Senin, 29 Juli 2024

Hikman 200

Sesungguhnya Allah menjadikan dunia sebagai tempat bagi perubahan dan tempat timbulnya masalah agar kamu tidak tertarik padanya.

Datangnya perubahan dan masalah duniawi pada seorang hamba adalah nikmat dari Allah Ta'ala untuknya; karena hal itu pasti akan mendorongnya untuk berzuhud dari dunia dan menjauhinya, serta menjauhkan darinya kebodohan dan ketidaktahuan karena ia berpegang teguh pada ilusi, yang berbahaya bagi kehidupan sekarang dan masa depan. Karena alasan orang yang tertarik pada dunia dan keinginannya untuk mencapainya hanyalah karena ia membayangkan bahwa dunia ini bisa memberinya keinginan, hasrat, dan memuaskan nafsunya tanpa gangguan atau kesulitan. Jika ia membayangkan bisa mendapatkan hal-hal ini sesuai dengan apa yang ia cintai dan sukai, maka ia seharusnya tidak tertarik padanya, sebaliknya, seharusnya ia menjauhinya jika ia bijak; karena akhir dari urusan dunia adalah kefanaan dan kebinasaan, kemiskinan, dan pengakhiran, serta kepergian. Mereka berkata: “Keburukan yang tidak abadi lebih baik daripada kebaikan yang tidak abadi.”

Penyair berkata: Penderitaan terbesar bagiku adalah dalam kebahagiaan yang pasti akan meninggalkan pemiliknya. Aku melihat dunia pada orang yang memilikinya Berputar sehingga tidak ada yang tetap dalam satu keadaan.

Kemudian, dunia menghalangi seseorang dari kebahagiaan akhirat dan mendekat kepada Allah Yang Maha Tinggi, yang merupakan tujuan tertinggi bagi para pencari dan keinginan terakhir bagi orang yang berharap. Bagaimana tidak, karena dunia ini memaparkan seseorang pada berbagai musibah dan bencana, serta terjadinya perubahan dan masalah. Tidak ada seorang pun di dunia ini kecuali ia berada dalam setiap keadaan dan waktu sebagai sasaran dari tiga panah: panah cobaan, panah kesedihan, dan panah kematian. Ketika itu terjadi padanya, nikmat berubah menjadi musibah, kegembiraan berubah menjadi kesedihan, dan kebahagiaan menjadi kesengsaraan. Itulah hakikat dunia selamanya; harapan tidak sebanding dengan ketakutannya, dan kebaikannya tidak sebanding dengan keburukannya. Penyair benar dalam ucapannya: Malam-malam tidak berbuat baik kepada siapa pun Kecuali mereka memperlakukan orang tersebut dengan buruk setelah kebaikan.

Dan juga benar siapa yang berkata: Kebaikan zaman tidak sebanding dengan keburukannya Lebih baik bagi kita apa yang sedikit darimu dan apa yang cukup Zaman yang ketika memberi, ia mengambil kembali pemberiannya Dan ketika stabil, ia mulai berubah.

Ali bin Abi Thalib menulis kepada Salman, semoga Allah meridhoi keduanya: "Sesungguhnya perumpamaan dunia seperti ular; lembut permukaannya, mematikan racunnya. Maka, jauhilah dunia dan apa yang menarikmu darinya, karena sedikit sekali yang menemanimu dari dunia ini. Tinggalkanlah kekhawatiranmu terhadap dunia karena kamu yakin akan meninggalkannya. Dan jadilah orang yang paling berhati-hati darinya ketika kamu berada dalam kondisi paling bahagia di dalamnya. Karena setiap kali seorang penghuni dunia merasa tenang dengan kesenangan di dalamnya, ia akan segera dipindahkan kepada sesuatu yang tidak disukainya."

Beberapa orang bijak berkata: "Dunia ini seperti mimpi di malam hari, kegembiraannya seperti bayangan awan, peristiwanya seperti panah yang melesat, nafsunya seperti minum racun, dan fitnahnya seperti gelombang yang besar."

Abu Al-‘Atahiyah berkata: "Dunia adalah tempat kesusahan dan gangguan, tempat kefanaan dan perubahan. Meskipun kamu mendapatkannya sepenuhnya, kamu akan mati dan tidak memenuhi keinginanmu darinya. Wahai yang berharap panjang umur, dan panjang usia akan merugikanmu. Jika kamu sudah tua dan masa muda telah berlalu, maka tidak ada kebaikan dalam hidup setelah usia tua."

Abu Mansur Al-Thaalibi, semoga Allah merahmatinya, dalam mengecam dunia mengatakan: "Jauhilah dunia dan jangan menikah dengannya, dan jangan menikah dengan pembunuh yang menikahi banyak orang. Harapan dari dunia tidak sebanding dengan ketakutannya, dan keburukannya jika kamu perhatikan lebih dominan. Para penyair telah banyak mengatakan tentangnya, dan aku memiliki deskripsi yang cukup tentangnya. Cairannya yang paling enak adalah racun, dan kapal yang lezat jika kamu menikmatinya, maka itu adalah yang menyesatkan. Seorang yang tampan yang kecantikannya menyenangkan orang, tetapi ia memiliki rahasia buruk dan kejelekan."

Jika seorang hamba mengetahui semua ini dengan yakin, dan hatinya benar-benar terisi dengan pengetahuan ini, maka ia tidak akan memiliki keinginan sama sekali untuk dunia. Karena, dengan demikian, ia mengumpulkan dua kegagalan dan dua kerugian, dan kematian akan datang kepadanya sementara tangannya kosong dari manfaat dunia dan akhirat, dan itu adalah kerugian yang nyata.

Abu Hashim Al-Zahid, semoga Allah meridhoinya, berkata: "Allah menandai dunia dengan keterasingan; agar para pencari ridha Allah merasa tenang dengan-Nya daripada dengan dunia, dan para penurut-Nya berpaling kepada-Nya dengan menjauh dari dunia. Orang-orang yang mengenal Allah merasa asing dari dunia, dan mereka merindukan akhirat."

Dikatakan: Allah mewahyukan kepada dunia: "Sempitkanlah dan persulitlah kepada para wali-Ku, dan lapangkanlah dan perluaslah kepada musuh-musuh-Ku. Sempitkanlah kepada para wali-Ku agar mereka tidak mengenalmu dan menjauh dari-Ku, dan lapangkanlah kepada musuh-musuh-Ku agar mereka sibuk denganmu dan melupakan-Ku, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk mengingat-Ku."

Wallohu A'lam.

Terjemah Hikmah 199 || Syarah Al-Hikam Al-Athaiyyah oleh Syaikh Ibnu Abbad An-Nafazi Ar-Rundi

قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

إِنْ رَغَّبَتْكَ الْبِدَايَاتُ زَهَّدَتْكَ النِّهَايَاتُ، إِنْ دَعَاكَ إِلَيْهَا ظَاهِرٌ نَهَاكَ عَنْهَا بَاطِنٌ.

Syekh Ibn Atha'illah ra. berkata:

“Jika permulaan membuatmu bersenang hati, maka akhir perjalanannya akan membuatmu benci. Jika sesuatu yang lahiriah mengundangmu untuk mendekat, maka ia menjauhkanmu dari yang batin yang hakikat.”

Syarah Ibnu Abbad An-Nafaziy Ar-Rundiy:

Permulaan dan tampilan luar dari suatu hal akan menggoda orang bodoh untuk senang dan menariknya mendekati hal tersebut. Dikarenakan hal-hal tersebut memiliki kecantikan yang menawan dan penampilan yang manis, maka orang bodoh terperdaya oleh hal itu, sehingga mengarahkannya kepada keadaaan yang membahayakan dan menghancurkannya.

Akhir dari suatu perkara dan hakikat batin dari suatu hal membuat orang yang bijak menjauhi dan mencegahnya. Dikarenakan hal-hal itu memperlihatkan keburukan (pada akhirnya) dan kejelekan (hakikat) batinnya, sehingga orang yang bijak memikirkannya, menghindarinya, dan selamat dari keburukannya. Ini telah dijelaskan sebelumnya dalam ungkapan: “Alam ini lahirnya menipu, namun di dalam kedalaman batinnya ada i'tibar (contoh atau pengajaran).”

Wahab bin Munabbih ra. berkata: “Seorang pria menemani seorang petapa selama tujuh hari untuk mendapatkan sesuatu (hikmah/pembelajaran) darinya, tetapi ia mendapati petapa itu sibuk berzikir kepada Allah Ta'ala, dan berpikir, tidak berhenti-henti, kemudian pada hari ketujuh petapa itu berbalik menengok padanya dan berkata: "Wahai kamu lelaki, aku tahu apa yang kamu inginkan, (ingatlah): 

حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَالزُّهْدُ فِيهَا رَأْسُ كُلِّ خَيْرٍ، وَالتَّوْفِيقُ نَجَاحُ كُلِّ برٍّ، فَاحْذَرْ رَأْسَ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَارْغَبْ فِي رَأْسِ كُلِّ خَيْرٍ، وَتَضَرَّعْ إِلَى رَبِّكَ أَنْ يَهَبَ لَكَ نَجَاحَ كُلِّ برٍّ.

"Cinta dunia adalah akar dari segala dosa, dan zuhud adalah akar dari segala kebaikan, dan taufik/pertolongan/keselaran adalah kesuksesan dari segala kebajikan, maka waspadalah terhadap akar dari segala dosa, dan carilah akar dari segala kebaikan, dan memohonlah kepada Tuhanmu agar Dia memberimu kesuksesan dalam segala kebajikan!"

Lelaki tersebut bertanya: 'Bagaimana saya mengenalinya?' Petapa tersebut menjawab: 'Kakekku adalah seorang yang bijak yang menyerupakan dunia ini dengan tujuh hal; (1) ia menyerupakan dunia ini dengan air asin yang menipu, tidak memuaskan dahaga, membahayakan, dan tidak memberi manfaat; (2) ia menyerupakan dunia dengan bayangan awan yang menipu dan mengecewakan; (3) ia menyerupakan dunia dengan kilat yang menipu dan tidak bermanfaat; (4) ia menyerupakan dunia dengan awan musim panas yang menipu tetapi tidak bermanfaat; (5) ia menyerupakan dunia dengan bunga musim semi yang menipu dengan kecantikannya tetapi kemudian menguning sehingga kamu melihatnya menjadi jerami; (6) ia menyerupakan dunia dengan mimpi seorang tidur yang melihat kebahagiaan dalam mimpinya tetapi ketika ia bangun tidak menemukan apa pun kecuali penyesalan; (7) ia menyerupakan dunia dan dengan madu yang dicampur dengan racun mematikan yang menipu tetapi membunuh.

Aku telah merenungkan ketujuh hal ini selama tujuh puluh tahun, kemudian aku menambahkannya satu hal lagi dan menyamakannya dengan Ghoul/makhluk jahat yang membunuh siapa pun yang menjawab panggilannya dan meninggalkan siapa pun yang mengabaikannya.

Aku melihat kakekku dalam mimpi dan ia berkata kepadaku: ‘Wahai anakku, kamu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari dirimu.’ Maka aku berkata kepadanya: 

فَبِأَيِّ شَيْءٍ يَكُونُ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا؟ قَالَ: بِالْيَقِينِ، وَالْيَقِينُ بِالصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ بِالْعِبَرِ، وَالْعِبَرُ بِالْفِكْرِ. ثُمَّ وَقَفَ الرَّاهِبُ وَقَالَ: خُذْهَا وَلَا أَرَاكَ خَلْفِي إِلَّا مُتَجَرِّدًا بِفِعْلٍ دُونَ قَوْلٍ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ الْعَهْدِ بِهِ.

"Dengan cara apa kita dapat berzuhud dalam dunia ini?’ Ia menjawab: ‘Dengan keyakinan, dan keyakinan dengan kesabaran, dan kesabaran dengan pelajaran, dan pelajaran dengan pemikiran."

Kemudian petapa itu berhenti dan berkata: ‘Ambil ini dan jangan biarkan aku bertemu melihatmu lagi kecuali dalam tindakan nyata, bukan sekadar ucapan,’ dan itu adalah pertemuan terakhir ku dengannya.

Dan Muhammad bin Ali at-Tirmidzi ra, berkata: ‘Dunia ini selalu tercela di kalangan umat terdahulu, di antara orang-orang bijak mereka, dan pengejar dunia ini selalu dihina di kalangan para bijak yang telah lalu, dan tidak ada seorang nabi/penyeru pun yang diutus di suatu umat kecuali ia memperingatkan mereka dari mengikuti dunia dan mengumpulkan dunia, dan mencintai dunia. Bukankah Anda melihat seorang mukmin dari keluarga Firaun yang berkata: 

اتَّبِعُونِي أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ [غَافِر: 38]، وَقَالَ: إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ [غَافِر: 39] 

"Ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar." (Ghafir: 38) Dan ia juga berkata: "Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu." (Ghafir: 39). 

Artinya: Anda tidak akan mencapai jalan yang benar jika dalam hati Anda masih ada kecintaan pada dunia dan menuntut/mencari dunia.

Kisah dan atsar (tradisi) tentang kondisi dunia, tipu daya, dan keburukannya lebih banyak daripada yang dapat dihitung, dan tidak ada yang lebih jelas dalam hal ini selain firman Allah Ta'ala tentang sifatnya: 

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ 

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-Hadid: 20).

Wallohu A'lam.


Jumat, 19 Juli 2024

HIKMAH 1: BERHARAP KEPADA ALLAH BUKAN KEPADA AMAL || Terjemah Syarah Al-Hikam Muhammad Said Ramadhan al-Buthi


Materi FGD 1, Sabtu Pon 20 Agustus 2024

Penjelasan Hikmah 1

Syaikh Ibnu Atha'illah As-Sakandari ra. berkata:

مِنْ عَلَا مَاتِ الْإِعْتِمَادِعَلَى الْعَمَلِ ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَوُجُوْدِ الزَّلَلِ

Syaikh Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan sebagai berikut:

شَرْحُ الحِكْمَةِ الأُولَى: (مِنْ عَلاَمَةِ الاِعْتِمَادِ عَلَى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَّلَلِ) 

Syarah atau penjelasan hikmah yang pertama, “Salah satu tanda bergantungnya seseorang kepada amalnya adalah kurangnya roja’ (harapan terhadap rahmat Allah) tatkala ia mengalami terpeleset kesalahan (dosa).”

الاِعْتِمَادُ عَلَى العَمَلِ أَهُوَ فِي الشَّرِيعَةِ أَمْرٌ مَحْمُودٌ أَمْ مَذْمُومٌ؟ يَقُولُ لَنَا اِبْنُ عَطَاءِ اللَّهِ: إِيَّاكَ أَنْ تَعْتَمِدَ فِي رِضَا اللَّهِ عَنْكَ وَفِي الجَزَاءِ الَّذِي وَعَدَكَ بِهِ عَلَى عَمَلٍ قَدْ فَعَلْتَهُ وَوُفِّقْتَ لَهُ، كَالصَّلَاةِ، كَالصَّوْمِ، كَالصَّدَقَاتِ، كَالمَبَرَّاتِ المُخْتَلِفَةِ، بَلْ اِعْتَمِدْ فِي ذَلِكَ عَلَى لُطْفِ اللَّهِ وَفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ. 

Apakah bergantung pada amal dalam syariat adalah sesuatu yang terpuji atau tercela? Ibn Atha'illah berkata kepada kita: "Hati-hatilah, untuk meraih ridha Allah dan balasan yang dijanjikan Allah, agar kamu tidak bergantung pada amal. Dimana amal telah kamu lakukan tersebut adalah atas anugerah taufik/pertolongan (dari Allah) untukmu, seperti shalat, puasa, sedekah, dan berbagai kebaikan, Sebaliknya, bergantunglah pada kelembutan, anugerah, dan kemurahan Allah."

هَلْ هُنَالِكَ مِنْ دَلِيلٍ عَلَى هَذَا؟ نَعَمْ، إِنَّهُ حَدِيثُ رَسُولِ اللَّهِ الَّذِي رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ: «لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الجَنَّةَ عَمَلُهُ» قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَتِهِ».

Apakah ada dalil untuk ini? Ya, ada hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan perawi lainnya:  "Tidak ada seorang pun yang masuk surga karena amalannya." Para sahabat bertanya; "Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?" beliau bersabda: "Tidak juga dengan diriku, kecuali bila Allah melimpahkan rahmat-Nya padaku.”

إِذَنْ فَالعَمَلُ لَيْسَ ثَمَنًا لِدُخُولِ الجَنَّةِ، وَإِذَا كَانَ الأَمْرُ كَذَلِكَ فَالمَطْلُوبُ إِذَا وُفِّقْتَ لِأَدَاءِ الطَّاعَاتِ أَنْ تَطْمَعَ بِرِضَا اللَّهِ وَثَوَابِهِ، أَمَلًا مِنْكَ بِفَضْلِهِ وَعَفْوِهِ وَكَرَمِهِ، لَا أَجْرًا عَلَى ذَاتِ العَمَلِ الَّذِي وُفِّقْتَ إِلَيْهِ.

Jadi, amal bukanlah harga untuk masuk surga, dan jika demikian, yang diminta adalah jika engkau diberi taufik untuk melakukan ketaatan, engkau harus berharap akan keridhaan Allah dan pahala-Nya, dengan harapan akan kemurahan dan pengampunan serta kemurahan-Nya, bukan upah atas amal itu sendiri yang engkau telah diberi taufik/pertolongan untuk melakukannya.

وَهُنَا يَقُولُ: وَمِنْ أَبْرَزِ الدَّلَائِلِ عَلَى اِعْتِمَادِكَ عَلَى العَمَلِ لَا عَلَى فَضْلِ اللَّهِ، نُقْصَانُ رَجَائِكَ بِعَفْوِهِ تَعَالَى عِنْدَ تَلَبُّسِكَ بِالزَّلَلِ أَيْ عِنْدَمَا تَتَوَرَّطُ فِي المَعَاصِي وَالمُوبِقَاتِ.

Dalam hal ini, Syaikh Ibnu Atha'illah mengatakan: Salah satu bukti terbesar bahwa angkau bergantung pada amal dan bukan pada fadhilah dari Allah adalah berkurangnya harapanmu akan pengampunan-Nya ketika engkau terjerumus dalam kesalahan, yaitu ketika engkau terlibat dalam dosa dan perbuatan maksiat yang membinasakan. 

إِنَّ هَذَا يَعْنِي أَنَّكَ عِنْدَمَا كُنْتَ تَرْجُو كَرَمَ اللَّهِ وَعَطَاءَهُ إِنَّمَا كُنْتَ تَعْتَمِدُ فِي ذَلِكَ عَلَى عَمَلِكَ فَلَمَّا قَلَّ العَمَلُ وَكَثُرَتِ الذُّنُوبُ غَابَ الرَّجَاءُ! فَهَذَا هُوَ المِقْيَاسُ الدَّالُّ عَلَى أَنَّكَ إِنَّمَا تَعْتَمِدُ فِي رَجَائِكَ عَلَى عَمَلِكَ لَا عَلَى فَضْلِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَكَرَمِهِ. هَذَا هُوَ بِاخْتِصَارٍ مَعْنَى حِكْمَةِ اِبْنِ عَطَاءِ اللَّهِ رَحِمَهُ اللَّهُ.

Ini berarti bahwa ketika engkau berharap akan kemurahan dan pemberian Allah, engkau sebenarnya bergantung pada amalanmu sendiri, sehingga ketika amalan berkurang dan dosa bertambah, hilanglah harapan!!! Ini adalah ukuran yang menunjukkan bahwa engkau sebenarnya bergantung pada amalanmu dalam harapanmu, bukan pada anugerah Allah Swt. dan kemurahan-Nya. Inilah, secara ringkas, makna dari hikmah Syaikh Ibnu Atha'illah ra.

ثُمَّ إِنَّ هَذِهِ الحِكْمَةَ لَهَا بُعْدٌ هَامٌّ فِي العَقِيدَةِ، وَبُعْدٌ هَامٌّ يَتَجَلَّى فِي السُّنَّةِ.. فِي كَلَامِ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ، وَلَهَا بَعْدَ ذَلِكَ بُعْدٌ أَخْلَاقِيٌّ تَرْبَوِيٌّ، وَسَنَأْتِي عَلَى بَيَانِ ذَلِكَ كُلِّهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

Hikmah ini juga memiliki dimensi penting dalam aqidah, sunnah, dan aspek etika pendidikan. Kita akan menjelaskan semuanya, insyaAllah. 

وَلِنَعْلَمَ بِهَذِهِ المُنَاسَبَةِ أَنَّ حِكَمَ اِبْنِ عَطَاءِ اللَّهِ مُقَسَّمَةٌ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: 

القِسْمُ الأَوَّلُ مِنْهَا يَدُورُ عَلَى مِحْوَرِ التَّوْحِيدِ. 

القِسْمُ الثَّانِي يَدُورُ عَلَى مِحْوَرِ الأَخْلَاقِ. 

القِسْمُ الثَّالِثُ يَتَعَلَّقُ بِالسُّلُوكِ تَطْهِيرُ النَّفْسِ مِنَ الأَدْرَانِ. 

Pada kesempatan ini, kita perlu mengetahui bahwa hikmah Syaikh Ibnu Atha'illah terbagi menjadi tiga bagian: (1) Bagian pertama berpusat pada tauhid; (2) Bagian kedua berpusat pada akhlak; (3) Bagian ketiga berhubungan dengan suluk pensucian jiwa dari kotoran.

وَلْنَبْدَأْ بِبَيَانِ البُعْدِ الاِعْتِقَادِيِّ وَتَحْلِيلِهِ فِي هَذِهِ الحِكْمَةِ الأُولَى: يَقُولُ صَاحِبُ جَوْهَرَةِ التَّوْحِيدِ: 

Mari kita mulai dengan menjelaskan dan menganalisis dimensi aqidah dalam hikmah pertama ini! Pemilik kitab "Jauharat Tauhid" (Syeikh Ibrahim al-Laqqani wafat pada tahun 1041 H/1632 M) mengatakan: 

فإن يُثِبْنا فَبِمَحْضِ الفَضْلِ    *    وإن يعذِّبْ فبمحضِ العَدْل

هَذِهِ هِيَ العَقِيدَةُ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يَصْطَبِغَ بِهَا كُلُّ إِنْسَانٍ مُسْلِمٍ.. وَعَلَى هَذَا دَرَجَ السَّلَفُ الصَّالِحُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ. 

"Jika Allah memberi kita pahala, itu murni karena rahmat-Nya. Jika Dia mengazab, itu murni karena keadilan-Nya."  

Inilah aqidah yang harus dimiliki setiap muslim. Inilah yang diikuti oleh salafush shalih rahimahumullah. 

قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ: بَلِ الظَّاهِرُ أَنَّ الثَّوَابَ الَّذِي نَسْتَحِقُّهُ إِنَّمَا هُوَ عَلَى العَمَلِ الصَّالِحِ الَّذِي عَمِلْنَاهُ. 

Mungkin ada yang berkata: "Tampaknya pahala yang kita dapatkan adalah karena amal shalih yang kita lakukan." 

وَلَكِنَّنَا لَوْ تَأَمَّلْنَا، وَأَمْعَنَّا النَّظَرَ، فِي عَلَاقَةِ مَا بَيْنَ العَبْدِ وَرَبِّهِ، لَأَدْرَكْنَا أَنَّ الأَمْرَ لَيْسَ كَذَلِكَ. 

Namun, jika kita merenung dan meneliti hubungan antara hamba dan Tuhan, kita akan memahami bahwa perkara ini tidak demikian. 

مَا مَعْنَى قَوْلِكَ: إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا يُثِيبُنِي بِعَمَلِي؟ مَا مَعْنَى قَوْلِكَ: إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا يُثِيبُنِي بِعَمَلِي.. وَإِنَّمَا يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ بِعَمَلِي؟ مَعْنَى هَذَا الكَلَامِ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَصَدَ قِيمَةً لِلْجَنَّةِ، لَا تَتَمَثَّلُ فِي دَرَاهِمَ أَوْ فِي سِيُولَةٍ مَالِيَّةٍ، وَإِنَّمَا تَتَمَثَّلُ فِي العِبَادَاتِ وَالطَّاعَاتِ وَالاِبْتِعَادِ عَنِ المُحَرَّمَاتِ. 

فَإِنْ فَعَلْتَ الطَّاعَاتِ وَاجْتَنَبْتَ النَّوَاهِيَ، فَقَدْ بَذَلْتَ الثَّمَنَ، وَمِنْ ثَمَّ فَقَدْ أَصْبَحْتَ مُسْتَحِقًّا لِلْبِضَاعَةِ الَّتِي اِشْتَرَيْتَهَا! عِنْدَمَا تَقُولُ: إِنَّمَا أُثَابُ بِالعَمَلِ الَّذِي قَدَّمْتُهُ، فَهَذَا هُوَ مَعْنَى كَلَامِكَ.. فَهَلِ الأَمْرُ هَكَذَا فِي حَقِيقَتِهِ؟ أَيْ هَلْ إِنَّكَ عِنْدَمَا تُؤَدِّي الأَوَامِرَ الَّتِي طَلَبَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْكَ تُصْبِحُ مُسْتَحِقًّا لِلْجَنَّةِ وَمَالِكًا لَهَا بِعَرَقِ جَبِينِكَ، تَمَامًا كَمَا يَسْتَحِقُّ الَّذِي اِشْتَرَى بُضْعَ دُونُمَاتٍ مِنْ أَرْضٍ، بِقِيمَةٍ مُحَدَّدَةٍ دَفَعَهَا لِصَاحِبِهَا الَّذِي عَرَضَهَا لِلْبَيْعِ؟!

لَوْ تَأَمَّلْتَ لَرَأَيْتَ أَنَّ الأَمْرَ يَخْتَلِفُ اِخْتِلَافًا كَبِيرًا.. أَنَا عِنْدَمَا أَدْفَعُ قِيمَةَ هَذَا البُسْتَانِ نَقْدًا كَمَا طَلَبَ البَائِعُ فَأَنَا أَمْتَلِكُ بِذَلِكَ هَذَا البُسْتَانَ بِدُونِ أَيِّ مَنَّةٍ لَهُ عَلَيَّ، وَبِطَرِيقَةٍ آلِيَّةٍ يَقْضِي بِهَا القَانُونُ. وَمِنْ حَقِّي أَنْ أَقُولَ لَهُ: اُخْرُجْ مِنْ أَرْضِي فَقَدْ دَفَعْتُ لَكَ قِيمَتَهَا كَامِلَةً غَيْرَ مَنْقُوصَةٍ.

Apa maksudmu dengan mengatakan bahwa Allah memberi pahala kepadaku karena amalku? Apa maksudmu dengan mengatakan bahwa Allah memberi pahala kepadaku dan memasukkanku ke surga karena amalku? Maksud dari perkataan ini adalah bahwa Allah menetapkan nilai surga, bukan dalam bentuk uang atau finansial, melainkan dalam bentuk ibadah dan ketaatan serta menjauhi hal-hal yang dilarang.

Jika engkau melakukan ketaatan dan menjauhi larangan, berarti engkau telah membayar harga tersebut dan dengan demikian engkau berhak mendapatkan surga yang telah engkau beli! Ketika Anda berpendapat bahwa pahala diberikan karena amal yang engkau lakukan. Apakah sebenarnya seperti itu? Apakah ketika Anda melaksanakan perintah Allah, Anda berhak atas surga dengan usaha sendiri, sebagaimana orang yang membeli tanah dengan membayar harga yang ditetapkan oleh penjual?!

Jika kita merenungkan, kita akan melihat bahwa perbedaannya sangat besar. Ketika aku membayar harga tanah secara tunai seperti yang diminta oleh penjual, aku memiliki tanah tersebut tanpa ada (nilai) kebaikan bagi penjual, dan secara otomatis hukum mengakui kepemilikanku. Aku bisa berkata kepadanya: "Keluar dari tanahku karena aku telah membayarnya sepenuhnya!" 

ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ علَاقَةِ العَبْدِ مَعَ العَبْدِ. أَمَّا عِنْدَمَا يَأْمُرُكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِالطَّاعَاتِ الَّتِي أَلْزَمَكَ بِهَا، وَيَنْهَاكَ عَنِ المُحَرَّمَاتِ الَّتِي حَذَّرَكَ مِنْهَا، وَيُوَفِّقُكَ اللَّهُ فَتُؤَدِّي الوَاجِبَاتِ وَتَبْتَعِدُ عَنِ المُحَرَّمَاتِ، فَإِنَّ الأَمْرَ مُخْتَلِفٌ هُنَا بِشَكْلٍ كُلِّيٍّ. مَنْ الَّذِي أَقْدَرَكَ عَلَى الصَّلَاةِ الَّتِي أَدَّيْتَهَا؟ مَنْ الَّذِي أَقْدَرَكَ عَلَى الصَّوْمِ الَّذِي أَدَّيْتَهُ؟ مَنْ الَّذِي شَرَحَ صَدْرَكَ لِلإِيمَانِ؟ أَلَيْسَ هُوَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؟ وَصَدَقَ اللَّهُ القَائِلُ: 

Ini adalah hubungan antara hamba dengan hamba. Namun, ketika Allah memerintahkanmu untuk melakukan ketaatan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, dan Allah memberimu kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang dilarang, maka situasinya berbeda sama sekali. Siapa yang memberimu kekuatan untuk shalat yang engkau lakukan? Siapa yang memberimu kekuatan untuk puasa yang engkau lakukan? Siapa yang membuka hatimu untuk iman? Bukankah Allah Swt?! Dan Maha Benar Allah yang berfirman: 

يَمُنُّوْنَ عَلَيْكَ اَنْ اَسْلَمُوْاۗ قُلْ لَّا تَمُنُّوْا عَلَيَّ اِسْلَامَكُمْۚ بَلِ اللّٰهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ اَنْ هَدٰىكُمْ لِلْاِيْمَانِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Artinya: "Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allahlah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang-orang benar.” (Al-Hujurat [49]: 17). 

إِذَنْ هُنَالِكَ فَرْقٌ كَبِيرٌ بَيْنَ الصُّورَتَيْنِ. مَنْ الَّذِي حَبَّبَ إِلَيْكَ الإِيمَانَ وَكَرَّهَ إِلَيْكَ الكُفْرَ وَالفُسُوقَ وَالعِصْيَانَ؟ مَنْ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.. مَنْ الَّذِي شَرَحَ صَدْرَكَ وَأَقْدَرَكَ عَلَى أَنْ تَأْتِيَ إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ فَتَحْضُرَ صَلَاةَ الجَمَاعَةِ ثُمَّ تَجْلِسَ فَتَسْتَمِعَ إِلَى مَا يُقَرِّبُكَ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى؟ مَنْ؟ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.. إِذَنْ فَمَا يُخَيَّلُ إِلَيْكَ، مِنْ أَنَّ الطَّاعَةَ ثَمَنٌ دَفَعْتَهُ مِنْ مَلَكِكَ مُقَابِلَ اِمْتِلَاكِكَ لِجَنَّةِ اللَّهِ تَعَالَى قِيَاسًا عَلَى الَّذِي دَفَعَ أَقْسَاطَ الثَّمَنِ مِنْ مَالِهِ الحُرِّ لِكَيْ يَمْتَلِكَ البُسْتَانَ، قِيَاسٌ مَعَ الفَارِقِ الكَبِيرِ. 

Jadi, ada perbedaan besar antara kedua hal tersebut. Siapa yang membuatmu menyukai iman dan membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan? Siapa? Dia adalah Allah Swt. Siapa yang membuka hatimu dan memberimu kekuatan untuk datang ke rumah Allah untuk shalat berjamaah, kemudian duduk dan mendengarkan sesuatu yang mendekatkanmu kepada Allah? Siapa? Dia adalah Allah Swt. Jadi, bayanganmu bahwa ketaatan adalah harga yang engkau bayarkan dari milikmu untuk mendapatkan surga Allah adalah perbandingan yang salah besar. 

إِذَنْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَتَصَوَّرَ أَنَّكَ تَسْتَحِقُّ (تَأَمَّلُوا التَّعْبِيرَ الدَّقِيقَ الَّذِي أَسْتَعْمِلُهُ: لَا يَجُوزُ لَكَ أَنْ تَتَصَوَّرَ أَنَّكَ تَسْتَحِقُّ) جَنَّةَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَثَوَابَهُ، لِأَنَّكَ قَدَّمْتَ لَهُ مَا قَدْ طَلَبَ، وَلِأَنَّكَ قَدْ فَعَلْتَ مَا قَدْ أَوْجَبَ، وَابْتَعَدْتَ عَمَّا حَرَّمَ، لَا يَجُوزُ لَكَ أَنْ تَعْتَقِدَ هَذَا. وَلَوِ اعْتَقَدْتَ ذَلِكَ لَكَانَ نَوْعًا مِنْ أَخْطَرِ أَنْوَاعِ الشِّرْكِ. 

Oleh karena itu, engkau tidak boleh berpikir bahwa engkau berhak (renungkan kalimat yang mendalam yang saya gunakan) atas surga Allah dan pahala-Nya karena engkau telah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena engkau melaksanakan yang diwajibkan dan menjauhi apa yang diharamkan. Tidak sepantasnya engkau berkeyakinan seperti itu. Jika engkau berpikir demikian, itu adalah salah satu bentuk syirik yang paling berbahaya. 

ذَلِكَ لِأَنَّ هَذَا الاِعْتِقَادَ يَعْنِي أَنَّكَ تُؤْمِنُ بِأَنَّ صَلَاتَكَ بِقُدْرَةٍ ذَاتِيَّةٍ مِنْكَ، وَأَنَّكَ تَفَضَّلْتَ بِهَا عَلَى اللَّهِ، وَأَنَّ طَاعَتَكَ الَّتِي أَمَرَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا بِحَرَكَةٍ مِنْ كِيَانِكَ، وَكِيَانُكَ مِلْكُ ذَاتِكَ، وَقُدْرَتُكَ مِلْكُ ذَاتِكَ، فَعَمَلُكَ أَنْتَ المَالِكُ لَهُ، وَقُدْرَاتُكَ أَنْتَ مُبْدِعُهَا وَمُوجِدُهَا، وَالبَارِي لَا عَلاقَةَ لَهُ بِهَا. إِذَنْ فَكَأَنَّكَ فِيمَا تَتَخَيَّلُ قَدَّمْتَ لَهُ هَذِهِ الطَّاعَاتِ عَلَى طَبَقٍ، وَقُلْتَ: هَا هِيَ ذِي أَوَامِرُكَ قَدْ أَنْجَزْتُهَا كَمَا تُرِيدُ، بِقُدْرَةٍ وَطَاقَةٍ ذَاتِيَّةٍ مِنِّي فَأَعْطِنِي الجَنَّةَ الَّتِي وَعَدْتَنِي بِهَا. 

Ini karena keyakinan tersebut berarti engkau percaya bahwa shalatmu dilakukan dengan kemampuanmu sendiri, dan bahwa engkau telah memberikan kebaikan kepada Allah, dan bahwa ketaatanmu yang diperintahkan Allah dilakukan oleh dirimu sendiri, dan bahwa engkau menciptakan dan memiliki kemampuan tersebut, dan bahwa Allah tidak ada hubungannya dengan itu. Jadi, seolah-olah engkau telah mempersembahkan ketaatan ini kepada Allah di atas piring, dan berkata: "Ini adalah perintah-perintah-Mu yang telah aku lakukan sesuai kehendak-Mu, dengan kemampuan dan kekuatanku sendiri, maka berikanlah surga yang telah Engkau janjikan."

وَهَكَذَا تُصْبِحُ العَمَلِيَّةُ عَمَلِيَّةَ بَيْعٍ وَشِرَاءِ.. أَعْطَيْتُكَ القِيمَةَ وَمِنْ حَقِّي إِذَنْ أَنْ أُطَالِبَكَ بِالثَّمَنِ! هَلْ هَذَا هُوَ مَنْطِقُ مَا بَيْنَ العَبْدِ وَرَبِّهِ؟ أَيْنَ أَنْتَ إِذَنْ مِنْ وَاقِعِ عُبُودِيَّتِكَ لِلَّهِ؟ أَيْنَ أَنْتَ مِنَ الكَلِمَةِ القُدُسِيَّةِ الَّتِي كَانَ يُعَلِّمُهَا رَسُولُ اللَّهِ أَصْحَابَهُ: «لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»؟ أَيْنَ أَنْتَ مِنَ اليَقِينِ الإِيمَانِيِّ الَّذِي لَا رَيْبَ فِيهِ بِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هُوَ الخَالِقُ لأَفْعَالِ العِبَادِ؟ مَنْ الَّذِي يَخْلُقُ أَفْعَالَنَا نَحْنُ العِبَادَ؟ أَظُنُّ أَنَّ العَهْدَ لَمْ يَطُلْ بِنَا، فِي بَيَانِ الحَقِّ الَّذِي هُوَ عَقِيدَةُ السَّلَفِ الصَّالِحِ، وَهُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ الَّذِينَ يُمَثِّلُهُمُ الأَشَاعِرَةُ وَالمَاتُرِيدِيُّونَ.

Maka dengan demikian, prosesnya menjadi seperti jual beli: aku telah memberikan nilainya dan oleh karena itu aku berhak menuntut balasannya! Apakah ini logika antara hamba dan Tuhannya? Di mana posisimu berada dalam realitas kehambaanmu kepada Allah? Di mana engkau dari kalimat suci yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya: "لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ (Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung)? Di mana engkau dari keyakinan iman yang tak diragukan lagi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Pencipta segala amal perbuatan hamba (وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ/QS. Ash-Shaffat 96)? Siapa yang menciptakan amal perbuatan kita sebagai hamba? Kurasa tidak lama kita akan memahami kebenaran yang merupakan aqidah salafush shalih, yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah yang diwakili oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah. 

إِذَنْ فَأَنَا عِنْدَمَا أَحْمَدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِلِسَانِي؛ يَنْبَغِي أَنْ أَشْكُرَ اللَّهَ عَلَى أَنَّ حَرَّكَ لِسَانِي بِهَذَا الحَمْدِ.. وَإِذَا قُمْتُ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لأُصَلِّي، يَنْبَغِي أَنْ أُثْنِيَ عَلَى اللَّهِ أَنَّهُ وَفَّقَنِي لِلْقِيَامِ بَيْنَ يَدَيْهِ.. لَوْلَا حُبُّهُ لِي، لَوْلَا عِنَايَتُهُ بِي، لَوْلَا لُطْفُهُ بِي، لَغَرِقْتُ فِي الرُّقَادِ، وَلَمَا أَكْرَمَنِي بِهَذَا الوُقُوفِ بَيْنَ يَدَيْهِ.

وَلَقَدْ حَدَّثْتُكُمْ مَرَّةً بِقِصَّةِ فَتَاةٍ صَالِحَةٍ كَانَ تَخْدُمُ فِي أُسْرَةٍ، وَذَاتَ لَيْلَةٍ قَامَ رَبُّ الأُسْرَةِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَرَأَى الفَتَاةَ تُصَلِّي فِي زَاوِيَةٍ مِنَ البَيْتِ، وَسَمِعَهَا تَقُولُ وَهِيَ سَاجِدَةٌ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحُبِّكَ لِي أَنْ تُسْعِدَنِي.. أَنْ تُعَافِيَنِي أَنْ تُكْرِمَنِي.. إِلَى آخِرِ مَا كَانَتْ تَدْعُو بِهِ. اِسْتَعْظَمَ الرَّجُلُ صَاحِبُ البَيْتِ كَلَامَهَا هَذَا، وَانْتَظَرَهَا حَتَّى إِذَا سَلَّمَتْ مِنْ صَلَاتِهَا، أَقْبَلَ فَقَالَ لَهَا: مَا هَذَا الدَّلَالُ عَلَى اللَّهِ؟! قُولِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحُبِّي لَكَ أَنْ تُسْعِدَنِي وَأَنْ تُكْرِمَنِي وَأَنْ... قَالَتْ لَهُ: يَا سَيِّدِي لَوْلَا حُبُّهُ لِي لَمَا أَيْقَظَنِي فِي هَذِهِ السَّاعَةِ، وَلَوْلَا حُبُّهُ لِي لَمَا أَوْقَفَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ، وَلَوْلَا حُبُّهُ لِي لَمَا أَنْطَقَنِي بِهَذِهِ النَّجْوَى.


Jadi, ketika saya memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lidah saya, saya harus bersyukur kepada Allah karena telah menggerakkan lidah saya untuk memuji-Nya. Dan ketika saya bangun dari tengah malam untuk sholat, saya harus memuji Allah karena telah memberi saya taufik untuk berdiri di hadapan-Nya. Jika bukan karena cinta-Nya kepada saya, jika bukan karena perhatian-Nya kepada saya, jika bukan karena kelembutan-Nya kepada saya, saya akan tenggelam dalam tidur dan tidak akan diberi kehormatan untuk berdiri di hadapan-Nya.

Aku pernah bercerita kepada kalian tentang seorang gadis salehah yang bekerja di sebuah keluarga. Suatu malam, kepala keluarga bangun di tengah malam dan melihat gadis itu shalat di sudut rumah, dan mendengarnya berkata sambil sujud: 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar Engkau memberiku kebahagiaan, menyembuhkanku, memuliakanku.' Kepala keluarga itu terkejut dengan ucapannya dan menunggunya hingga selesai shalat, lalu bertanya kepadanya: 'Apa maksudmu dengan pernyataan itu kepada Allah? Katakanlah: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu agar Engkau memberiku kebahagiaan, menyembuhkanku, dan memuliakanku.' Gadis itu menjawab: 'Tuan, jika bukan karena cinta-Nya kepadaku, Dia tidak akan membangunkanku pada jam ini, jika bukan karena cinta-Nya kepadaku, Dia tidak akan membuatku berdiri di hadapan-Nya, dan jika bukan karena cinta-Nya kepadaku, Dia tidak akan membuatku mengucapkan doa ini.'

لاحِظُوا أَيُّهَا الإِخْوَةُ: هَذَا هُوَ التَّوْحِيدُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَصْطَبِغَ بِهِ كُلُّ مِنَّا، كَيْفَ تَمْتَنُّ عَلَى اللَّهِ بِصَلَاتِكَ وَهُوَ الَّذِي وَفَّقَكَ إِلَيْهَا؟! فَهَذَا هُوَ المَبْدَأُ الَّذِي عَنَاهُ صَاحِبُ جَوْهَرَةِ التَّوْحِيدِ وَكُلُّ عُلَمَاءِ العَقِيدَةِ عِنْدَمَا قَالُوا: «فَإِنْ يَثِبْنَا فَبِمَحْضِ الفَضْلِ» ثُمَّ قَالُوا: «وَإِنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ العَدْلِ». 

Perhatikanlah, saudara-saudaraku: inilah tauhid yang seharusnya dimiliki oleh kita semua. Bagaimana mungkin kita mengandalkan shalat kita kepada Allah padahal Dia yang memberi kita kemampuan untuk melakukannya? Inilah prinsip yang dimaksud oleh pemilik Jawharat al-Tawhid (Syeikh Ibrahim al-Laqqani, wafat pada tahun 1041 H/1632 M) dan semua ulama akidah ketika mereka mengatakan: 'Jika Dia memberi kita pahala, itu murni karena kemurahan-Nya,' dan 'Jika Dia menghukum kita, itu murni karena keadilan-Nya.'

قَدْ يَخْطُرُ هُنَا فِي البَالِ السُّؤَالُ التَّالِي: إِذَا كَانَ الأَمْرُ كَذَلِكَ، فَمَا مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32}، وَلَقَدْ كَرَّرَ اللَّهُ تَعَالَى هَذَا الكَلَامَ كَثِيرًا فِي بَيَانِهِ القَدِيمِ؟ وَأَقُولُ لَكُمْ فِي الجَوَابِ مَا يَزِيدُكُمْ حُبًّا لِلَّهِ، وَيَزِيدُكُمْ اِنْغِمَاسًا فِي مَشَاعِرِ العُبُودِيَّةِ لَهُ:

Mungkin ada pertanyaan yang muncul di pikiran: Jika demikian, apa arti dari firman Allah Azza wa Jalla: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ/Masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan} [Al-Nahl: 16/32]? Allah mengulangi hal ini banyak kali dalam firman-Nya. Dan aku katakan kepada kalian sebagai jawaban yang akan menambah kecintaan kalian kepada Allah, dan menambah kalian tenggelam dalam perasaan penghambaan kepada-Nya:

إِنَّ هَذَا الكَلَامَ قَرَارٌ مِنْ طَرَفٍ وَاحِدٍ هُوَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، لَا مِنْ طَرَفَيْنِ مُتَعَاقِدَيْنِ. يُوَفِّقُكَ اللَّهُ لِلْعَمَلِ، وَيُلْهِمُكَ السَّدَادَ، وَتَجْأَرُ عَلَى بَابِهِ بِالدُّعَاءِ: تَقُولُ:

Sesungguhnya pernyataan ini adalah keputusan dari satu pihak, yaitu Allah Azza wa Jalla, bukan dari dua pihak yang berkontrak. Allah memberi kalian kemampuan untuk berbuat, mengilhami kalian untuk berbuat baik, dan kalian berdoa kepada-Nya: 

اللَّهُمَّ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ لِي إِلَّا بِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، تَصْرِفُهَا كَمَا تَشَاءُ، فَخُذْ بِهَا إِلَى طَرِيقِ السَّعَادَةِ وَالرَّشَادِ. 

“Ya Allah, tidak ada daya dan kekuatan bagiku kecuali dengan-Mu, ubun-ubunku ada di tangan-Mu, Engkau mengaturnya sebagaimana yang Engkau kehendaki, maka bimbinglah aku ke jalan kebahagiaan dan petunjuk.”

 فَيَسْتَجِيبُ اللَّهُ دُعَاءَكَ، وَيَشْرَحُ صَدْرَكَ لِلْخَيْرِ، وَيُوَفِّقُكَ لِلْعَمَلِ الصَّالِحِ، ثُمَّ يَقُولُ لَكَ يَوْمَ القِيَامَةِ: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32}، فَهَلْ هَذَا الكَلَامُ مِنْهُ عَزَّ وَجَلَّ يَعْنِي تَنْفِيذًا لِعَقْدٍ رِضَائِيٍّ جَرَى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ، كَالعَقْدِ الَّذِي يَكُونُ بَيْنَ البَائِعِ وَالمُشْتَرِي؟! ..

Allah mengabulkan doa kalian, melapangkan dada kalian untuk berbuat baik, dan memberi kalian kemampuan untuk beramal saleh, lalu berkata pada Hari Kiamat: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ/Masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan} [Al-Nahl: 16/32]. Apakah pernyataan ini dari Allah Azza wa Jalla berarti pelaksanaan kontrak kesepakatan antara kalian dengan-Nya, seperti kontrak antara penjual dan pembeli? 

لَا، مَعَاذَ اللَّهِ. إِنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَمَا جَعَلَ عَمَلَكَ سَبَبًا لِدُخُولِ الجَنَّةِ إِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ تَفَضُّلًا مِنْهُ وَإِحْسَانًا. 

Tidak, tentu tidak Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla ketika menjadikan amal kalian sebagai sebab masuk surga, itu hanya karena kemurahan dan kebaikan-Nya.

وَلَوْ أَنَّكَ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَتَصَوَّرَ أَنَّ المَسْأَلَةَ بَيْنَ اللَّهِ وَعِبَادِهِ مُعَاوَضَةُ حَقٍّ بِحَقٍّ، وَحَمَلْتَ هَذِهِ الدَّعْوَى مَعَكَ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، قَائِلًا لِلَّهِ تَعَالَى: إِنَّنِي أَسْتَحِقُّ الجَنَّةَ وَالخُلُودَ فِيهَا بِأَعْمَالِي المَطْلُوبَةِ الَّتِي أَنْجَزْتُهَا، وَشَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ - بِنَاءً عَلَى دَعْوَاكَ هَذِهِ - أَنْ يَجُرَّكَ إِلَى الحِسَابِ الدَّقِيقِ، لَنْ يَبْقَى لَكَ عِنْدَئِذٍ أَيُّ حَقٍّ مِمَّا تَدَّعِيهِ. وَلَسَوْفَ يَضْمَحِلُّ ذَلِكَ كُلُّهُ تَحْتَ سُلْطَانِ عُبُودِيَّتِكَ لِلَّهِ وَافْتِقَارِكَ إِلَى عَوْنِهِ وَتَوْفِيقِهِ. 

Jika kalian bersikeras untuk menganggap bahwa masalah antara Allah dan hamba-Nya adalah pertukaran hak dengan hak, dan kalian membawa klaim ini pada Hari Kiamat, mengatakan kepada Allah Ta'ala: 'Aku berhak masuk surga dan tinggal di dalamnya karena amalan-amalan yang telah kulakukan,' dan Allah Ta'ala menghendaki -berdasarkan klaim kalian ini- untuk menguji kalian dengan perhitungan yang sangat rinci, maka tidak akan tersisa bagi kalian hak apapun dari klaim kalian tersebut. Semua itu akan lenyap di bawah kekuasaan penghambaan kalian kepada Allah dan kefakiran kalian akan bantuan dan taufik-Nya. 

وَلَعَلَّ أَقْرَبَ مِثَالٍ إِلَى مَا أَقُولُ مَا يَنْهَجُهُ الوَالِدُ مَعَ ابْنِهِ عِنْدَمَا يُشَجِّعُهُ عَلَى الكَرَمِ وَعَمَلِ الخَيْرِ، يَقُولُ لِابْنِهِ: إِنْ أَعْطَيْتَ ذَلِكَ الفَقِيرَ مَبْلَغًا مِنَ المَالِ فَلَسَوْفَ أُكْرِمُكَ بِهَدِيَّةٍ، وَيَأْتِي الأَبُ بِالمَالِ فَيَضَعُهُ خُفْيَةً فِي جَيْبِ الطِّفْلِ، وَيَسْتَجِيبُ الوَلَدُ لِطَلَبِ أَبِيهِ مُتَأَمِّلًا مَا وَعَدَهُ بِهِ مِنَ الإِكْرَامِ، فَيُعْطِي الفَقِيرَ مَبْلَغًا مِنَ المَالِ الَّذِي دَسَّهُ وَالِدُهُ فِي جَيْبِهِ. فَيَسْتَبْشِرُ وَالِدُهُ بِذَلِكَ، وَيُعَبِّرُ عَنْ إِعْجَابِهِ بِالكَرَمِ الَّذِي اتَّصَفَ ابْنُهُ بِهِ، قَائِلًا: لَقَدْ قُمْتَ بِعَمَلٍ إِنْسَانِيٍّ عَظِيمٍ، وَلَا شَكَّ أَنَّكَ تَسْتَحِقُّ بِذَلِكَ أَجْرًا كَبِيرًا وَمَثُوبَةً عُظْمَى.

Contoh yang paling dekat dengan apa yang kukatakan adalah apa yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya ketika mendorongnya untuk bersedekah dan berbuat baik. Sang ayah berkata kepada anaknya: 'Jika engkau memberikan sejumlah uang kepada orang miskin, aku akan memberimu hadiah.' Ayah itu kemudian diam-diam meletakkan uang di saku anaknya, dan anak itu, dengan harapan mendapatkan hadiah yang dijanjikan oleh ayahnya, memberikan uang tersebut kepada orang miskin. Sang ayah pun senang dengan itu dan mengungkapkan kekagumannya terhadap kemurahan hati anaknya, berkata: 'Engkau telah melakukan perbuatan yang sangat baik, tidak diragukan lagi bahwa engkau pantas mendapatkan hadiah yang besar dan pahala yang besar.' 

مِنَ الواضِحِ أَنَّ هَذَا عَمَلٌ تَرْبَوِيٌّ لَبِقٌ يَأْخُذُ بِهِ الوَالِدُ ابْنَهُ. وَلَا رَيْبَ أَنَّ الوَلَدَ سَيَعْلَمُ فِيمَا بَعْدُ، أَنَّ المَالَ الَّذِي كَانَ فِي جَيْبِهِ إِنَّمَا هُوَ مَالُ أَبِيهِ، وَأَنَّ الإِكْرَامَ الَّذِي تَلَقَّاهُ مِنْهُ بِاسْمِ المُكَافَأَةِ وَالمُجَازَاةِ عَلَى عَمَلِهِ الطَّيِّبِ، إِنَّمَا هُوَ لَوْنٌ مِنَ التَّحَبُّبِ إِلَيْهِ ابْتِغَاءَ دَفْعِهِ إِلَى مَزِيدٍ مِنْ هَذَا العَمَلِ الإِنْسَانِيِّ الجَمِيلِ. فَقَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32} لَيْسَ إِلَّا مِنْ هَذَا القَبِيلِ. 

Jelas sekali bahwa ini adalah tindakan pendidikan yang bijaksana yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Tidak diragukan lagi bahwa sang anak akan tahu kemudian bahwa uang yang ada di sakunya sebenarnya adalah uang ayahnya, dan hadiah yang diterimanya atas nama penghargaan dan imbalan atas perbuatan baiknya adalah bentuk kasih sayang dari ayahnya untuk mendorongnya lebih banyak melakukan perbuatan baik. 

Demikian juga firman Allah Azza wa Jalla: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ/Masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan} [Al-Nahl: 16/32] tidak lain hanyalah seperti itu. 

وَرَدَ فِي أَكْثَرَ مِنْ خَبَرٍ أَنَّ أَحَدَ عِبَادِ اللَّهِ تَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ القِيَامَةِ: يَا رَبِّ حَاسِبْنِي بِعَدْلِكَ وَبِمَا أَسْتَحِقُّ، فَأَنَا عِشْتُ حَيَاتِي الدُّنْيَوِيَّةَ كُلَّهَا لَمْ أَعْصِكَ يَوْمًا قَطُّ. فَيُذَكِّرُهُ اللَّهُ بِنِعْمَةِ عَيْنَيْهِ البَاصِرَتَيْنِ الَّتَيْنِ مَتَّعَهُ اللَّهُ بِهِمَا، هَلْ أَدَّيْتَ شُكْرَ هَذِهِ العَيْنِ؟ وَيُوضَعُ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ فِي كَفَّةٍ، وَتُوضَعُ كَافَّةُ طَاعَاتِهِ وَقُرُبَاتِهِ فِي الكَفَّةِ الأُخْرَى، فَتَرْجَحُ كَفَّةُ الفَضْلِ الإِلَهِيِّ عَلَى كَفَّةِ الطَّاعَاتِ وَالقُرُبَاتِ الَّتِي أَقْدَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهَا. 

Disebutkan dalam beberapa hadis bahwa salah satu hamba Allah berkata pada Hari Kiamat: 'Ya Tuhan, perhitungkan aku dengan keadilan-Mu dan apa yang aku layak dapatkan, karena aku menjalani seluruh hidupku di dunia tanpa pernah mendurhakai-Mu sekalipun.' Allah mengingatkannya akan nikmat kedua matanya yang diberikan oleh Allah kepadanya. Apakah engkau telah mensyukuri nikmat mata ini? Keutamaan Allah dalam hal itu ditempatkan dalam satu timbangan, dan semua ketaatan dan amal salehnya ditempatkan dalam timbangan yang lain. Ternyata timbangan keutamaan ilahi lebih berat daripada timbangan ketaatan dan amal saleh yang telah Allah beri kekuatan kepadanya. 

لَوْ أَنَّكَ نَظَرْتَ إِلَى نِعَمِ اللَّهِ الَّتِي عِشْتَ حَيَاتَكَ الدُّنْيَوِيَّةَ تَتَقَلَّبُ فِيهَا لَرَأَيْتَ أَنَّ لَحْظَةً وَاحِدَةً مِنْ لَحَظَاتِ تَمَتُّعِكَ بِهَذِهِ النِّعَمِ أَكْثَرُ وَأَطَمُّ مِنْ كُلِّ طَاعَاتِكَ الَّتِي قُمْتَ بِهَا.. أَنْتَ عَبْدٌ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، بِقُدْرَتِهِ تُطِيعُهُ، بِرَحْمَتِهِ تَسِيرُ إِلَيْهِ، بِرَحْمَتِهِ بِكَ تَتَقَرَّبُ إِلَيْهِ، إِنَّنِي لَأَقُولُ كَمَا كَانَ يَقُولُ وَالِدِي رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي بَعْضِ أَدْعِيَتِهِ: 

Jika engkau melihat nikmat-nikmat Allah yang engkau nikmati sepanjang hidupmu, engkau akan melihat bahwa satu saat dari kenikmatan nikmat-nikmat ini lebih besar dan lebih berat daripada semua ketaatan yang telah engkau lakukan. Engkau adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan kekuasaan-Nya engkau taat kepada-Nya, dengan rahmat-Nya engkau berjalan menuju-Nya, dengan rahmat-Nya engkau mendekat kepada-Nya. Aku berkata seperti yang dikatakan oleh ayahku, semoga Allah merahmatinya, dalam beberapa doanya: 

يَا رَبِّ إِنِّي أَشْكُرُكَ وَلَكِنَّكَ أَنْتَ الَّذِي تُلْهِمُنِي شُكْرِي لَكَ، فَشُكْرِي لَكَ يَحْتَاجُ إِلَى أَنْ أَشْكُرَكَ عَلَى أَنْ وَفَّقْتَنِي لِهَذَا الشُّكْرِ، وَعِنْدَئِذٍ يَتَسَلْسَلُ الأَمْرُ، فَأَنْتَ الخَالِقُ لِكُلِّ شَيْءٍ وَأَنْتَ اللَّطِيفُ بِي فِي كُلِّ الأَحْوَالِ.

'Ya Tuhan, aku bersyukur kepada-Mu tetapi Engkau yang mengilhamkan aku untuk bersyukur kepada-Mu, maka syukurku kepada-Mu membutuhkan syukur kepada-Mu karena Engkau telah memberiku ilham untuk bersyukur, maka urusan ini terus berlanjut, Engkau adalah pencipta segala sesuatu dan Engkau yang lembut kepadaku dalam segala keadaan.' 

إِذَنْ فَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32} قَرَارٌ مِنْ طَرَفٍ وَاحِدٍ. أَمَّا نَحْنُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَعْلَمَ أَنَّنَا نَدْخُلُ الجَنَّةَ بِمَحْضِ التَّفَضُّلِ مِنْهُ عَزَّ وَجَلَّ.. تُؤَدِّي مَا قَدْ كَلَّفَكَ بِهِ بِشُعُورِ الحَقِّ المُتَرَتِّبِ عَلَيْكَ، حَتَّى إِذَا فَعَلْتَ مَا قَدْ أَمَرَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ وَأَنْجَزْتَهُ عَلَى النَّحْوِ المَطْلُوبِ، يَنْبَغِي أَنْ تَعْلَمَ أَنَّكَ تَسْعَى إِلَى كَرَمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مُجَرَّدًا مِنْ أَيِّ اسْتِحْقَاقٍ لِذَلِكَ، لَيْسَ مَعَكَ إِلَّا الطَّمَعُ بِرَحْمَتِهِ وَصَفْحِهِ. رَأَى بَعْضُ الصَّالِحِينَ فِي مَنَامِهِ رَجُلًا مِنَ الرَّبَّانِيِّينَ بَعْدَ وَفَاتِهِ، فَقَالَ لَهُ -وَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ مُتَوَفًّى-: مَا فَعَلَ اللَّهُ بِكَ؟ قَالَ: أَوْقَفَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَقَالَ: بِمَ جِئْتَنِي؟ فَقُلْتُ: 

Jadi firman Allah Ta'ala: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ/Masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan} [Al-Nahl: 16/32] adalah keputusan dari satu pihak. 

Adapun kita, kita harus menyadari bahwa kita masuk surga semata-mata karena kemurahan-Nya. Engkau melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan kepadamu dengan perasaan kewajiban yang harus engkau penuhi. Ketika engkau melaksanakan apa yang Allah Ta'ala perintahkan dan menyelesaikannya dengan cara yang tepat, engkau harus menyadari bahwa engkau mencari kemurahan Allah Ta'ala tanpa merasa berhak mendapatkannya, tidak ada yang engkau andalkan kecuali harapan akan rahmat dan pengampunan-Nya. Seorang saleh bermimpi bertemu dengan seorang alim setelah wafatnya. Dia bertanya: "Apa yang Allah lakukan padamu?" Orang alim itu menjawab: "Allah menempatkanku di hadapan-Nya dan bertanya: 'Dengan apa engkau datang kepada-Ku?' Aku menjawab: 

يَا رَبِّ أَنَا عَبْدٌ، وَالعَبْدُ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا يَأْتِي بِهِ إِلَى سَيِّدِهِ، جِئْتُكَ بِالطَّمَعِ بِعَفْوِكَ وَالأَمَلِ فِي كَرَمِكَ.

'Ya Rabb, aku adalah hamba, hamba tidak memiliki apapun untuk dibawa kepada Tuannya. Aku datang dengan berharap pada ampunan-Mu dan berharap pada kemurahan-Mu.'"

أَرَأَيْتَ إِلَى مَنْطِقِ العُبُودِيَّةِ؟ هَكَذَا يَكُونُ القُدُومُ غَدًا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Bukankah engkau melihat logika kehambaan ini? Beginilah cara kita akan menghadap Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti. 

مَنْ لَمْ يُدْرِكْ ذَلِكَ اليَوْمَ، فَلَسَوْفَ يُدْرِكُهُ غَدًا. وَهَذَا مَا قَدْ قَرَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ فِي الحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ البُخَارِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَمِنْ حَدِيثِ السَّيِّدَةِ عَائِشَةَ وَحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الجَنَّةَ عَمَلُهُ، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَتِهِ». وَلْنُلَاحِظْ هُنَا دِقَّةَ كَلَامِ رَسُولِ اللَّهِ فِي التَّعْبِيرِ عَنِ المَعْنَى الَّذِي بَسَطْنَاهُ وَأَوْضَحْنَاهُ. فَهُوَ لَمْ يَقُلْ (لَنْ يَدْخُلَ أَحَدُكُمُ الجَنَّةَ بِعَمَلِهِ) لَوْ قَالَ ذَلِكَ، إِذَنْ لَجَاءَ كَلَامُهُ مُنَاقِضًا لِلْقُرْآنِ الَّذِي يُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِهِ فِي الجَنَّةِ بِأَعْمَالِهِمْ، وَذَلِكَ فِي مِثْلِ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32}، وَإِنَّمَا قَالَ: «لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الجَنَّةَ عَمَلُهُ» أَيْ إِنَّ اعْتِمَادَكَ عَلَى العَمَلِ مُسْتَقِلًّا عَنْ عَفْوِ اللَّهِ وَصَفْحِهِ، وَعَنْ مُسَامَحَتِهِ وَكَرَمِهِ، سَيُخَيِّبُ آمالَكَ وَلَنْ يُحَقِّقَ لَكَ شَيْئًا مِنْ أَحْلَامِكَ. ذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الَّذِي جَعَلَ عَمَلَكَ البَخْسَ، طَرِيقًا إِلَى مَغْفِرَتِهِ وَجَنَّتِهِ. وَالبَاءُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32} إِنَّمَا سَاقَتْهَا فَرَبَطَتْهَا بِالْعَمَلِ، رَحْمَةُ اللَّهِ، كَرَمُ اللَّهِ، سَعَةُ عَفْوِ اللَّهِ، لَا اسْتِحْقَاقُكَ أَنْتَ أَيُّهَا العَبْدُ أَيًّا كُنْتَ وَأَيًّا كَانَ شَأْنُكَ وَمُسْتَوَاكَ. 

Barang siapa yang tidak memahaminya hari ini, dia akan memahaminya nanti. Ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, dari Aisyah, dan dari Abu Sa'id al-Khudri: "Tidak ada seorangpun di antara kalian yang amalnya dapat memasukkannya ke dalam surga." Mereka bertanya: "Apakah engkau juga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Tidak, aku juga, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat-Nya." Di sini kita perhatikan ketepatan perkataan Rasulullah dalam mengungkapkan makna yang telah kami jelaskan. Beliau tidak mengatakan, "Tidak seorang pun dari kalian akan masuk surga karena amalnya," karena jika beliau mengatakan demikian, maka ucapannya akan bertentangan dengan Al-Qur'an yang menyatakan bahwa Allah memasukkan hamba-hamba-Nya yang saleh ke dalam surga karena amal mereka, seperti firman-Nya: { ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ/ Masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan } { An-Nahl: 16/32 }. Namun beliau mengatakan: "Amal tidak akan memasukkan salah satu dari kalian ke dalam surga." Artinya, bergantung pada amal secara mandiri, terlepas dari ampunan dan kemurahan Allah, akan mengecewakan harapanmu dan tidak akan mewujudkan impianmu. Sebab, Allah adalah yang menjadikan amalmu yang kecil itu sebagai jalan menuju ampunan dan surga-Nya. Huruf "bi" dalam firman Allah { ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ } { An-Nahl: 16/32 } diikatkan oleh rahmat Allah, kemurahan Allah, dan kelapangan ampunan Allah, bukan karena kelayakanmu, wahai hamba, siapapun dirimu dan bagaimanapun keadaanmu.

وَانْظُرْ إِلَى مِثَالِ تَصَدُّقِ أَحَدِنَا بِشَيْءٍ مِنَ المَالِ عَلَى فَقِيرٍ، وَتَأَمَّلْ كَيْفَ يَتَجَلَّى سَائِقُ الرَّحْمَةِ الإِلَهِيَّةِ وَالمَغْفِرَةِ الرَّبَّانِيَّةِ لِلْبَاءِ الَّتِي دَخَلَتْ دُخُولَ السَّبَبِيَّةِ عَلَى العَمَلِ: مِنَ المَعْلُومِ أَنَّ المَالَ مَالُ اللَّهِ، وَلَيْسَ لَهُ مِنْ مَالِكٍ حَقِيقِيٍّ إِلَّا هُوَ. أَلَمْ يَقُلْ: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32} ثُمَّ إِنَّهُ يُخَاطِبُنَا قَائِلًا: {بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {النحل: 16/32} يُعْطِيكَ مِنْ مَالِهِ، ثُمَّ يَفْتَرِضُ أَنَّكَ أَنْتَ المَالِكُ الحَقِيقِيُّ لَهُ، وَيُقِيمُ ذَاتَهُ العَلِيَّةَ مَقَامَ المُقْتَرِضِ مِنْكَ، قَائِلًا: أَتُقْرِضُنِي شَيْئًا مِنْ مَالِكَ هَذَا، إِذَنْ أَعِدُكَ أَنَّنِي سَأُعِيدُهُ إِلَيْكَ أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً!

Perhatikan contoh seseorang dari kita yang bersedekah dengan sebagian harta kepada orang miskin, dan renungkan bagaimana rahmat ilahi dan ampunan-Nya terkait dengan amal: diketahui bahwa harta itu milik Allah, dan tidak ada pemilik sebenarnya selain Dia. Apakah Dia tidak mengatakan: { ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ / Masuklah ke surga karena apa yang telah kamu kerjakan } { An-Nahl: 16/32 } kemudian Dia mengatakan kepada kita: { .. بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} {An-Nahl: 16/32} Dia memberimu dari harta-Nya, kemudian menganggapmu sebagai pemilik sebenarnya, dan menempatkan diri-Nya sebagai yang meminjam darimu, seraya berkata: Apakah engkau meminjamkan sesuatu dari hartamu ini kepadaku, maka Aku akan mengembalikannya kepadamu berkali-kali lipat.

فَهَلْ تُصَدِّقُ يَا هَذَا أَنَّكَ أَنْتَ المَالِكُ حَقًّا، وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ إِلَّا مُحْتَاجًا إِلَيْكَ وَمُقْتَرِضًا مِنْكَ؟! أَفَيُمْكِنُ أَنْ يَبْلُغَ مِنْكَ السُّكْرُ بِهَذَا الأُسْلُوبِ الرَّبَّانِيِّ المُتَفَضِّلِ الوَدُودِ، أَنْ تَذْهَلَ عَنِ الحَقِيقَةِ وَأَنْ تُصَدِّقَ أَنَّكَ أَنْتَ المَالِكُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ المُقْتَرِضُ، ثُمَّ أَنْ تَزْعَمَ بِأَنَّ لَكَ أَنْ تُطَالِبَ اللَّهَ بِمَا أَقْرَضْتَهُ إِيَّاهُ، مُضَافًا إِلَيْهِ الفَوَائِدَ الَّتِي تَعَاقَدْتَ مَعَهُ عَلَيْهَا؟!

Apakah engkau percaya bahwa engkau adalah pemilik sebenarnya, dan bahwa Allah hanya membutuhkanmu dan meminjam darimu? Apakah engkau bisa sampai pada keadaan ini dengan cara Allah yang mulia dan penyayang, sehingga engkau lupa akan kebenaran dan percaya bahwa engkau adalah pemilik dan Allah adalah yang meminjam, kemudian engkau mengklaim bahwa engkau memiliki hak untuk menuntut Allah atas apa yang engkau pinjamkan kepada-Nya, ditambah dengan keuntungan yang engkau sepakati dengan-Nya? 

إِنْ كُنْتَ تَتَصَوَّرُ هَذَا، وَتَنْسَى أَنَّ بَاءَ السَّبَبِيَّةِ هُنَا إِنَّمَا سَاقَهَا اللُّطْفُ الإِلَهِيُّ، فَأَنْتَ مَجْنُونٌ بِكُلِّ جَدَارَةٍ!

Jika engkau berpikir demikian, dan lupa bahwa "bi" di sini adalah sebab dari kelembutan ilahi, maka engkau benar-benar gila! 

إِذَنْ فَقَدْ أَدْرَكْنَا وَتَذَوَّقْنَا مَعْنَى كَلَامِ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ: «لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الجَنَّةَ عَمَلُهُ..» إِلَى آخِرِ الحَدِيثِ. 

Oleh karena itu, kita telah memahami dan merasakan makna perkataan Rasulullah: "Amalnya, Tidak akan memasukkan salah satu dari kalian ke dalam surga." 

FGD 2, Sabtu Pahing 3 Agustus 2024

وَلَكِنْ فَلْنَتَسَاءَلْ: هَلْ مِنْ تَعَارُضٍ بَيْنَ أَنْ يَعِدَكَ اللَّهُ دُخُولَ الجَنَّةِ بِرَحْمَتِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَأْمُرَكَ فِي الوَقْتِ ذَاتِهِ بِعِبَادَتِهِ؟ 

Tetapi mari kita bertanya: "Apakah ada pertentangan antara Allah menjanjikanmu masuk surga dengan rahmat-Nya dan memerintahkanmu pada waktu yang sama untuk beribadah kepada-Nya?"

لَا تَعَارُضَ، لِأَنَّ العِبَادَةَ حَقٌّ لِلَّهِ عَلَيْكَ بِوَصْفِ كَوْنِكَ عَبْدًا لَهُ، وَالجَنَّةُ منْحَةٌ وَعَطِيَّةٌ مِنَ اللَّهِ لَكَ، بِوَصْفِ كَوْنِهِ رَحِيمًا بِكَ وَغَفُورًا لَكَ. وَقَدْ قَضَى بِسَابِقِ حُكْمِهِ أَنْ يَكُونَ أَوْلَى النَّاسِ بِرَحْمَتِهِ أَكْثَرَهُمْ أَدَاءً لِحُقُوقِهِ. وَقَدْ أَعْلَنَ عَنْ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍۗ فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ} { الاعراف: 7/156} 

Tidak ada pertentangan, karena ibadah adalah hak Allah atasmu sebagai hamba-Nya, dan surga adalah anugerah dari Allah untukmu karena Dia penyayang dan pengampun. Dan telah ditentukan dengan keputusan-Nya sebelumnya bahwa yang paling berhak atas rahmat-Nya adalah yang paling banyak menunaikan hak-hak-Nya. Dan Dia mengumumkan hal ini dengan firman-Nya: { فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ} Akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa  (Al-A'raf 156 }.

وَلَا يَقُولَنَّ قَائِلٌ: مَا حَاجَتِي إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ وَصَفْحِهِ إِنْ كُنْتُ مُؤْمِنًا مُتَّقِيًا؟ لِأَنَّ الإِيمَانَ وَالتَّقْوَى لَيْسَ شَيْءٌ مِنْهُمَا قِيمَةً لِعَطَاءٍ تَنَالُهُ، وَإِنَّمَا هُوَ حَقٌّ مُتَرَتِّبٌ لِلَّهِ عَلَيْكَ. فَإِذَا أَدَّيْتَ الحَقَّ الَّذِي لَهُ فِي عُنُقِكَ، فَلَيْسَ لَكَ عِنْدَهُ بِمُقَابِلِ ذَلِكَ شَيْءٌ، وَكُلُّ مَا يَنَالُكَ مِنْهُ تَفَضُّلٌ وَرَحْمَةٌ وَصَفْحٌ. 

Jangan ada yang berkata: "Apa gunanya rahmat dan ampunan Allah jika aku beriman dan bertakwa?" Karena iman dan ketakwaan bukanlah sesuatu yang memiliki nilai untuk pemberian yang kamu peroleh, tetapi itu adalah hak yang terkait untuk Allah atasmu. Jika engkau menunaikan hak Allah yang ada di lehermu, maka tidak ada yang berhak engkau dapatkan dari Allah sebagai balasan, dan semua yang engkau terima dari-Nya adalah anugerah, rahmat, dan ampunan.

وَالْآنَ، نَعُودُ إِلَى كَلَامِ ابْنِ عَطَاءِ اللَّهِ، لِنَقِفَ عَلَى نُقْطَةٍ هَامَّةٍ يُحَذِّرُنَا مِنْهَا: ((مِنْ عَلَامَةِ الاعْتِمَادِ عَلَى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَّلَلِ)). 

Sekarang, mari kita kembali pada perkataan Syaikh Ibnu Athaillah untuk memperhatikan satu poin penting yang beliau ingatkan: "Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan ketika melakukan kesalahan."

أَيْ إِنَّ مِنْ أَخْطَرِ نَتَائِجِ اعْتِمَادِكَ فِي مَثُوبَةِ اللَّهِ عَلَى العَمَلِ، نُقْصَانَ رَجَائِكَ بِعَفْوِهِ عِنْدَمَا تَتَوَرَّطُ فِي الزَّلَلِ وَالآثَامِ؛ فَبَيْنَ الأَمْرَيْنِ تَلَازُمٌ مُطَّرِدٌ. وَالسَّبِيلُ الْوَحِيدُ إِلَىٰ أَنْ لَا يَقِلَّ رَجَاؤُكَ بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَصَفْحِهِ عَنْدَ التَّقْصِيرِ، هُوَ أَنْ لَا تَعْتَمِدَ عَلَىٰ عَمَلِكَ عِنْدَمَا يُحَالِفُكَ التَّوْفِيقُ. وَعِنْدَئِذٍ تَكُونُ فِي كِلَّ الْحَالَيْنِ مُتَطَلِّعًا إِلَىٰ جُودِ اللَّهِ وَكَرَمِهِ، بِقَدْرِ مَا تَكُونُ خَائِفًا مِنْ غَضَبِهِ وَمَقْتِهِ.

Artinya, salah satu akibat paling berbahaya dari bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan akan ampunan Allah ketika terjerumus dalam kesalahan dan dosa; antara kedua hal ini ada keterkaitan yang terus menerus. Satu-satunya cara agar harapanmu terhadap rahmat dan ampunan Allah tidak berkurang ketika gagal, adalah tidak bergantung pada amalmu ketika berhasil. Dengan demikian, dalam kedua keadaan tersebut, engkau akan selalu berharap kepada kemurahan Allah, sebesar ketakutanmu akan murka dan hukuman-Nya. 

إِذنْ، الْخَوْفُ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَعُقُوبَتِهِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا مَعَ الرَّجَاءِ الدَّائِمِ بِرَحْمَتِهِ وَفَضْلِهِ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ أَيًّا كَانَ، لَنْ يَنْفَكَّ عَنِ التَّقْصِيرِ فِي أَدَاءِ حَقُوقِ الرَّبُوبِيَّةِ عَلَيْهِ، فِي سَائِرِ التَّقَلُّبَاتِ وَالْأَحْوَالِ.

Jadi, ketakutan akan murka dan hukuman Allah harus ada bersama dengan harapan akan rahmat dan kemurahan-Nya, karena manusia, siapapun dia, tidak akan terlepas dari kekurangan dalam menunaikan hak-hak Allah dalam segala keadaan dan kondisi.

---

Huququr Rububiyyah: (1) Menyembah dengan ikhlas; (2) Tidak syirik; (3) Melaksankan perintah dan menjauhi larangan; (4) Tidak mengharap imbalan; (5) Memohon pertolongan hanya kepada Allah.

---

.وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّ الَّذِي يَرَى أَنَّهُ مِنَ الضَّعْفِ وَالتَّقْصِيرِ بِحَيْثُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُؤَدِّيَ شَيْئًا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ عَلَيْهِ، يَتَجَاذَبُهُ شُعُورَانِ مُتَسَاوِيَانِ فِي كُلِّ الأَحْوَالِ: أَحَدُهُمَا شُعُورُهُ بِالأَمَلِ بِفَضْلِ اللَّهِ وَعَفْوِهِ، ثَانِيَهُمَا شُعُورُهُ بِالخَجَلِ وَالخَوْفِ مِنْ تَقْصِيرِهِ فِي جَنْبِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَعْلُو وَيَشْتَدُّ الشُّعُورُ الأَوَّلُ إِنْ رَأَى نَفْسَهُ مُوَفَّقًا لِلطَّاعَاتِ، وَلَا يَهْتَاجُ بِهِ الشُّعُورُ الثَّانِي إِنْ رَأَى نَفْسَهُ مُقَصِّرًا فِي أَدَائِهَا مُتَهَاوِنًا فِي حُقُوقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لِأَنَّهُ فِي كُلِّ الأَحْوَالِ لَا يُقِيمُ لِطَاعَاتِهِ وَزْنًا، وَلَا يَعْتَمِدُ عَلَيْهَا فِي الأَمَلِ بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَعَفْوِهِ. فَهُوَ إِذًا فِي كُلِّ الأَحْوَالِ بَيْنَ الخَوْفِ وَالرَّجَاءِ.

Oleh karena itu, orang yang merasa bahwa dirinya begitu lemah dan kurang sehingga tidak mampu menunaikan hak-hak Allah, akan terbagi antara dua perasaan yang sama dalam segala keadaan: pertama adalah harapannya akan kemurahan dan ampunan Allah, dan kedua adalah rasa malu dan takut akan kekurangannya dalam menunaikan hak Allah. Harapannya tidak akan meningkat ketika melihat dirinya berhasil dalam ketaatan, dan ketakutannya tidak akan meningkat ketika melihat dirinya lalai dalam menunaikan hak-hak Allah, karena dalam segala keadaan dia tidak menilai amalnya, dan tidak bergantung padanya dalam harapan akan rahmat dan ampunan Allah. Oleh karena itu, dalam segala keadaan, dia berada antara takut dan berharap (الخوف والرجاء ).

وَلَعَلَّ الشَّيْطَانَ يُوَسْوِسُ إِلَيْكَ بِأَنَّ الطَّاعَاتِ وَالقُرُبَاتِ لَيْسَ لَهَا إِذًا أَيُّ دَوْرٍ فِي تَفَضُّلِ اللَّهِ عَلَى العَبْدِ، وَإِذًا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ إِقْبَالِ العَبْدِ إِلَيْهَا وَإِعْرَاضِهِ عَنْهَا!

Mungkin setan membisikkan padamu bahwa ketaatan dan ibadah tidak memiliki peran dalam kemurahan Allah kepada hamba-Nya, sehingga tidak ada perbedaan antara hamba yang taat dan yang tidak taat. 

وَلَكِنْ فَلْتَعْلَمْ أَنَّ هَذَا الوَسْوَاسَ الشَّيْطَانِيَّ لَيْسَ نَتِيجَةً لِهَذَا الَّذِي نَشْرَحُهُ مِنْ كَلَامِ ابْنِ عَطَاءِ اللَّهِ، وَلَا لِكَلَامِ عُلَمَاءِ التَّوْحِيدِ فِي هَذَا الصَّدَدِ. لَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ}  أَفَقَالَ بَعْدَ ذَلِكَ: سَأَكْتُبُهَا لِلنَّاسِ جَمِيعًا، أَمْ قَالَ: { فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ} {الأعراف: 7/156} 

Namun, ketahuilah bahwa bisikan setan ini bukanlah hasil dari penjelasan kami atas perkataan Syaikh Ibnu Athaillah, atau perkataan ulama tauhid dalam hal ini. Allah berfirman: { وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُها لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ } “dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu". Apakah Allah berfirman setelah itu: "Aku akan menuliskannya untuk semua orang," atau berfirman: "Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.” { Al-A'raf: 7/156 }?

هُمَا أَمْرَانِ لَا يَنْفَكُّ وَاقِعُ عُبُودِيَّةِ الإِنْسَانِ لِلَّهِ عَنْهُمَا: أَحَدُهُمَا أَنْ عَلَيْهِ أَنْ يَسْلُكَ مَسَالِكَ الهُدَى وَالالْتِزَامَ بِأَوَامِرِ اللَّهِ وَالِابْتِعَادَ عَنْ نَوَاهِيهِ، ثَانِيَهُمَا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَعَفْوِهِ، لَا بِجُهُودِهِ وَأَعْمَالِهِ يَنَالُ المَثُوبَةَ وَالأَجْرَ.

Ada dua hal yang tidak terpisahkan dalam penghambaan manusia kepada Allah: pertama adalah bahwa dia harus mengikuti petunjuk dan mematuhi perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya, dan kedua adalah bahwa dia harus menyadari bahwa rahmat dan ampunan Allah, bukan usaha dan amalnya, yang dia memperoleh pahala dan ganjaran.

وَهَذَا هُوَ المَعْنَى الجَامِعُ الَّذِي يَتَضَمَّنُهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَاِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدٰى} {طه:٨٢} أَيْ الإِيمَانُ وَالعَمَلُ الصَّالِحُ وَاجِبَانِ، وَالمَثُوبَةُ تَأْتِي عَنْ طَرِيقِ المَغْفِرَةِ وَالصَّفْحِ لَا عَنْ طَرِيقِ الأَجْرِ وَالاسْتِحْقَاقِ.

Ini adalah makna umum yang terkandung dalam firman Allah:  "Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk." { Thaha: 82) } yaitu, iman dan amal saleh adalah wajib, dan pahala datang melalui ampunan dan pengampunan, bukan melalui upah dan kelayakan.

إِنَّنِي بِحُكْمِ عُبُودِيَّتِي لِلَّهِ أُنَفِّذُ أَوَامِرَهُ، تِلْكَ ضَرِيبَةُ العُبُودِيَّةِ لِلَّهِ فِي عُنُقِي. ثُمَّ أَبْسُطُ كَفِّيَ إِلَى السَّمَاءِ قَائِلًا:

Sebagai hamba Allah, aku melaksanakan perintah-Nya, itu adalah kewajiban penghambaan kepada Allah yang ada di pundakku. Kemudian aku menadahkan tangan ke langit seraya berkata:

يَا رَبِّ، أَنَا عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ رَحْمَتَكَ، لَا تُعَامِلْنِي بِمَا أَنَا لَهُ أَهْلٌ، بَلْ عَامِلْنِي بِمَا أَنْتَ لَهُ أَهْلٌ، إِنَّكَ أَنْتَ القَائِلُ: {قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ} {الاسراء: ٨٤} وَشَاكِلَتُكَ الرَّحْمَةُ فَارْحَمْنِي، شَاكِلَتُكَ المَغْفِرَةُ فَاغْفِرْ لِي.

"Ya Tuhan, aku adalah hamba-Mu dan anak hamba-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku padaku, keputusan-Mu adil bagiku. Aku memohon rahmat-Mu, jangan perlakukan aku sesuai dengan apa yang pantas bagiku, tetapi perlakukan aku sesuai dengan apa yang pantas bagi-Mu. Engkau adalah yang berfirman: {قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ} “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” { Al-Isra: 84 } Sifat-Mu adalah rahmat, maka rahmatilah aku. Sifat-Mu adalah pengampunan, maka ampunilah aku."

أَقُولُ مِثْلَ هَذَا الكَلَامِ دُونَ أَنْ أُطَالِبَهُ بِأَجْرٍ عَلَى عَمَلٍ أَرَى أَنِّي قَدْ بَذَلْتُهُ. بَلْ أَسْتَرْحِمُهُ بِمُقْتَضَى ضَعْفِي وَشِدَّةِ احْتِيَاجِي، وَأَسْتَجْدِيهِ العَطَاءَ كَمَا يَفْعَلُ الشَّحَّاذُ إِذْ يَسْتَجْدِي احْتِيَاجَاتِهِ مِنْ مَالٍ أَوْ طَعَامٍ مِمَّنْ يَأْمُلُ مِنْهُمُ الجُودَ وَالإِحْسَانَ. هَكَذَا تَكُونُ العُبُودِيَّةُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Aku mengatakan hal seperti ini tanpa menuntut upah atas amal yang aku lakukan. Sebaliknya, aku memohon rahmat karena kelemahanku dan kebutuhan yang mendesak, dan aku meminta anugerah seperti peminta-minta yang meminta kebutuhan dari harta atau makanan kepada orang-orang yang dia harapkan kemurahan dan kebaikannya. Begitulah penghambaan kepada Allah Swt.

لَعَلَّكَ تَقُولُ: وَلَكِنَّ اللَّهَ يُحَذِّرُ العَاصِينَ وَالمُذْنِبِينَ مِنْ مَقْتِهِ وَعِقَابِهِ، فَكَيْفَ لَا يَنْقُصُ رَجَائِي بِعَفْوِهِ وَإِحْسَانِهِ إِنْ أَنَا ارْتَكَبْتُ مُوجِبَاتِ هَذَا النُّقْصَانِ؟.. كَيْفَ وَقَدْ شَرَطَ اللَّهُ لِنَيْلِ رَحْمَتِهِ الإِيمَانَ وَالتَّقْوَى، عِنْدَمَا قَالَ: {فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ} {الأعراف: 7/156} 

Mungkin engkau berkata: "Tapi Allah memperingatkan orang-orang yang berdosa dari murka dan hukuman-Nya, jadi bagaimana harapanku akan ampunan dan kebaikan-Nya tidak berkurang jika aku melakukan dosa-dosa yang menyebabkan penurunan ini? Bagaimana mungkin, ketika Allah mensyaratkan rahmat-Nya untuk orang-orang yang beriman dan bertakwa?" Saat Engkau adalah yang berkata: { فَسَأَكْتُبُها لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ } “Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.” { Al-A'raf: 7/156 } 

وَالجَوَابُ أَنَّ العَاصِيَ الَّذِي يُطْلَبُ مِنْهُ أَنْ يَظَلَّ رَاجِيًا كَرَمَ اللَّهِ وَصَفْحِهِ، لَا يُمْكِنُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى اللَّهِ بِالرَّجَاءِ إِلَّا إِنْ دَخَلَ رِحَابَهُ مِنْ بَابِ التَّوْبَةِ. 

Jawabannya adalah bahwa orang yang berdosa yang diminta untuk tetap berharap pada kemurahan Allah, tidak mungkin mendekati Allah dengan harapan kecuali jika dia masuk ke halaman rahmat-Nya melalui pintu taubat. 

أَرَأَيْتَ إِلَى العَاصِي الَّذِي جَاءَ يَطْرُقُ بَابَ اللَّهِ مُتَأَمِّلًا صَفْحَهُ وَمَغْفِرَتَهُ، أَيَعْقِلُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ وَهُوَ مُصِرٌّ عَلَى مَعْصِيَتِهِ مُسْتَرِيحٌ إِلَى شُرُودِهِ وَآثَامِهِ؟!.. لَا.. مِنَ الوَاضِحِ فِي مَقَايِيسِ الأَخْلَاقِ وَالمَشَاعِرِ الإِنْسَانِيَّةِ، فَضْلًا عَنْ مَشَاعِرِ العُبُودِيَّةِ لِلَّهِ، أَنَّ هَذَا العَاصِيَ بِمِقْدَارِ مَا يَزْدَهِرُ فِي نَفْسِهِ الأَمَلُ بِصَفْحِ اللَّهِ وَمَغْفِرَتِهِ، تَزْدَادُ لَدَيْهِ حَوَافِزُ التَّوْبَةِ وَمَشَاعِرُ النَّدَمِ وَعَزِيمَةُ الإِقْلَاعِ عَمَّا كَانَ عَاكِفًا عَلَيْهِ.. فَإِذَا تَابَ هَذِهِ التَّوْبَةَ الصَّادِقَةَ، فَلَا بُدَّ أَنْ يَتَنَامَى الرَّجَاءُ لَدَيْهِ بِصَفْحِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُصُ. إِذِ المَفْرُوضُ أَنَّهُ يَقْرَأُ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى وَيَقِفُ فِيهِ عَلَى مِثْلِ قَوْلِهِ: {أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ} {التوبة: 9/104}

Apakah engkau melihat orang berdosa yang datang mengetuk pintu Allah dengan harapan akan ampunan-Nya, apakah mungkin dia melakukannya sambil terus bersikeras dalam dosanya dan merasa nyaman dengan pelanggarannya? Tidak, jelas bahwa dalam ukuran etika dan perasaan manusia, apalagi perasaan penghambaan kepada Allah, bahwa orang yang berdosa tersebut, sebesar harapannya akan ampunan Allah, semakin besar dorongan taubat dan perasaan penyesalan serta tekad untuk berhenti dari dosa yang dia lakukan. Jika dia bertaubat dengan taubat yang tulus ini, maka harapannya akan ampunan Allah akan semakin bertambah, bukan berkurang. Karena seharusnya dia membaca Kitab Allah dan melihat firman-Nya: { اَلَمْ يَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهٖ وَيَأْخُذُ الصَّدَقٰتِ وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ } “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(-nya), dan bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang? { At-Taubah: 9/104 }.

وَالْمَفْرُوضُ أَنَّهُ وَقَفَ عَلَى مِثْلِ هَذَا الْحَدِيثِ الْقُدُسِيِّ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي يَرْوِيهِ رَسُولُ اللَّهِ عَنْ رَبِّهِ: «أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ، فَقَالَ: أَي رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّهُ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ، فَقَالَ: أَي رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي فَلْيَفْعَلْ مَا شَاءَ». 

Dan seharusnya dia melihat hadits qudsi yang disepakati, yang diriwayatkan oleh Rasulullah dari Tuhan-Nya: "Telah berbuat dosa seorang hamba dengan suatu perbuatan maksiat/dosa, kemudian dia berkata, Ya Tuhanku ampunilah bagiku dosaku. Maka Allah tabaraka wa ta'ala berfirman, 'hambaku telah berbuat dosa dengan suatu perbuatan dosa, dan dia mengetahui bahwa Tuhannya maha mengampuni dosa dan menghukum perbuatan dosa.', kemudian hamba tersebut berbuat dosa kembali, dan kemudian berdoa (lagi) yaitu: Tuhanku, ampunilah bagiku dosaku. Maka Allah tabaraka wa ta'ala berfirman, 'hambaku melakukan perbuatan dosa, dan dia mengetahui bahwa Tuhannya mengampuni dosa dan mengadzab perbuatan dosa'. Kemudian hamba tersebut berbuat dosa kembali, dan kemudian berdoa kembali yaitu: Tuhanku, ampunilah bagiku dosaku, maka Allah tabaraka wa ta'ala berfirman, 'hambaku telah berbuat dosa, dan dia tahu, dia memiliki Tuhan yang Mengampuni dosa dan mengadzab perbuatan dosa. Lakukanlah apa yang kamu kehendaki, karena aku benar-benar telah mengampunimu' ”.

إِذَنْ فَالتَّوْبَةُ لَا بُدَّ مِنْهَا، وَهِيَ السَّبِيلُ إِلَى بَقَاءِ الرَّجَاءِ مُزْدَهِرًا فِي نَفْسِ الْعَاصِي. أَمَّا الْمُسْتَمِرُّ فِي عُكُوفِهِ عَلَى الْآثَامِ وَالَّذِي لَا تَخْطُرُ مِنْهُ التَّوْبَةُ عَلَى بَالٍ، فَالرَّجَاءُ بِصَفْحِ اللَّهِ أَيْضًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْطُرَ مِنْهُ عَلَى بَالٍ.

Oleh karena itu, taubat sangat penting, dan itu adalah cara agar harapan akan ampunan tetap hidup dalam diri orang yang berdosa. Namun, orang yang terus menerus dalam dosanya dan tidak pernah terpikir untuk bertaubat, maka harapan akan ampunan Allah juga tidak akan terpikirkan olehnya. 

ثُمَّ إِنَّهُ يَتَبَيَّنُ لَكَ مِمَّا ذَكَرْتُهُ وَأَوْضَحْتُهُ أَنَّ التَّلَبُّسَ بِعَكْسِ مَا ذَكَرَهُ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ، هُوَ الْآخَرُ دَلِيلٌ عَلَى الِاعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ. أَي فَمَنْ ازْدَادَ رَجَاؤُهُ بِفَضْلِ اللَّهِ وَمَثُوبَتِهِ كُلَّمَا ازْدَادَ إِقْبَالًا عَلَى اللَّهِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ، فَذَلِكَ دَلِيلٌ مِنْهُ عَلَى أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْتَمِدُ عَلَى أَعْمَالِهِ الصَّالِحَةِ، لَا عَلَى صَفْحِ اللَّهِ وَمَغْفِرَتِهِ.

Dan akan terlihat jelas dari apa yang telah saya jelaskan bahwa melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Athaillah juga merupakan tanda bergantung pada amal. Artinya, jika harapan seseorang akan kemurahan dan pahala Allah meningkat ketika dia semakin banyak melakukan amal saleh, maka itu adalah tanda bahwa dia bergantung pada amal salehnya, bukan pada ampunan dan kemurahan Allah. 

وَتَتَجَلَّى خُطُورَةُ هَذَا الرَّبْطِ بَيْنَ تَنَامِي الرَّجَاءِ، وَتَنَامِي الْعَمَلِ الصَّالِحِ، إِذَا تَصَوَّرْنَا إِنْسَانًا يَزْدَادُ عَمَلُهُ مَعَ الزَّمَنِ صَلَاحًا وَتَزْدَادُ طَاعَاتُهُ كَثْرَةً، وَكُلَّمَا ازْدَادَ ذَلِكَ مِنْهُ ازْدَادَ ثِقَةً بِمَثُوبَةِ اللَّهِ وَوَعْدِهِ، ذَلِكَ لِأَنَّ النَّتِيجَةَ الَّتِي سَيَنْتَهِي إِلَيْهَا هَذَا الإِنْسَانُ، بِمُوجَبِ هَذَا الرَّبْطِ، أَنَّهُ فِي مَرْحَلَةٍ مُعَيَّنَةٍ سَيَجْزِمُ بِأَنَّهُ قَدْ أَصْبَحَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَمِنَ الْمُكْرَمِينَ بِالنَّعِيمِ الَّذِي وَعَدَ اللَّهُ بِهِ. إِذْ هُوَ بِمُقْتَضَى ذَلِكَ الرَّبْطِ بَيْنَ الْعَمَلِ وَالْأَجْرِ، لَا بُدَّ أَنْ يَعْتَقِدَ - إِذَا بَلَغَ تِلْكَ الْمَرْحَلَةَ فِي أَعْمَالِهِ الصَّالِحَةِ - أَنَّ عَمَلَهُ كُلَّهُ مَبْرُورٌ وَأَنَّ حَيَاتَهُ مَلِيئَةٌ بِالطَّاعَاتِ، إِذَنْ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَطْعًا! وَهَذَا هُوَ التَّأَلِّي عَلَى اللَّهِ، وَكَمْ وَكَمْ حَذَّرَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ.

Dan tampak jelas bahayanya menghubungkan antara bertambahnya harapan dan bertambahnya amal saleh jika kita membayangkan seseorang yang amalnya semakin lama semakin baik dan ketaatannya semakin banyak, dan setiap kali amal tersebut bertambah, kepercayaannya terhadap pahala dan janji Allah juga meningkat. Karena hasil yang akan dicapai oleh orang ini, berdasarkan hubungan ini, adalah bahwa pada tahap tertentu dia akan memastikan bahwa dirinya telah menjadi salah satu penghuni surga dan termasuk yang dimuliakan dengan kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Karena berdasarkan hubungan antara amal dan pahala tersebut, dia pasti akan percaya—jika dia mencapai tahap tersebut dalam amal salehnya—bahwa seluruh amalnya diterima dan hidupnya penuh dengan ketaatan, sehingga dia pasti termasuk penghuni surga! Dan ini adalah menganggap pasti kehendak Allah, dan berapa banyak Rasulullah memperingatkan tentang hal ini. 

وَإِنَّمَا سَبِيلُ الِابْتِعَادِ عَنْ هَذَا الْمَنْزَلِقِ، الْعِلْمُ بِأَنَّ حُقُوقَ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ لَا تُؤَدَّى بِطَاعَاتِهِمْ مَهْمَا كَثُرَتْ وَعَظُمَتْ، بَلْ إِنَّ هَذِهِ الْحُقُوقَ سَتَظَلُّ بَاقِيَةً. وَلَوْ أُدِّيَتْ حُقُوقُهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالطَّاعَاتِ، لَكَانَ أَوْلَى النَّاسِ بِذَلِكَ الرُّسُلُ وَالْأَنْبِيَاءُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَمَا وَجَدْنَا وَاحِدًا مِنْهُمْ عَقَدَ رَجَاءَهُ بِمَثُوبَةِ اللَّهِ بِطَاعَاتِهِ وَقُرُبَاتِهِ، بَلْ كَانُوا جَمِيعًا يَتَطَلَّعُونَ إِلَى مَغْفِرَةِ اللَّهِ وَصَفْحِهِ.

Cara menjauhkan diri dari bahaya ini adalah dengan mengetahui bahwa hak-hak Allah atas hamba-hamba-Nya tidak dapat dipenuhi dengan ketaatan mereka, betapapun banyak dan agungnya, tetapi hak-hak tersebut akan tetap ada. Jika hak-hak Allah yang Maha Tinggi dapat dipenuhi dengan ketaatan, maka orang-orang yang paling berhak untuk itu adalah para rasul dan nabi. Namun demikian, kita tidak menemukan satu pun dari mereka yang menggantungkan harapannya kepada pahala Allah berdasarkan ketaatan dan pendekatan mereka, tetapi mereka semua berharap kepada ampunan dan pengampunan Allah.

كَانَ سَيِّدُنَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - وَهُوَ خَلِيلُ الرَّحْمَنِ - يَرَى أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي مُسْتَوَى الصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ، فَكَانَ يَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُلْحِقَهُ بِهِمْ قَائِلًا: {رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَۙ} {الشورى: ٨٣} وَكَانَ يَتَطَلَّعُ إِلَى مَغْفِرَةِ اللَّهِ وَصَفْحِهِ قَائِلًا: {رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَاب} {: ابراهيم:٤١}.

Nabi Ibrahim alaihissalam—yang merupakan kekasih Allah—melihat dirinya lebih rendah daripada para hamba Allah yang saleh, maka dia memohon kepada Allah agar digabungkan dengan mereka dengan mengatakan: "Wahai Tuhanku, berikanlah kepadaku hukum (ilmu dan hikmah) dan pertemukanlah aku dengan orang-orang saleh." (Asy-Syura: 83) Dan dia berharap kepada ampunan dan pengampunan Allah dengan mengatakan: "Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).'" (Ibrahim: 41). 

وَكَانَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَرَى هُوَ الْآخَرُ أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ أَنْ يَرْقَى إِلَى دَرَجَةِ الصَّالِحِينَ، فَكَانَ يَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُلْحِقَهُ بِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهُمْ، أَلَيْسَ هُوَ الْقَائِلُ فِيمَا أَخْبَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ: { رَبِّ قَدْ اٰتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۚ فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَنْتَ وَلِيّٖ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ} {يوسف: ١٢/١٠١}.

Yusuf alaihissalam juga melihat dirinya lebih rendah daripada bisa mencapai derajat orang-orang saleh, maka dia memohon kepada Allah agar digabungkan dengan mereka meskipun dia bukan termasuk dari mereka. Bukankah dia yang berkata seperti yang diberitakan oleh Allah tentang dirinya: Tuhanku, sungguh Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang saleh.” (Yusuf: 101)

 أَمَّا سَيِّدُ الرُّسُلِ وَالْأَنْبِيَاءِ فَهُوَ الَّذِي يَقُولُ كَمَا قَدْ عَلِمْتَ: «لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الْجَنَّةَ عَمَلُهُ» قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَتِهِ».

Sedangkan pemimpin para rasul dan nabi adalah yang berkata sebagaimana kamu ketahui: "Tidak ada seorang pun dari kalian yang amalnya dapat memasukkannya ke dalam surga." Mereka bertanya: "Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku."

***

إِذَنْ، فَالإِنْسَانُ، أَيًّا كَانَ، عِنْدَمَا يُوَفَّقُ لِلْعَمَلِ الصَّالِحِ، إِنَّمَا يُؤَدِّي بِذَلِكَ جُزْءًا يَسِيرًا جِدًّا مِنْ ضَرِيبَةِ عُبُودِيَّتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمِنْ حُقُوقِ النِّعَمِ الَّتِي أَغْدَقَهَا اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا، وَهِيَ نِعَمٌ كَثِيرَةٌ وَمُتَنَوِّعَةٌ لَا تُحْصَى. 

Jadi, manusia, siapapun dia, ketika dia diberi taufik untuk beramal saleh, sesungguhnya dia hanya melakukan sebagian kecil dari kewajiban pengabdian kepada Allah Yang Maha Tinggi dan dari hak-hak nikmat yang Allah karuniakan kepadanya di dunia, dan nikmat-nikmat itu banyak dan beragam yang tidak terhitung.

فَإِذَا كَانَ هَذَا الإِنْسَانُ عَلَى الرَّغْمِ مِنْ طَاعَاتِهِ الَّتِي وُفِّقَ لَهَا، لَا يَزَالُ مُثْقَلًا تَحْتَ حُقُوقِ الرُّبُوبِيَّةِ لِلَّهِ عَلَيْهِ، وَمُثْقَلًا تَحْتَ حُقُوقِ النِّعَمِ الَّتِي امْتَنَّ اللَّهُ بِهَا عَلَيْهِ، فَأَنَّى لَهُ وَبِأَيِّ حُجَّةٍ يُطَالِبُ اللَّهَ أَنْ يُكْرِمَهُ مُقَابِلَ ذَلِكَ بِجِنَانِ خُلْدِهِ، وَبِأَنْ يُضِيفَ إِلَى نِعَمِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي لَمْ يُؤَدِّ بَعْدُ حُقُوقَهَا النِّعَمَ الأُخْرَوِيَّةَ الَّتِي وَصَفَهَا وَتَحَدَّثَ عَنْهَا فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ؟!

Jika manusia tersebut, meskipun dengan segala ketaatan yang dia dapat lakukan, masih terbebani dengan hak-hak rububiyah Allah atas dirinya, dan masih terbebani dengan hak-hak nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya, maka bagaimana dia dengan alasan apa menuntut kepada Allah agar memuliakannya sebagai balasan dengan surga-Nya yang kekal, dan menambahkan kepada nikmat-nikmat duniawinya yang hak-haknya belum terpenuhi, dengan nikmat-nikmat akhirat yang Allah gambarkan dan sebutkan dalam kitab-Nya?

***

وَصَفْوَةُ الْقَوْلِ أَنَّ الإِنْسَانَ - بَعْدَ أَنْ عَرَفَ اللَّهَ وَأَدْرَكَ أَنَّهُ عَبْدٌ مَمْلُوكٌ لَهُ - يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ لِأَنَّهُ عَبْدُهُ وَلِأَنَّ اللَّهَ رَبُّهُ، أَي سَوَاءٌ أَثَابَهُ اللَّهُ عَلَى عِبَادَتِهِ أَمْ لَمْ يَثِبْهُ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَهُ جَنَّتَهُ تَفَضُّلًا مِنْهُ وَإِحْسَانًا، وَأَنْ يَسْتَعِيذَ بِهِ مِنْ نَارِهِ وَعَذَابِهِ، تَلَطُّفًا وَاسْتِرْحَامًا. وَتِلْكَ هِيَ سِيرَةُ رَسُولِ اللَّهِ فِي دُعَائِهِ.

Kesimpulan dari pembicaraan ini adalah bahwa manusia, setelah mengenal Allah dan menyadari bahwa dirinya adalah hamba yang dimiliki oleh-Nya, harus beribadah kepada Allah karena ia adalah hamba-Nya dan karena Allah adalah Tuhannya, baik Allah memberinya pahala atas ibadahnya atau tidak. Kemudian, ia harus meminta surga-Nya sebagai anugerah dan kebaikan-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari neraka dan azab-Nya, dengan penuh kelembutan dan kerendahan hati. Itulah yang dilakukan Rasulullah dalam doanya.

فَلَوْ أَنَّ أَحَدَنَا قَرَّرَ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْبُدُ اللَّهَ طَمَعًا بِجَنَّتِهِ بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ أَنَّهُ لَنْ يَنَالَ عَلَى عِبَادَتِهِ لَهُ هَذَا الأَجْرَ، فَسَيُقْلِعُ عَنِ الْعِبَادَةِ وَلَنْ يُبَالِي بِشَرْعَتِهِ وَأَحْكَامِهِ، فَهُوَ غَيْرُ مُسْلِمٍ وَلَا مُؤْمِنٍ فِي مِيزَانِ اللَّهِ وَحُكْمِهِ. إِذْ إِنَّهُ يُعْلِنُ بِذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ عَبْدًا لِلَّهِ وَإِنَّمَا هُوَ عَبْدٌ لِلْجَنَّةِ الَّتِي يَبْحَثُ عَنْ سَبِيلٍ مَا إِلَيْهَا.

Seandainya salah satu dari kita memutuskan dalam hatinya bahwa ia beribadah kepada Allah hanya karena menginginkan surga-Nya sehingga jika ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala atas ibadahnya, ia akan berhenti beribadah dan tidak peduli dengan syariat dan hukum-Nya, maka ia bukanlah seorang Muslim atau Mukmin menurut Allah. Ini karena ia menyatakan bahwa ia bukan hamba Allah tetapi hamba surga yang ia cari jalannya.

وَهُنَا نُدْرِكُ سُمُوَّ مَشَاعِرِ التَّوْحِيدِ فِي مُنَاجَاةِ رَابِعَةَ الْعَدَوِيَّةِ لِرَبِّهَا إِذْ كَانَتْ تَقُولُ لَهُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي مَا عَبَدْتُكَ حِينَ عَبَدْتُكَ طَمَعًا فِي جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ، وَلَكِنِّي عَلِمْتُ أَنَّكَ رَبٌّ تَسْتَحِقُّ الْعِبَادَةَ فَعَبَدْتُكَ».

Di sini kita dapat memahami keagungan perasaan tauhid dalam munajat Rabi'ah al-Adawiyah kepada Tuhannya ketika ia berkata kepada-Nya, "Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu atau takut akan neraka-Mu, tetapi karena aku tahu bahwa Engkau adalah Tuhan yang layak disembah, maka aku menyembah-Mu."

بَعْضُ السُّطْحِيِّينَ ظَنُّوا أَنَّ رَابِعَةَ كَانَتْ تُعَبِّرُ بِهَذَا عَنْ اسْتِغْنَائِهَا عَنْ الْجَنَّةِ الَّتِي وَعَدَ اللَّهُ بِهَا عِبَادَهُ الصَّالِحِينَ، وَمِنْ ثَمَّ أَطَالُوا الْعَتْبَ وَالتَّشْنِيعَ عَلَيْهَا. وَهَذَا تَسَرُّعٌ فِي الْفَهْمِ وَظُلْمٌ فِي الْحُكْمِ!.. فَرَابِعَةُ كَانَتْ تَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَتَسْتَعِيذُ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَمْ كَانَتْ فِي الْكَثِيرِ مِنْ مُنَاجَاتِهَا تَتَخَوَّفُ مِنْ عِقَابِهِ الَّذِي تَرَى نَفْسَهَا مُعَرَّضَةً لَهُ، وَكَمْ كَانَتْ تَشُوقُ إِلَى إِكْرَامِهِ وَجَنَّةِ قُرْبِهِ، وَلَكِنَّهَا لَمْ تَكُنْ تَطْلُبُ ذَلِكَ أَجْرًا عَلَى عِبَادَتِهَا، وَقِيمَةً لِصَلَاتِهَا وَنُسُكِهَا. وَإِنَّمَا كَانَتْ تَسْأَلُهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ الْغَنِيُّ الْكَرِيمُ وَلِأَنَّهَا الْفَقِيرَةُ الرَّاغِبَةُ بِجُودِهِ. 

Beberapa orang yang dangkal mengira bahwa Rabi'ah mengungkapkan bahwa ia tidak membutuhkan surga yang dijanjikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, dan karena itu mereka banyak mengkritiknya. Ini adalah pemahaman yang tergesa-gesa dan penilaian yang tidak adil! Rabi'ah meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka, dan dalam banyak munajatnya ia merasa takut akan azab-Nya yang ia anggap dirinya terancam olehnya, dan ia sangat merindukan kehormatan-Nya dan surga dekat dengan-Nya, tetapi ia tidak meminta itu sebagai imbalan atas ibadahnya dan sebagai nilai dari shalat dan ritualnya. Sebaliknya, ia meminta itu karena Allah adalah Maha Kaya dan Maha Pemurah dan karena ia adalah hamba yang membutuhkan kemurahan-Nya. 

أَمَّا طَاعَاتُهَا وَعِبَادَاتُهَا، فَقَدْ كَانَتْ تَتَقَرَّبُ بِهَا إِلَى اللَّهِ لِأَنَّهُ رَبُّهَا وَلِأَنَّهَا أَمَتُهُ. إِنَّهَا مَدِينَةٌ بِحَقِّ الْعُبُودِيَّةِ لَهُ، وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّ عُبُودِيَّتَهَا تُلِحُّ عَلَيْهَا أَنْ تَعْبُدَهُ وَأَنْ تَخْضَعَ لِسُلْطَانِ رُبُوبِيَّتِهِ، لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِأَنَّهَا أَمَتُهُ وَلِأَنَّهُ رَبُّهَا. وَسَوَاءٌ أَأَكْرَمَهَا بِنَعِيمِ جِنَانِهِ أَوْ زَجَّهَا فِي أَلِيمِ عَذَابِهِ، فَلَنْ تَنْقُضَ مَعَهُ مِيثَاقَ هَذَا الاِلْتِزَامِ. وَكَيْفَ تَنْقُضُهُ وَهِيَ فِي كُلِّ الْأَحْوَالِ صَنْعُ يَدِهِ وَمَلِكُ ذَاتِهِ؟

Adapun ketaatan dan ibadahnya, ia mendekatkan diri kepada Allah karena Dia adalah Tuhannya dan ia adalah hamba-Nya. Ia memiliki hak atas pengabdian kepada-Nya, dan karena itu pengabdiannya memaksanya untuk menyembah-Nya dan tunduk kepada kekuasaan-Nya, tidak ada alasan lain selain karena ia adalah hamba-Nya dan Dia adalah Tuhannya. Apakah Allah memuliakannya dengan kenikmatan surga-Nya atau melemparkannya ke dalam azab-Nya yang pedih, ia tidak akan melanggar perjanjian pengabdiannya kepada-Nya. Bagaimana mungkin ia melanggar itu sementara ia tetap ciptaan-Nya dan milik-Nya dalam segala hal?

هٰذَا هُوَ مَوْقِفُ رَابِعَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا.. فَهَلْ فِي المُسْلِمِينَ مَنْ يَقُولُ: إِنَّهُ مَوْقِفٌ غَيْرُ سَدِيدٍ؟!.. إِذَنْ فَالْمَوْقِفُ السَّدِيدُ نَقِيضُهُ، وَهُوَ أَنْ نَقُولَ: اللَّهُمَّ إِنِّي لَمْ أَعْبُدْكَ لِأَنَّكَ رَبٌّ تَسْتَحِقُّ العِبَادَةَ، وَلَكِنْ لِأَنِّي طَامِعٌ فِي جَنَّتِكَ!.. فَهَلْ فِي النَّاسِ المُؤْمِنِينَ بِاللهِ، حَتَّى وَلَوْ كَانُوا فُسَّاقًا، مَنْ يُخَاطِبُ اللهَ بِهٰذِهِ المُحَاكَمَةِ الوَقِحَةِ؟

Ini adalah sikap Rabi'ah, semoga Allah meridhoinya. Apakah ada di antara Muslim yang berkata bahwa ini adalah sikap yang salah? Jika demikian, maka sikap yang benar adalah sebaliknya, yaitu mengatakan: "Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu karena Engkau adalah Tuhan yang layak disembah, tetapi karena aku menginginkan surga-Mu!" Apakah ada di antara orang-orang yang beriman kepada Allah, meskipun mereka adalah orang-orang fasik, yang berbicara kepada Allah dengan keberanian seperti itu?

 إِنَّنَا عَلَى الرَّغْمِ مِنْ تَقْصِيرِنَا وَبُعْدِ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ رُتْبَةِ أَمْثَالِ رَابِعَةَ العَدَوِيَّةِ، لَا يَسَعُنَا إِلَّا أَنْ نُخَاطِبَ إِلٰهَنَا وَخَالِقَنَا بِالمَنْطِقِ ذَاتِهِ الَّذِي كَانَتْ تُخَاطِبُ بِهِ رَبَّهَا، إِنَّنَا نَقُولُ:

Meskipun kita jauh dari tingkat seperti Rabi'ah al-Adawiyah, kita hanya bisa berbicara kepada Tuhan dan Pencipta kita dengan logika yang sama yang digunakan Rabi'ah dalam berbicara kepada Tuhannya. Kita berkata:

 اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّنَا وَنَحْنُ عِبَادُكَ، نَعْبُدُكَ وَنَنْقَادُ لِأَوَامِرِكَ جَهْدَ اسْتِطَاعَتِنَا لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِأَنَّكَ رَبُّنَا وَنَحْنُ عَبِيدُكَ.. وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا مَهْمَا اسْتَقَمْنَا عَلَى صِرَاطِكَ فَلَسَوْفَ يَظَلُّ التَّقْصِيرُ شَأْنَنَا المُلاَزِمَ لَنَا، لَا بِسَبَبِ اسْتِكْبَارٍ عَلَى أَمْرِكَ وَلَكِنْ لِأَنَّكَ قَضَيْتَ عَلَيْنَا بِالضَّعْفِ.

"Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami dan kami adalah hamba-Mu. Kami menyembah-Mu dan tunduk kepada perintah-Mu sekuat kemampuan kami bukan karena alasan lain selain karena Engkau adalah Tuhan kami dan kami adalah hamba-Mu. Kami tahu bahwa meskipun kami tetap di jalan-Mu, kekurangan akan tetap menjadi bagian dari diri kami, bukan karena kesombongan terhadap perintah-Mu tetapi karena Engkau telah menetapkan kelemahan pada kami.

لَسَوْفَ نَرْحَلُ إِلَيْكَ مِنْ دُنْيَانَا هٰذِهِ بِخُرُوقٍ كَثِيرَةٍ مِنَ الزَّلَلِ وَالإِسَاءَةِ وَالانْحِرَافِ، آمِلِينَ أَنْ نُوَفَّقَ لِتَرْقِيعِهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ النَّصُوحِ.. سَنَرْحَلُ إِلَيْكَ فُقَرَاءَ عُرَاةً إِلَّا مِنْ ذُلِّ عُبُودِيَّتِنَا لَكَ وَافْتِقَارِنَا إِلَيْكَ.

Kami akan datang kepada-Mu dari dunia ini dengan banyak kesalahan dan dosa, berharap bahwa kami akan diberi kesempatan untuk memperbaikinya dengan taubat yang tulus dan ikhlas. Kami akan datang kepada-Mu sebagai orang yang miskin dan telanjang kecuali dari kehinaan pengabdian kami kepada-Mu dan ketergantungan kami kepada-Mu.

 وَلَسَوْفَ يَكُونُ جَوَابُ كُلِّ مِنَّا إِنْ سَأَلْتَ، بِمَ جِئْتَنِي مِنْ دُنْيَاكَ الَّتِي أَقَمْتُكَ فِيهَا؟: جِئْتُكَ بِالأَمَلِ فِي رَحْمَتِكَ.. بِالأَمَلِ فِي كَرَمِكَ، جِئْتُكَ فَقِيرًا إِلَّا مِنْ عُبُودِيَّتِي لَكَ، ذٰلِكَ هُوَ رَأْسُ مَالِي الَّذِي أَقِفُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْكَ وَلَنْ يُجَرِّئَنِي عِنْدَئِذٍ عَلَى اسْتِجْدَاءِ جَنَّتِكَ وَكَرِيمِ عَطَائِكَ إِلَّا مَا أَعْلَمُهُ مِنْ تَفَضُّلِكَ وَكَرَمِكَ وَمَا أَعْتَزُّ بِهِ مِنْ انْتِسَابِي بِذُلِّ العُبُودِيَّةِ إِلَيْكَ.

Dan jika Engkau bertanya, "Apa yang kamu bawa dari duniamu yang aku tempatkan di dalamnya?", jawab kami adalah: "Kami datang kepada-Mu dengan harapan akan rahmat-Mu dan kemurahan-Mu. Kami datang kepada-Mu sebagai orang miskin kecuali dari pengabdian kami kepada-Mu. Itulah modal kami yang kami bawa di hadapan-Mu dan tidak ada yang membuat kami berani memohon surga-Mu dan anugerah-Mu selain pengetahuan kami akan kemurahan-Mu dan keagungan-Mu serta kebanggaan kami dalam kehinaan pengabdian kami kepada-Mu."

وَبَعْدَ فَهٰذَا هُوَ لُبَابُ التَّوْحِيدِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ يُهَيْمِنَ عَلَى مَشَاعِرِ كُلِّ مُسْلِمٍ بَعْدَ أَنْ يَسْتَقِرَّ يَقِينًا فِي عَقْلِهِ. وَتِلْكَ هِيَ الحَقِيقَةُ الَّتِي عَنَاهَا ابْنُ عَطَاءَ اللهِ بِقَوْلِهِ: «مِنْ عَلَامَةِ الاعْتِمَادِ عَلَى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَّلَلِ».

Dan inilah inti dari tauhid yang harus mendominasi perasaan setiap Muslim setelah keyakinan ini tertanam dalam akalnya. Inilah hakikat yang dimaksud oleh Ibn Atha'illah dalam ucapannya: "Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan ketika terjadi kesalahan."

المصدر: دار الفكر دمشق للدكتور محمد سعيد رمضان البوطي.

Sumber: Dar al-Fikr Damaskus, Dr. Muhammad Sa'id Ramadan al-Bouti.

Rekaman youtube di FGD Hikmah 1 || Syarah Al-Hikam Said Ramadhan Al Buthi

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More