Minggu, 07 Juli 2019

MERASAKAN KESADARAN DIRI DENGAN DZIKIR

Di malam yang sangat dingin di musim kemarau, seusai jagong Midodareni di rumah tetangga, Semprul dan Kemprul beringsut ke pos ronda. Mereka menyimak berita tentang kriminalitas. Hanya sekitar 5 menit, Semprul menarik nafas panjang dan kemudian berkata:


Semprul: “Prul, bukankah setiap orang itu sadar dengan apa yang dilakukannya?”

Kemprul: “Harusnya seperti itu Prul. Seharunya orang shalat itu sadar kalau lagi shalat,  waktu dzikir ingat kalau lagi dzikir atau mengingat yang sedang didzikiri, ingat Allah SWT.”

Semprul: “Lha itu Prul, kalau dzikir itu pikiranku seharusnya bagaimana, dan perasaanku harusnya seperti apa?”

Kemprul: “Menurut Syaikh Ibnu Athoillah dalam Kitab Al-Hikam Kualitas dzikir terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu: pertama, Dzikrul Lisan. Tingkatan dzikir lisan adalah berdzikir sebatas pada lisan atau mulut, tanpa melibatkan hati. Hati pada tingkatan ini masih lalai dan belum mampu merasakan rasa takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT.

Semprul: “Tapi itu masih bagus kan Prul daripada tidak dzikir?”
Kemprul: “Ya tentu, lebih bagus Prul. Namun kualitas ini, kalau Allah berkehendak akan ditingkatkan pada tingkat kedua, yaitu Dzikir diserta ingat dalam hati. Tingkatan dzikir hati adalah ingatnya hati yang ingat namun belum disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah kecenderungan untuk memadukan lisan dan hati dalam berdzikir, sehingga seringkali dzikir lisannnya tertinggal dan diam.”

Semprul: “Oooh…!”

Kemprul tersenyum mendengar Oooh yang diucapkan Semprul, kemudian Kemprul melanjutkan.

Kemprul: “Tingkatan yang ketiga, ada adalah dzikirnya disertai hadirnya hati atau disebut hudlur. Tingkatan dzikir hadirnya hati adalah ingatnya hati yang disertai disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah adanya rasa gentar kepada Allah SWT yg dapat dilihat dari getaran tubuh atau bahkan menangis, atau tersenyum.”

Semprul: “Wuih…bagus sekali ini Prul!”

Kemprul: “Ya Prul…kita kalau sudah dikarunia dzikir ini…harus banyak bersyukur…dan terus berikhtiar dan doa agar Allah meningkatkan kualitas dzikir kita pada tingkat yang keempat, yaitu Dzikir Ghoibah, yaitu dzikir yang hanya teringat pada Allah SWT dan tidak kepada selain Allah SWT. Gambaran tingkatan ini adalah keterpesonaan atau keterpanaan seseorang pada sesuatu, sebagaimana keterpesonaan para wanita bangsawan pada ketampanan nabi Yusuf as. Indikatornya adalah kekhusyuan yang kuat yang dapat dilihat dari ketahanan dalam beribadah, keyakinan yang mantap, dan jiwa yang tenang.”

Semprul: “Gimana caranya sampai pada tingkat tersebut Prul?”

Kemprul: “Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandary memberikan nasehat sederhana berdzikirlah terus dan berharap mudah-mudahan Allah SWT menganugerahkannya.”

Semprul mangut-mangut sambal menerawang dengan tatpan kosong ke TV. Melihat itu, Kemprul berkata:

Kemprul: “Prul, bagus ya beritanya?”

Semprul tergagap, dan menjawab: “Eeh…ndak tahu Prul….he he…aku ngelamun Prul. Walau pandanganku ke TV tapi aku tidak melihatnya dan tidak sadar. Aku melamunkan bagaimana dzikir yang sudah kulakukan selama ini.”

Kemprul: “He he…kondisimu barusan mirip tingkatan dzikir yang mana Prul?”

Semprul: “Mungkin yang ketiga?! Atau keempat?!”

Kemprul: “Gayamu…itu masih kedua Prul…he he…yuk pulang!”

Semprul dan Kemprul meninggalkan pos Ronda. Bagi mereka berdua, Pos Ronda juga merupakan tempat untuk diskusi dalam ikhtiar meningkatkan kualitas diri.

(Kalitirto, 01-06-19)

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More