Sabtu, 20 Juli 2019

MODEL PEMBELAJARAN IBR

Silahkan klik Read More...http://bit.ly/2O3aa5h

Kamis, 18 Juli 2019

TASBIHKU, TASBIHMU, TASBIH MEREKA, MUNGKIN BERBEDA


Beberapa orang, teman-teman satu group seperondan dengan Semprul, terburu-buru menemui Kemprul di rumahnya.

Teman Semprul: “Assalamu’alaikum…”

Kemprul yang di belakang rumah sedang menyiangi rumput2 di kebun Sayur Organiknya mendengar lamat2 salam dari depan rumahnya. Kemprul tersenyum sendiri, dan dengan lirih ia berucap, “Alhamdulillah…, Allohu Ya Karim, terima kasih ya Allah yang Maha Pemurah.”  Kemprul kemudian berdiri menjawab salam dari depan rumahnya:

Kemprul: “Wa’alaikumusalam wr. wb.”

Dalam perjalanan menuju depan rumah, Kemprul berkali-kali tersenyum, dan sesampai ia membuka pintu terlihat senyumnya bertambah lebar, dan kemudian dengan membuka pintu ia kembali menjawab:

Kemprul: “Wa’alaikumusalam wr. wb...Alhamdulillah, njanur gunung (tidak seperti biasanya) kalian pagi-2 sampai di sini?”

Teman Semprul: “Iya kang…ini ada yang darurat kang…Semprul tadi hampir tertabrak motor di pinggir portal kereta di utara desa.”

Kemprul: “Kalau hampir berarti tidak tertabrak kan?!.”

Teman Semprul: “Iya kang…tidak tertabrak, cuma sekarang dia di pinggir rel kereta sendirian…agak jauh dari jalan…kadang duduk, tiduran…kelihatan dia sedang asyik. Lha, kami khawatir dia kemasukan jin.”

Kemprul: “Insya Allah tidak apa2…”

Belum sempurna Kemprul menyelesaikan kalimatnya, dari belokan 50 meter dari rumah Kemprul terlihat Semprul membelokkan sepeda motornya ke arah rumah Kemprul.

Kemprul: “Lha itu dia Semprul! Alhamdulillah, nih Prul kamu dibicarakan teman2mu…pada khawatir kamu kemasukan jin di pinggir rel kereta…he he”

Semprul: “Iya Prul, tadi ada yang laur biasa di pinggir portal rel kereta, saat kereta lewat portal tertutup, kan ada suara tit tut tit tut…lha aku merasakan hatiku ikut bersuara Alloh, Alloh, Alloh…dan itu terus prul, sampai sudah selesai itu masih bersuara dan aku menikmatinya, sampai lupa kalau aku di tengah jalan. Lha karena penasaran aku ke pinggir rel yang agak sepi menunggu portal tertutup lagi…dan bunyi itu…terdengar lagi…lalu aku mencoba mengikutinya…dan aku mencoba-coba dengan gerakan tanganku, ataupun dengan naik turun nafasku. Asyik Prul, aku kebayang, untuk mengingatkan kita agar berdzikir, tidak hanya memakai biji tasbih, tapi bisa apapun, suara portal kereta, gerakan langkah kaki, tangan, nafas, dan lain-lain. Lha..tadi aku mencari tempat di pinggir rel ingin mencari yang cocok dengan tasbih apa aku bisa tetap berdzikir kepada Allah SWT. Karena sepertinya setiap orang mempunyai tasbih pengingat dzikir sendiri-sendiri.”

Teman Semprul: “Ooh…Kami kira kamu kemasukan jin Prul! Eeh ternyata sedang belajar dzikir. Prul, kami mau belajar dzikir juga…kami diajari dong!”

Semprul: “Walah…kok minta ajar aku tho?! Lha yang ngajari aku Kemprul kok! Lha kita belajar saja bersama-sama ke Kemprul.”

Kemprul: “Ya monggo…ayo kita belajar bersama-sama…besok malam senin malam selasa jam 20.30 kita belajar bersama-sama.”

Terdengar pengumuman dari masjid, Innalilahi wa inna ilaihi rojiun….dst.

Kemprul: “Yuk kita sekarang kita takziah bareng2.”

Dan mereka kemudian bersama-sama pergi takziah di desa sebelah timur sungai.

(di Lereng Merapi, Kampus UII, 18 Juli 2019)
------------

Diskusi Semprul dan Kemprul Sebelumnya:

MENANAM BENIH IMAN


Setelah perbincangan Kemprul dengan Semprul tentang Bukti Keberadaan Allah SWT dan pengalaman Semprul tersungkur karena hidayah dari Allah SWT, Semprul bertambah semangat belajar kepada Kemprul. Bahkan semangat Semprul tersebut diwarnai seleret kerinduan dan seberkas rasa segannya terhadap Kemprul.

Di saat perasaan percampuran antara semangat, rindu, dan segan tersebut Semprul memberanikan diri mengajukan jadwal rutin belajar kepada Kemprul.

Semprul: “Prul, seandainya aku belajar lebih rutin kepadamu, kamu setuju ndak?”

Kemprul: “Belajar apa Prul? Lha ngaji kamu sudah belajar tiap minggu di pengajian rutin malam Rabu.”

Semprul: “Ini beda Prul. Ini ngaji yang kelanjutannya kemarin2 itu.”

Kemprul: “Lha bukannya, kita selama ini ngobrol2 saja…he he”

Mendengar jawaban Kemprul, Semprul kelihatan bingung, tengok kanan, tengok kiri. Kelihatan ia tmbah bingung dan kemudian berkata:

Semprul: “Lha…entahlah ngobrol atau ngaji itu…gini saja Prul…apapun namanya kita diskusi yang seperti kemarin tapi lebih rutin.”

Kemprul: “Wuih semangat kamu banget Prul, mungkin seperti semangatnya biji kurma.”

Semprul: “Lha kok semangku seperti biji kurma, piye tho?!”

Kemprul: “Lha iya…Pohon Kurma di gurun itu Prul cara menanamnya dengan cara ditanam di dalam tanah sedalam 2-3 meter, kemudian ditimbun dengan bebatuan.”

Semprul: “Lha kok ditimbun dengan bebatuan.”

Kemprul: “Lha itu uniknya seperti semangamu.”

Semprul: “Ok lanjut-lanjut Prul!”

Kemprul: “Setelah ditimbun dengan bebatuan, biji kurma itu tidak menumbuhkan tunas terlebih dahulu, namun ia menghujamkan akarnya terus ke dalam tanah samapi menemukan sumber air yang cukup. Baru kemudian biji kurma itu akan menumbuhkan tunas dan memecahkan bebatuan yang menimbunnya hingga tunas nya tumbuh dan hidup berjuang tak kenal rasa takut akan hawa panas karena sudah mempunyai modal yang kuat yaitu akar yang begitu panjang dan dalam hingga ke sumber mata air di bawah gurun pasir.”

Semprul: “Oh…luar biasa!”

Kemprul: “Begitu juga Prul, orang yang menanam biji atau benih Lailaha Illalloh Muhammadur Rasulullah dalam hatinya dipadu dengan pemahaman yang benar maka keimanan akan tumbuh seperti pohon kurma.”

Semprul: “Maksudnya menanam benih Lailaha Illalloh Muhammadur Rasulullah dalam hati dipadu dengan pemahaman yang benar itu seperti apa Prul?”

Kemprul: “Masak dari tadi tidak terasa Prul?”

Dibilang seperti itu, Semprul celingukan kemudian menarik nafas panjang, terbayang diskusi dengan Kemprul tentang Bukti Keberadaan Allah, bertemu Lik Qosim, Sujud Syukurnya di Musholla Al-Hidayah, kemudian terlihat mata Semprul tergenang air mata. Kemudian sungguh mengejutkan, dadanya bergetar, jantungnya berdegup kencang, kemudian ia setengah berteriak: “Laa Ilaha Illalloh, Muhammadurrosulullah.” Kemudian ia terlihat menangis yang ditahan dan terbata-bata bilang:

Semprul: “Terima kasih Prul…”

Kemprul: “Sama-sama Prul…malam hari ini adalah malam selasa, kita rutinkan diskusi kita setiap hari Senin Malam Selasa setelah Isya’.”

Semprul hanya menganguk pelan sambal menikmati nada indah di jantungnya...yang berbunyi “Laa Ilaha Illalloh, Muhammadurrosulullah”.

(Kalitirto, 10 Juli 2019)

Versi Youtube di link ini.

Diskusi Semprul dan Kemprul Sebelumnya:



Sabtu, 13 Juli 2019

ILMU SYAHADAT

Syahadat (asy-syahādah) berasal dari bahasa Arab yang artinya ia telah memberikan persaksian, memberikan ikrar setia, dan memberikan pengakuan. Syahadat dalam pengertian rukun Islam yang pertama adalah pernyataan diri segenap jiwa dan raga atas persaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Rasul-Nya). Syahadat atau persaksian tersebut tidak bisa sempurna kecuali dengan dilandasi ilmu, sebagaimana Firman Allah swt.:
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ وَٱلْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلْعِلْمِ قَآئِمَاً بِٱلْقِسْطِ لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran [3]: 18).
Dalam tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka disebutkan bahwa kata “syahida” di awal ayat di atas bermakna bahwa Allah swt menjelaskan dengan media cipataan-Nya (alam semesta, termasuk manusia di dalamnya) bahwa “Tidak ada tuhan selain Allah.” Dengan media ciptaan Allah SWT lah manusia mampu mengerti, memahami, dan kemudian bersaksi bahwa memang “Tidak ada tuhan selain Allah”.
Sebagai manusia muslim, adalah wajib untuk berilmu. Karena tanpa ilmu maka tidak akan bisa bersaksi. Dan tanpa saksi maka tidak bisa bersyahadat dengan benar. Tanpa ilmu maka persaksian yang dimiliki adalah persaksian yang rapuh yang mudah gugur karena tanpa argumenentasi.
Orang yang berilmu pada ayat QS. Ali Imran [3]: 18 tersebut, secara sederhana adalah orang-orang yang menyediakan waktu, tenaga, akal dan pikirannya untuk menyelidiki keadaan alam ini, baik di bumi ataupun di langit, di laut dan di darat, di binatang dan di tumbuh-tumbuhan, dan di diri manusia sendiri, untuk menggali, mengerti, memahami bahwa “Alam Semesta dan Diri ini adalah Ciptaan Allah swt” dan menuju perkesaksian bahwa memang tidak ada Tuhan melainkan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt.:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي ٱلآفَاقِ وَفِيۤ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fusshilat [41]: 53)
Contoh dalam Al-Qur’an tentang orang yang berilmu ini adalah Nabi Ibrahim as. yang menyelidiki alam semesta dalam rangka mencari Tuhan:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ ٱلْلَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لاۤ أُحِبُّ ٱلآفِلِينَ. فَلَمَّآ رَأَى ٱلْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأَكُونَنَّ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلضَّالِّينَ. فَلَماَّ رَأَى ٱلشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي هَـٰذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ إِنِّي بَرِيۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ. إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلأَرْضَ حَنِيفاً وَمَآ أَنَاْ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
"Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku”. Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”. Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, ”Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan”. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan." (QS. Al-An’am [6]: 76-79).
Untuk membedakan antara bersyahadat orang-orang berilmu dan tidak berilmu dapat di-’rasa’-kan pada kisah-kisah berikut ini:
Ngapunten dan Terima kasih...

Minggu, 07 Juli 2019

MERASAKAN KESADARAN DIRI DENGAN DZIKIR

Di malam yang sangat dingin di musim kemarau, seusai jagong Midodareni di rumah tetangga, Semprul dan Kemprul beringsut ke pos ronda. Mereka menyimak berita tentang kriminalitas. Hanya sekitar 5 menit, Semprul menarik nafas panjang dan kemudian berkata:

Semprul: “Prul, bukankah setiap orang itu sadar dengan apa yang dilakukannya?”

Kemprul: “Harusnya seperti itu Prul. Seharunya orang shalat itu sadar kalau lagi shalat,  waktu dzikir ingat kalau lagi dzikir atau mengingat yang sedang didzikiri, ingat Allah SWT.”

Semprul: “Lha itu Prul, kalau dzikir itu pikiranku seharusnya bagaimana, dan perasaanku harusnya seperti apa?”

Kemprul: “Menurut Syaikh Ibnu Athoillah dalam Kitab Al-Hikam Kualitas dzikir terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu: pertama, Dzikrul Lisan. Tingkatan dzikir lisan adalah berdzikir sebatas pada lisan atau mulut, tanpa melibatkan hati. Hati pada tingkatan ini masih lalai dan belum mampu merasakan rasa takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT.

Semprul: “Tapi itu masih bagus kan Prul daripada tidak dzikir?”
Kemprul: “Ya tentu, lebih bagus Prul. Namun kualitas ini, kalau Allah berkehendak akan ditingkatkan pada tingkat kedua, yaitu Dzikir diserta ingat dalam hati. Tingkatan dzikir hati adalah ingatnya hati yang ingat namun belum disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah kecenderungan untuk memadukan lisan dan hati dalam berdzikir, sehingga seringkali dzikir lisannnya tertinggal dan diam.”

Semprul: “Oooh…!”

Kemprul tersenyum mendengar Oooh yang diucapkan Semprul, kemudian Kemprul melanjutkan.

Kemprul: “Tingkatan yang ketiga, ada adalah dzikirnya disertai hadirnya hati atau disebut hudlur. Tingkatan dzikir hadirnya hati adalah ingatnya hati yang disertai disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah adanya rasa gentar kepada Allah SWT yg dapat dilihat dari getaran tubuh atau bahkan menangis, atau tersenyum.”

Semprul: “Wuih…bagus sekali ini Prul!”

Kemprul: “Ya Prul…kita kalau sudah dikarunia dzikir ini…harus banyak bersyukur…dan terus berikhtiar dan doa agar Allah meningkatkan kualitas dzikir kita pada tingkat yang keempat, yaitu Dzikir Ghoibah, yaitu dzikir yang hanya teringat pada Allah SWT dan tidak kepada selain Allah SWT. Gambaran tingkatan ini adalah keterpesonaan atau keterpanaan seseorang pada sesuatu, sebagaimana keterpesonaan para wanita bangsawan pada ketampanan nabi Yusuf as. Indikatornya adalah kekhusyuan yang kuat yang dapat dilihat dari ketahanan dalam beribadah, keyakinan yang mantap, dan jiwa yang tenang.”

Semprul: “Gimana caranya sampai pada tingkat tersebut Prul?”

Kemprul: “Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandary memberikan nasehat sederhana berdzikirlah terus dan berharap mudah-mudahan Allah SWT menganugerahkannya.”

Semprul mangut-mangut sambal menerawang dengan tatpan kosong ke TV. Melihat itu, Kemprul berkata:

Kemprul: “Prul, bagus ya beritanya?”

Semprul tergagap, dan menjawab: “Eeh…ndak tahu Prul….he he…aku ngelamun Prul. Walau pandanganku ke TV tapi aku tidak melihatnya dan tidak sadar. Aku melamunkan bagaimana dzikir yang sudah kulakukan selama ini.”

Kemprul: “He he…kondisimu barusan mirip tingkatan dzikir yang mana Prul?”

Semprul: “Mungkin yang ketiga?! Atau keempat?!”

Kemprul: “Gayamu…itu masih kedua Prul…he he…yuk pulang!”

Semprul dan Kemprul meninggalkan pos Ronda. Bagi mereka berdua, Pos Ronda juga merupakan tempat untuk diskusi dalam ikhtiar meningkatkan kualitas diri.

(Kalitirto, 01-06-19)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More