiga dasar makna direktif hermeneuein dan hermeneia. Tiga makna direktif ini digunakan untuk tujuan seperti: (1) Mengekspresikan suara dalam kata-kata, atau “mengatakan”; (2) Menjelaskan, seperti menjelaskan situasi; dan (3) menerjemahkan, seperti menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri. Ketiga arti ini dapat diekspresikan dengan kata “to interpret” atau “menafsirkan (Palmer, 1969).

C.    Hasil
Dari hasil pemahaman penulis, ada tiga pokok utama dalam pesan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit dalam paruh pertama perkuliahan Filsafat Pendidikan untuk Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) Program Pascasarjana UNY, yaitu (1) Filsafat itu adalah penjelasanmu; (2) Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof, dan (3) Filsafat tidak melewati batas dari keagungan spiritualitas. Penjelasan masing-masing pokok pembahasan sebagai berikut: 
Pertama. Filsafat Adalah Penjelasanmu. 
Penjelasan Prof. Dr. Marsigit ini adalah cabang utama dari filsafat, yaitu menggunakan logika dalam penalaran untuk menjelaskan suatu permasalahan. Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran (Wikipedia, 2018). 
Logika dikaruniakan oleh Tuhan yang Maha Esa kepada manusia sebagai salah satu instrument yang universal. Logika manusia dimanapun mempunyai persamaan, yang kemudian hal ini memungkinkan manusia dari bangsa manapun untuk berkomunikasi dan menyepakati sesuatu berdasarkan logika ini. Dalam perkembangannya logika ini digunnakan sebagai standar ilmu pengetahuan yang berkontribusi bagi pembagunan peradaban manusia. Hanya saja, karena logika adalah bukan satu alat satu-satunya yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka ilmu pengetahuan dan peradaban yang hanya dibangun berasarkan logika akan memunculkan kemanusiaan yang timpang.
Walaupun logika bersifat universal, namun logika mempunyai level atau kedalaman yang variatif, yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Logika dengan kedalaman ini bisa diperoleh dengan cara melatihnya. Interkasi manusia dengan dasar logika yang dasar bisa dipahami oleh mayoritas manusia, namun penggunaan logika dengan kedalaman tertentu akan cenderung memaksa manusia untuk turun atau naik dalam level-level logika tersebut. Oleh karenanya diperlukan penjelasan dalam upaya berdiskusi menggunakan logika ini. Hal inilah tampaknya yang dipahami sepenuhnya oleh Prof. Dr. Marsigit sehingga seringkali beliau menyampaikan bahwa sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasanmu.
Penjelelasan beliau ini menemukan titik temu dengan tulisan-tulisan beliau dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Tulisan beliau dalam blog menggambarkan berbagai macama metode dalam upaya menjelaskan sebuah pokok permasalahan. Titik temu antara pesan-pesan yang ada dalam perkuliahan dan pesan dalam tulisan ini adalah bagian dari beliau untuk mempraktikkan bahwa sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasanmu.
Kedua, Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof
Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof, ungkapan ini hampir sama denga mengatakan tidaklah dikatakan batu kecuali mempunyai ciri-ciri dari batu. Filsafat mempunyai ciri yang mudah dimiliki bidang apapun, karena filsafat adalah dasar dari berbagai bidang ilmu dan kehidupan itu sendiri. Dengan tiga kajian uatama filsafat, yaitu ontology, epistimologi, dan axiology (Sumantri, 2003) maka filsafat bisa masuk ke dalam berbagai bidang ilmu maupun peradaban hasil kreasi manusia. Namun, untuk dikatakan bahwa bidang kajian itu adalah merupakan sebuah bidang filsafat, maka harus menganut ciri-ciri yang sudah dikemukakan oleh para filosof yang telah mempublikasikan produk filsafat mereka.
Ungkapan ini tidak menolak adanya perkembangan adanya aliran filsafat ataupun filosof baru yang akan muncul. Untuk dapat diakui sebagai aliran filsafat maupun filosof yang baru diperlukan metode yang diakui secara umum oleh aliran yang sebelumnya telah ada. Tanpa mengenal ciri-ciri produk pemikiran filsafat, maka arah dari perkembangan filsafat akan berputar-putar dan tidak dapat dimanfaatkan dengan benar, bahkan bisa salah memanfaatkannya. Hal ini juga mempunyai fungsi agar filsafat tidak bercampur dengan bidang yang lainnya.
Ketiga, Filsafat tidak melewati batas dari ketinggian spiritualitas
Ungkapan ini sering dikemukakan dalam perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit. Hal ini menurut penulis adalah sebuah pandangan menyikapi banyaknya tokoh-tokoh filsafat atau orang-orang yang berfilsafat dan kemudian memperoleh kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada, agama adalah candu, agama adalah fiktif. Pandangan beliau ini semakin penulis pahami saat membaca karya-karya beliau dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Dalam blog tersebut tersebar karya-karya beliau yang menunjukkan bahwa selain ahli dalam matematika dan filsafat, beliau juga mempunyai keahlian dalam bidang spiritualitas. Bahkan kecenderungan yang penulis lihat beliau menggunakan matematika dan filsafat sebagai alat untuk menjelaskan kajian dan aplikasi dalam kehidupan spiritual.
Ungkapan ini adalah ciri khas pendidik yang khawatir bahwa filsafat sebagai alat akan memaksa anak didiknya terkooptasi oleh alat itu sendiri. Sejatinya filsafat sebagai alat untuk menjelaskan hakikat, cara, dan nilai apa yang ada dalam obyek kajian hendaknya digunakan sebagai alat oleh penggunanya.


D.    Pembahasan
1.      Metode Pembelajaran
Dalam satu kesempatan, penulis bertanya kepada Prof. Dr. Marsigit, “Mengapa memilih model pembelajaran seperti ini?” Beliau menjawab singkat, “Karena pengalaman.” Penulis menanyakan tentang model pembelajaran, karena proses pembelajaran sangat unik dan tidak sebagaimana biasanya dipakai oleh para dosen.
Model Pembelajaran yang digunakan menggunakan kombinasi dari 4 model: (1) Model yang beliau sebutdengan  Nol.isasi, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan jenis Benar-Salah dengan pertanyaan model logika dan mahasiswa menjawab dengan satu kata. Disebut Nol.isasi karena mayoritas jawaban yang diberikan mahasiswa adalah salah dan mendapatkan nilai Nol; (2) Beliau mengkombinasikan model pembalajaran ini dengan keharusan setiap mahasiswa menulis pertanyaan dan beliau akan menjawabnya. Dari Tanya jawab inilah kemudian berkembang menjadi pembelajaran yang kontekstual; (3) Beliau menekankan bahwa setiap mahasiswa harus memberikan komentar pada tulisan-tulisan beliau yang ada di blog https://powermathematics.blogspot.com sepanjang perkuliahan sampai dengan ujian akhir semester; (4) Anjuran merekam perkuliahan.
Jawaban beliau bahwa kombinasi model digunakan karena pengalaman beliau adalah jawaban yang menunjukkan bahwa perjalanan panjang sebagai dosen membawa beliau pada kesimpulan bahwa efektivitas pembelajaran dapat dicapai dengan kombinasi empat model tersebut. Dari model pembelajaran tersebut, penulis mendapatkan pembelajaran bahwa: (1) Dari model Nol.isasi penulis mendapatkan bahwa keluasan ilmu pengetahuan itu betul-betul terasa dan kemudian membawa penulis untuk berupaya mencari jawaban selanjutnya; (2 dan 3) Dari tanya jawab penulis mendapatkan bahwa beliau sedang menata kembali peta pembelajaran berdasarkan Nol.isasi dan hasil pembacaan dari model komentar di blog yang menuntun mahsiswa untuk membaca bahan-bahan perkuliahan di https://powermathematics.blogspot.com; (4) Dari anjuran merekam perkuliahan penulis mendapatkan satu metode pengulangan kembali.
Dari kombinasi model pembelajaran yang diterapkan ini dan 3 hal utama yang disampaikan dalam perkuliahan, penulis mendapat satu titik temu bahwa sebenar-benarnya filsafat itu adalah penjelasanmu. Hal ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa yang semuanya berprofesi sebagai pengajar. Dan bukankah memang sesungguhnya Prof. Dr. Marsigit sedang mengajar para pengajar yang sangat membutuhkan Teknik Menjelaskan.
2.      Materi Pembelajaran
Pada pembahasan tentang materi pembelajran, penulis tertarik terutama pada “Pemahaman bahwa filsafat tidak melewati batas dari ketinggian spiritualitas”. Penulis menilai ungkapan ini adalah wujud dari celah besar kekurangan filsafat dalam menjelaskan realitas yang ada di alam semesta ini. Dua aliran besar ‘purba’ rasionalisme dan empirisme menjadi dialektika yang mampu mengiringi peradaban manusia dari abad ke abad, namun karena hakikatnya realitas yang ada di alam ini adalah bayangan dari Hakikat Yang Ada, maka tanpa pondasi dan kesadaran terhadap Hakikat Yang Ada, maka jawaban dari kegelisahan memahami realitas yang ada tidak akan pernah tuntas, bahkan ‘hanya’ sekedar membahagiakan pun tidak menjadi kenyataan, namun masih lumayan karena memberikan kepuasan pada waktu-waktu tertentu.

Munculnya eksistensialisme, postmodernisme, metafisika adalah jawaban parsial dari kegelisahan di atas. Hanya saja spiritualisme memang unik, seunik dinamika misteri manusia dalam upayanya memahami dirinya sendiri. Oleh karenanya ungkapan bahwa setiap manusia adalah filosof menemukan sandarannya pada keunikan setiap pola manusia berupaya memahami dirinya sendiri. Dalam posisi sepert ini, penulis menggambarkan seakan-akan bahwa filsafat itu adalah gambaran kegelisahan para daksa, dan kegamangan para dewa. Wallah A’lam.

E.     Kesimpulan
Pengajar yang bisa jadi adalah seorang dosen, guru, dai sangat memerlukan keterapilan untuk memberikan penjelasan sesuai dengan kadar akal subyek yang diajar. Kesalahan metode dalam memberikan penjelasan akan memunculkan kesalahpahaman ataupun pemahaman yang salah, dan kemudian muncullah kegelisahan di kalangan pembelajar. Di antara sebagaimana dalam ilustrasi di atas, Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin pun menjadi gelisah dan salah paham. Sementara di lain posisi, para dewa mengalami dinamika dari kegamangan ke kegamangan yang lain karena memang sesungguhnya tugas para dewa adalah menundukkan dirinya menuju kepasarahan dan membimbing para daksa menuju kesana. Wallahu A’lam.



Tulisan ini adalah dari Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Prof. Dr. Marsigit, MA.


Oleh Lukman (18701264004, PEP 2018)

Minggu, 14 Oktober 2018

DAKWAH, TAHADDUST, ATAU PAMER?

Pagi2 Semprul memotong batang pisang Kepok...ketika Kemprul lewat sambil naik sepeda. Kemprul berhenti dan dalam keadaan masih di atas sepeda, Kemprul bertanya:

Kemprul: "Prul...ibadah itu ikhlas atau tidak...siapa yang menilai?"

Semprul: "Allah SWT..."

Kemprul: "Kalau ada yg mengumumkan dirinya sudah sholat atau sedekah dan ibadah lainnya kepada orang lain...berarti dia ikhlas ibadah dakwah atau tahaddust hinnikmat ya Prul?"

Semprul: "Ya itu tergantung...Allah SWT yg menilai...dan orang yg bersangkutan mestinya tahu dirinya ikhlas atau tidak."

Kemprul: "Oh...berarti yg melakukan tahu ya Prul...ikhlas atau tidak?"

Semprul membatin..."Jangan2 gara2 aku upload di FB kemarin..."Alhamdulillah...rasanya bahagia bisa tahajjud."

Semprul kemudian dengan gelapan: "Ya iya Prul...tahu2."

Kemprul tersenyum "He he he he." Sambil pergi meninggalkan Semprul yg celingukan dan pringas-pringis sendirian.

(Kalitirto, 14 Oktober 2018)

Selasa, 09 Oktober 2018

Lulus Ujian dengan Kembali


Semprul menjadi kelimpungan saat melihat berita di TV tentang bencana Gempa dan Tsunami di Palu. Ia seakan merasakan betapa beratnya ujian mereka yang terdampak bencana tersebut. Ketakutan, kebingungan, harapan, dan kegelisahan pasti meliputi mereka yang ada di sana.

Dari lubuk hati yang terdalam, ia membatin mudah-mudahan Allah SWT memberikan mereka kesabaran dan keteguhan iman. Mampu menata hati untuk tetap ikhlas di tengah bencana yang dahsyat tersebut. Semprul teringat bencana serupa di Aceh, Bantul, dan Lombok, kemudian Semprul berdoa: “Mudah-mudahan Allah SWT menganugerahkan masyarakat di Palu kekuatan untuk bangkit kembali, seperti mereka yang dulu terkena bencana di Aceh, Bantul, Lombok.”

Bencana seperti di Palu, sebagaimana Lik Qosim menjelaskan saat kultum di Musholla Al-Hidayah, bisa menjadi cobaan ujian, sebagaimana ayat 155 sampai dengan ayat 157 surat Al-Baqarah: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Lik Qosim melanjutkan bahwa bencana yang terjadi dilihat dari reaksi orang-orang yang terdampak bisa jadi merupakan:
1. Pemuliaan derajat di sisi Allah SWT, kalau mereka menyikapi dengan keridloan, kedamaian, kesadaran dengan kehendak Allah dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan hingga saat berlalunya.
2. Penyucian jiwa bagi yang menyikapinya dengan sabar, tidak mengeluh, lebih rajin menunaikan perintah, dan tidak enggan serta patuh kepada Allah SWT.
3. Teguran ataupun hukuman kalau bagi yang menyikapinya dengan kurang sabar, mengaduh, meratap, dan mengeluh.

Lik Qosim menegaskan bahwa: “Jiwa-jiwa yang Ikhlas atau yang sedang belajar menuju Ikhlash biasanya ada pada nomor 1 dan 2. Mereka tabah karena sadar bahwa dunia dan segala isi kehidupannya adalah ujian untuk Kembali Kepada Allah SWT atau inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.”

Semprul membatin, “Aku dulu waktu gempa di Bantul, masuk kategori yang mana ya? Aah entahlah…”

(Kalitirto, 9 Oktober 2018)

Jumat, 05 Oktober 2018

Tafakkur, Instrumen Meng.Nol.kan Ego

Semprul mengurai kembali pengalaman batinnya dalam keheningan wiridnya sebelum fajar tadi. Sudah beberapa hari ini Semprul melakukan saran Kemprul untuk membaca Surat Al-Ikhlas dengan niat memohon petunjuk kepada Allah SWT agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih Ikhlas. Surat Al-Ikhlas dibaca berulang kali setelah sebelumnya membaca Istighfar, sholawat, dan Kalimah Thoyyibah La Ilaha Illalloh, dan Muhammadurrasululloh.

Awalnya, sehingga Semprul melakukan wiridan tersebut…saat ia melihat Kemprul duduk berdzikir lebih lama daripada orang-orang lainnya setelah sholat jamaah Maghrib.

Semprul: “Prul, Seringkali aku melihatmu berdzikir lama setelah sholat Maghrib.”

Kemprul: “Iya Prul, itu wujud kesungguhan dalam upaya untuk betul-betul menjadi hamba Allah SWT.”

Semprul: “Yang dibaca berdzikir apa Prul?”

Kemprul: “Semua kamu sudah hafal Prul. Cuma mungkin…selama ini kamu membacanya sambal lalu saja, sedangkan aku diajari untuk menghikmatinya, mentafakkurinya. Bacanya ya…istighfar, sholawat, dan la ilaha illalloh.”

Semprul: “Menghikmati, mentafakkuri…gimana caranya Prul.”

Kemprul: “Kalau kamu ingin sawahmu hasilnya lebih banyak dari biasanya gimana Prul?”

Semprul: “Iya aku cari ilmunya, aku lihat kekurangan2 pengarapannya selama ini, aku pupuk, aku obati kalau kena hama.”

Kemprul: “Lha itu, begitu juga kalau kamu ingin lebih banyak menghikmati dan mentafakkuri bacaan dzikir2 itu, kamu coba ulang-ulang, dipelajari maknanya, dirawat dengan istiqomah melakukannya.”

Semprul: “Ooh…kalau aku memulai seperti kamu boleh Prul?”

Kemprul: “Ya boleh saja, yang penting Ikhlas-kan niat.”

Semprul: “Lha, kembali lagi Surat Al-Ikhlas…he he he.”

Kemprul: “Iya…kamu baca Istighfar, sholawat, la ilaha Illalloh, muhammadur rasulullah, kemudian surat Ikhlas berkali-kali.”

Kemudian Semprul menjalaninya…beberapa hari kemudian karena kalau habis sholat Magrib Semprul merasa kurang Khusyu’…Kemprul memberikan saran untuk membacanya setelah sholat Tahajjud. Setelah beberapa minggu Semprul dzikir setelah Sholat Tahajjud, ia mendapat pengalaman batin saat ia berdzikir.

Semprul berniat akan menanyakan pengalamannya kepada Semprul. Sebetulnya, Semprul ingin sekali segera bertemu Kemprul, namun entah beberapa minggu ini ia tidak pernah bertemu dengan Kemprul. Semprul dengan tanpa kesadaran penuh…tiba2 mengucap dengan lirih..”mudah2an Allah SWT menganugerahkan kesehatan kepada Kemprul. Amin…”

(Kalitirto, 5 Oktober 2018)

Senin, 01 Oktober 2018

Tak Usah Gelisah, Berlabuhlah

Pengajian Rutin Musholla Al-Hidayah malam itu tdk seperti biasanya. Lik Qosim tdk bisa hadir malam itu. Pesan Lik Qosim, Kemprul yg menggantikan.
Awalnya, seperti biasa Kemprul memulai di atas mimbar, tapi hanya pembukaan, lalu Kemprul minta izin untuk menyampaikan ceramah sambil duduk bersama jamaah.
Lha...yg menarik tema pengajian yg tdk biasa. Kemprul menyampaikan bahwa tema pengajian adalah "Tak Usah Gelisah, Berlabuhlah".
Lik Abdul mendengar tema itu, berbisik kepadaku "Wah...Kemprul mau berpuisi." Aku tersenyum saja mendengarnya. Tiba2 aku menjadi kaget dan konsentrasi penuh mendengar Kemprul menyampaikan...
Kemprul: "Makna Allahu Ahad menurut ahli tafsir bahwa Allah Esa karena satu-satunya. Tidak ada yg menyamai kekuasaan, rahmat kasih sayangnya, ataupun kreatifnya. Bapak ibu, saudara saudari rohimakumulloh. Kalau keyakinan kita penuh dalam dada, maka kita pasti bangga diberi imam kepada Allah SWT dan dengan suka rela kita menyerahkan hidup mati kita kepada Allah SWT, sebagaimana doa ifititah innasholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, matiku adalah milik Allah dan kudedikasikan untuk Allah tuhan semesta alam."
Kulihat Kemprul menyampaikan dengan mantap...ia mengambil nafas panjang dan kemudian melanjutkan...
"Allah SWT berfirman setelah Allahu Ahad, adalah Allahus Shomad. Allahus Shomad menurut ahli tafsir adalah Dzat yg sangat tepat, kuat, dan nyaman untuk bertawakkal. Bagaikan bantal kapas yg nyaman untuk disandari. Jadi...Bapak2, ibu2, saudara-saudari rohimakumulloh...kedalaman pemahaman terhadap Allahu Ahad dan kemantapan keyakinan terhadap Allahu Ahad...akan mendorong seseorang berpasrah atau bertawakkal atau berlabuh kepada Allah SWT. Mereka2 yang mampu seperti ini jarang resah, gelisah, takut, karena mereka punya Allah SWT Tuhan semesta alam. Bila kegelisahan mulai menjalari hati, mereka mengingat Allah SWT, maka terpupuslah kegelisahan itu."
Sayup2 terdengar...Allahu Akbar, Allahu Akbar...Semprul kaget dan membuka matanya...kemudian mengucapkan Alhamdulillah2.
Semprul tadi ternyata sedang duduk beristighfar dan bersholawat...lalu seperti mimpi kejadiannya...namun Semprul bersyukur mendapatkan pelajaran yg sangat bermakna.
Semprul kemudian berdiri dan merasakan hatinya bahagia dan badannya segar. Kemudian dia menuju sumur di belakang rumahnya untuk berwudlu.
(Ngabar, 30 September 2018)

Mengenal.Nya Sungguh Membahagiakan

Saat itu, mendung agak tebal menghiasi sore. Semprul dan Kemprul duduk santai di tanggul selokan Mataram. Satu saat, Kemprul menghela nafas panjang, kemudian berkata:
Kemprul: "Prul, selokan ini dulu atas ide HB IX, salah satu raja terbaik yang dikenang rakyat Jogja sebagai raja yg bijak. Selokan Mataram ini dulu dibangun untuk siasat menghindarkan rakyat Jogja dari Kerja Paksa penjajah Jepang."
Semprul: "Iya Prul, malah banyak yg cerita beliau waktu mengusir penjajah Jepang, beliau terlihat di banyak tempat pada waktu bersamaan."
Kemprul: "Waktu pemerintah RI mengungsi ke Jogja, beliau menanggung gaji pemerintah saat itu. Beliau juga banyak diceritakan blusukan ke sentra2 kegiatan rakyat. Bahkan karena ada yg tdk tahu kalau beliau HB IX, rakyat meminta beliau untuk membantu menaikkan padi ke gerobak, dan beliau melakukan itu dengan tanpa canggung sedikitpun."
Semprul:"Apik tenan ya Prul?"
Kemprul diam dan pandangannya menerawang. Matanya terlihat mengembun. Kemudian dia berkata...
Kemprul: "Seandainya...ini seandainya Prul, beliau masih hidup dan bilang ke kamu...Sy Raja Jogja, kamu jawab apa Prul?"
Semprul: "Ya saya jawab Prul, Sendiko Sinuwun, Ya siap Paduka."
Kemprul: "Kalau beliau menyuruhmu...Semprul katakan bahwa HB IX adalah Raja Jogja, kamu mau Prul?"
Semprul: "Ya mau Prul, dengan hati bahagia berbunga2 aku akan mengatakan HB IX adalah Raja Jogja."
Kemprul dan Semprul kemudian sama2 diam...setelah beberapa saat...Semprul bertanya...
Semprul: "Prul, aku mau tanya kelanjutannya mendalami surat Al-Ikhlas agar mampu ikhlas dg sesungguhnya. Saat itu engkau menjawab dengan mendalami Surat Al-Ikhlas. Lalu mendalami Surat Al-Ikhlas caranya meng.nol.kan ego. Gambarannya seperti sahabat Bilal disiksa tetap teguh berkata Ahad, Ahad, Ahad. Lha kelanjutannya seperti apa? Bagaimana cara meng.nol.kan ego?"
Kemprul: "Caranya seperti engkau dengan hati berbunga bahagia mengatakan HB IX adalah Raja Jogja."
Semprul: "Lha...maksudnya gimana?"
Kemprul: "Saat seseorang mengetahui dg keyakinan sepenuhnya Bahwa Allah adalah Maha Esa, seperti keyakinanmu HB IX adalah Raja Jogja, maka orang itu akan berbunga hati bahagia mengatakan bahwa Allah adalah Esa."
Semprul: "Ooh...jadi sejak tadi...kamu menyampaikan kelanjutan aku belajar ikhlas tho?!"
Kemprul hanya tersenyum melihat Semprul keheranan...
(Ngabar, 29 September 2018)

Senin, 24 September 2018

Ikhlas dan Meng.Nol.kan Ego

Seusai membendung saluran air yang mengairi sawahnya, Semprul duduk mengawasi air yang masuk ke sawahnya. Semprul mengingat kembali percakapannya dengan Kemprul bahwa bisa jadi seseorang yang berumur 35 tahun mempunyai pemahaman yang tidak berbeda dengan anak SD tentang makna ‘Ahad’ dalam ayat 1 surat Al-Ikhlas.

Saat itu dia bertanya: “Memangnya makna Ahad yang dalam itu gimana?”

Kemprul menjawab: “Gambarannya seperti sahabat Bilal, saat beliau disiksa oleh tuannya karena masuk Islam, dicambuk, dijemur di padang pasir, ditindihkan badannya batu besar yang panas, beliau hanya menyebut Ahad, Ahad, Ahad.”

Saat itu Semprul reflex menjawab: “Waouw…sulit berarti ya Prul, praktisnya gimana caranya Prul?”

Kemprul menjawab: “Belajar meng.nol.kan ego dan berdoa.”

Semprul membatin: “Besok kalau ketemu Kemprul lagi aku akan tanyakan makna dari meng.nol.kan ego.”

Semprul kemudian berdiri mengelilingi sawahnya dan memperhatikan air yang mulai meresap ke sudut2 sawahnya. Sementara malam semakin lengang…dan sayup2 terdengar dialog Semar dan Mbilung dari radio di sebuah rumah tetangganya.

(Karangmalang, 24 September 2018)

Ikhlas: Ruh Amal

Musholla Al-Hidayah saat itu lengang…jamaah sudah pulang kecuali Kemprul dan Semprul. Musholla Al-Hidayah yang terletak di tengah2 kebun…agak jauh dari perumahan warga kampung…menjadikan suasana lenggang menentramkan.

Semprul duduk di serambi musholla, sementara Kemprul masih di dalam musholla. Semprul sengaja menunggu Kemprul, karena dia ingin benar2 belajar Ikhlas. Semprul melihat sosok Kemprul di dalam Musholla. Kemprul duduk bersila, tepekur diam…Semprul membatin: “apa yang sedang dilakukan Kemprul ya?” Saat Semprul membatin itu…Kemprul kelihatan bergerak dan berdiri dan berjalan menuju ke arah Semprul.

Kemprul: “Kok belum pulang Prul?”

Semprul: “Kan menunggumu.”

Kemprul: “Ada apa e?!”

Semprul: “Aku ingin belajar yang kemarin itu Prul…Ikhlas seperti surat al-Ikhlas…Tidak ada kata Ikhlas dalam surat Al-Ikhlas. Menurutmu bisa dimulai dari mempelajari Surat Al-Ikhlas lebih mendalam.”

Kemprul: “Ya memang benar seperti itu, kalau ada orang mengatakan bahwa dia melakukan shodaqoh, umpamanya. Dia bilang ‘saya ikhlas’ maka tidak sama dengan Ikhlas dalam konsep surat al-Ikhlas. Ikhlas itu betul-betul tidak terlihat, karena sesungguhnya yang terlihat hanya indikatornya saja.”

Semprul: “Terus…mempelajari ikhlas dari surat Al-Ikhlas itu mempelajari ayat-ayatnya kan?!”

Kemprul: “Benar…tapi ini dulu Prul…ikhlas itu benar2 tidak terlihat, sebagaimana dlgambarkan oleh seorang ulama besar Prul, namanya terkenal disebut dengan Ibnu Athaillah As-Sakandari. Menurutnya Ikhlas itu ruh dari amal. Sebagaiamana ruh kita yang tidak kelihatan, maka ruh amal juga tidak kelihatan. Sebagaimana ruh pada tubuh yang mempunyai daya hidup, yang apabila ruh tidak ada tubuh menjadi mati, maka amal juga seperti itu, kalau tidak ada ikhlas, maka amal kita seperti bangkai.”

Semprul: “Mati…seperti bangkai…emm…”

Kemprul: “Lha…untuk bisa benar2 Ikhlas…maka seseorang harus benar menghikmati Al-Ahad…Qul Huwa Allohu Ahad. Katakanlah, Dia adalah Esa.”

Semprul: “Aku sejak dulu sudah hafal Prul.”

Kemprul: “Ya benar juga, anak SD juga hafal. Namun sekarang umurmu sudah 35an tahun, apakah sudah
lebih mendalam maknanya daripada anak SD.”

Semprul: “Mendalam gimana maksudnya?”

Kemprul: “Salah satunya, apakah kamu sudah benar2 merasa diperintah Allah SWT untuk mengatakan Allah adalah Esa? Al-Qur’an itu untuk pedoman untuk kita bagaimana cara beriman, beribadah, dan bermuamalah. Oleh karenanya saat ada ayat ‘Katakanlah Allah adalah Esa’, maka kita juga selayaknya meniru Rasulullah SAW juga mengatakan Allah adalah Esa.”

Semprul: “Iya ya, aku baru kepikiran sekarang. Berarti aku seperti anak SD ya Prul he he.”

Kemprul: “Masak ada anak SD umur 35 tahun Prul…he he."

Kemprul dan Semprul tersenyum…seperti senyum rembulan di tanggal 6.

(Kalitirto, 21 September 2018)

Jumat, 21 September 2018

ORANG PINGGIRAN DALAM PANDANGAN RASULULLAH SAW

Hadis Pertama:

Dari Mush’ab bin Sa’ad, beliau berkata bahwa Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu memandang dirinya memiliki keutamaan di atas yang lainnya (dari para sahabat). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Bukankah kalian ditolong (dimenangkan) dan diberi rezeki melainkan dengan sebab orang-orang yang lemah di antara kalian?”

[Imam al Bukhari, di dalam Shahih-nya, Kitab al Jihad was-Siyar, Bab Man Ista’ana bidh- Dhu’afa-i wash Shalihina fil-Harbi, nomor (2896) dari jalan Muhammad bin Thalhah, dari Thalhah, dari Mush’ab bin Sa’ad.]

Hadis Kedua:

Dari Mush’ab bin Sa’ad, dengan lafazh: Dari ayahnya (yakni, Sa’ad bin Abi Waqqash), ia menyangka bahwa dirinya memiliki keutamaan di atas yang lainnya (dari para sahabat), Maka Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang yang lemah dari mereka, yaitu dengan sebab doa mereka, shalat mereka, dan keikhlasan mereka”.

[Imam an-Nasa-i di dalam Sunan-nya (al-Mujtaba), Kitab al Jihad, Bab al Istinsharu bidh-Dha’if, nomor hadits (3178), dari jalan Mis’ar, dari Thalhah bin Musharrif]

Kamis, 20 September 2018

Ikhlas

Cuaca saat itu panas, Kemprul dan Semprul, dua sahabat sejak kecil bersepakat untuk berhenti di kedai dawet bu Merti untuk istirahat. Setengah hari mereka berkeliling untuk menyebar undangan pernikahan saudara sepupu Kemprul yang akan menikah di bulan Maulid dua pekan mendatang. Sambil menunggu dawet disediakan, mereka ngobrol dengan santai.

Semprul: “Prul, seminggu yang lalu saya mendengarkan kultum Malam Rabu di Musholla, lik Qosim yang menyampaikan, bahwa Ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas. Namanya surat Al-Ikhlas, tetapi di dalam surat tersebut tidak ada satupun kata yang menyebut kata Ikhlas.”

Kemprul: “Benar itu Prul, memang tidak ada satupun kata Ikhlas di dalam surat Al-Ikhlas. Berbeda dengan surat2 yang lain. Surat Al-Baqoroh ada kata Baqoroh, surat Al-Falaq menyebut kata Al-Falaq, surat An-Nas menyebut kata An-Nas.”

Semprul: “Menurut lik Qosim, hal itu menunjukkan bahwa Ikhlas itu benar-benar hanya untuk/karena lil-Allah ta’ala. Mulai ayat 1 sampai 4 semuanya menunjukkan Sifat-sifat Allah SWT.”

Kemprul: “Cocok Prul, lik Qosim terus menjelaskan gimana?”

Semprul: “Lik Qosim menjelaskan, kalau ingin belajar Ikhlas, maka belajarlah surat Al-Ikhlas secara mendalam.”

Kemprul: “Benar itu…”

Dawet datang dibawa bu Merti…ada tiga mangkuk…

Bu Merti: “Monggo…Silahkan…!”

Kemprul: “Njih…kok tiga bu?”

Semprul: “Tadi aku pesan tiga prul…kan ganjil lebih baik…he he.”

Kemprul dan Bu Merti tertawa bareng mendengar Semprul menjelaskan…

Kemprul: “Prul, kalau ingin belajar ihklas…yang satu mangkuk…dawetnya buat aku ya.”

Mereka bertiga tertawa bareng2…sampai2 bu Merti masih tertawa sambal duduk di depan gerobaknya.

Setelah meminum semangkuk dawet..Semprul kemudian bertanya.

Semprul: “Prul…aku ingin belajar ikhlas beneran.”

Kemprul: “Ya itu tadi Prul, bisa dimulai dengan memahami surat Al-Ikhlas.”

Semprul: “Aku diajari ya.”

Kemprul: “Insya Alloh.”

Semprul melanjutkan minum mangkuk kedua dawetnya…ada perasaan bahagia dan serasa manis seperti dawet yang ia minum…ia membatin: “Ikhlas seperti surat al-Ikhlas…Tidak ada kata Ikhlas dalam surat Al-Ikhlas. Sepertinya menarik ini.”

(Kalitirto, 20 September 2018)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More