Jumat, 06 September 2024

KEINGINANMU UNTUK MENGEJAR SEBAB-SEBAB DUNIA...MERUPAKAN KEMUNDURAN DARI CITA-CITA YANG TINGGI

Materi FGD 3: diskusi sebelumnya di link ini.

Materi FGD 4: Insya Allah Sabtu Pahing, 7 September 2024

Itulah makna dari bagian pertama hikmah Ibnu Atha'illah yang kedua yang sedang kita jelaskan, yaitu: "Keinginanmu untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan dunia, padahal Allah telah menempatkanmu dalam sebab-sebab dunia, berasal dari syahwat yang tersembunyi."

أَمَّا الشَّطْرُ الثَّانِي مِنْهَا فَهُوَ قَوْلُهُ: «وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ».

Adapun bagian kedua dari hikmah tersebut adalah perkataannya: "Dan keinginanmu untuk mengejar sebab-sebab dunia, padahal Allah telah menempatkanmu dalam keadaan terlepas dari keterikatan dunia, merupakan kemunduran dari cita-cita yang tinggi."

هُنَالِكَ أَشْخَاصٌ جَرَّدَهُمُ اللهُ تَعَالَى عَنْ مَجَالِ التَّعَامُلِ مَعَ الْأَسْبَابِ، أَوْ هِيَ حَالَةٌ شَرْعِيَّةٌ أَوْ وَاقِعِيَّةٌ تَمُرُّ بِهِمْ تُبْعِدُهُمْ عَنْ مَجَالِ التَّعَامُلِ مَعَهَا. زَيْدٌ مِنَ النَّاسِ مِثْلًا لَيْسَتْ فِي عُنُقِهِ مَسْؤُولِيَّةُ زَوْجَةٍ وَلَا أَوْلَادٍ وَلَا أَيٍّ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالْأَرْحَامِ، وَعِنْدَهُ بُلْغَةٌ مِنَ الْعَيْشِ وَمُقَوِّمَاتِهِ، يَتَقَاذَفُهُ عَامِلَانِ، يَخْتَصِمَانِ فِي نَفْسِهِ يَقُولُ لَهُ الْعَامِلُ الْأَوَّلُ: هَا أَنْتَ تَمْلِكُ مِنْ أَسْبَابِ الْعَيْشِ مَا يَكْفِيكَ فَلِمَاذَا لَا تَكْتَفِي بِهَذِهِ الْبُلْغَةِ؟ وَلِمَاذَا لَا تَسْتَعِيضُ عَنِ الْمَزِيدِ الَّذِي لَا حَاجَةَ لَكَ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا بِطَلَبِ الْعِلْمِ وَالتَّوَسُّعِ فِي مَعْرِفَةِ شَرَائِعِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَتَوْفِيرِ مَا لَدَيْكَ مِنْ فَائِضِ الْوَقْتِ وَالْجُهْدِ لِلطَّاعَاتِ وَالْقُرُبَاتِ وَخِدْمَةِ دِينِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ 

Ada orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala lepaskan dari urusan yang mengharuskan mereka berurusan dengan sebab-sebab dunia, atau kondisi syar'i atau kenyataan hidup yang mereka alami menjauhkan mereka dari hal itu. Misalnya, seorang pria tidak memiliki tanggung jawab terhadap istri, anak, atau kerabat, dan dia memiliki cukup harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam dirinya terjadi pergulatan antara dua keinginan. Keinginan pertama berkata kepadanya: "Kamu sudah memiliki kecukupan dalam urusan dunia, jadi mengapa tidak mencukupkan diri dengan apa yang kamu miliki? Mengapa tidak memanfaatkan waktu dan tenagamu yang tersisa untuk mencari ilmu, memperluas pengetahuan tentang syariat Allah, dan mengabdikan diri pada ketaatan serta ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala?"

وَيَقُولُ لَهُ الْعَامِلُ الثَّانِي: قُمْ فَاطْرُقْ بَابَ الْمَزِيدِ مِنَ الرِّزْقِ، لَاحِقْ سُبُلَ الْكَدْحِ وَالتِّجَارَةِ، وَابْحَثْ عَنِ الْأَسْبَابِ الَّتِي تَزِيدُكَ رَفَاهِيَةً وَغِنًى، فَإِنَّ اللهَ يَكْرَهُ الْعَبْدَ الْبَطَّالَ، وَقَدْ كَانَ عُمَرُ يُلَاحِقُ الْبَطَّالِينَ فِي الْمَسْجِدِ بِدُرَّتِهِ. تَرَى مَا الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَهُ هَذَا الْإِنْسَانُ، وَلِأَيِّ النِّدَاءَيْنِ يَسْتَجِيبُ؟

يُجِيبُ عَنْ هَذَا السُّؤَالِ الْمَقْطَعُ الثَّانِي مِنْ حِكْمَةِ ابْنِ عَطَاءِ اللهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: "وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ".

Dan keinginan kedua berkata kepadanya: "Bangkitlah dan cari rezeki lebih banyak, kejarlah jalan usaha dan perdagangan, dan carilah sebab-sebab yang dapat menambah kemakmuran dan kekayaanmu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hamba yang pengangguran, dan Umar (bin Khattab) pernah mengejar orang-orang yang menganggur di masjid dengan tongkatnya." Maka, apa yang seharusnya dilakukan oleh orang ini, dan seruan mana yang seharusnya ia penuhi? 

Jawaban untuk pertanyaan ini terletak pada bagian kedua dari hikmah Ibnu Athaillah, yaitu perkataannya: "Dan keinginanmu untuk mengejar sebab-sebab dunia, padahal Allah telah menempatkanmu dalam keadaan terlepas dari keterikatan dunia, merupakan kemunduran dari cita-cita yang tinggi." 

مَعْنَى هَذَا الْكَلَامِ: إِذَا كُنْتَ تُرِيدُ أَنْ تَرْكَنَ إِلَى الدَّعَةِ وَالْكَسَلِ اعْتِمَادًا عَلَى مَا عِنْدَكَ مِنْ بُلْغَةِ الْعَيْشِ فَتَأْكُلَ وَتَشْرَبَ وَتَلْهُوَ وَتَنَامَ إِلَى أَنْ تَمُوتَ، فَاعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ هِيَ حَيَاةُ الْبَهَائِمِ. أَمَّا إِنْ كَانَ قَصْدُكَ أَنْ تَتَّجِهَ بَعْدَ أَنْ جَعَلَكَ اللهُ طَلِيقًا مِنَ الْأَسْبَابِ وَحُقُوقِهَا عَلَيْكَ إِلَى دِرَاسَةِ دِينِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَخِدْمَةِ شَرَائِعِهِ مُسْتَغْنِيًا بِذَلِكَ عَنِ الْوَظَائِفِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَمَسَالِكِ التَّوَسُّعِ فِي الرِّزْقِ فَهَذَا هُوَ النَّهْجُ الصَّحِيحُ وَالسُّلُوكُ الْأَمْثَلُ، وَهُوَ الْأَلْيَقُ بِأَصْحَابِ النُّفُوسِ الْعَالِيَةِ وَذَوِي الْهِمَمِ السَّامِيَةِ.

Makna dari perkataan ini adalah: Jika keinginanmu adalah untuk bersantai dan bermalas-malasan karena merasa cukup dengan rezeki yang ada, sehingga kamu hanya makan, minum, bersenang-senang, dan tidur hingga mati, maka ketahuilah bahwa ini adalah kehidupan binatang. Namun, jika niatmu adalah untuk mengarahkan diri, setelah Allah membebaskanmu dari keterikatan pada sebab-sebab dunia dan tanggung jawabnya, untuk mempelajari agama Allah dan melayani syariat-Nya, dengan menghindari pekerjaan duniawi dan jalan-jalan untuk memperluas rezeki, maka inilah jalan yang benar dan perilaku yang terbaik, serta lebih layak bagi mereka yang memiliki jiwa yang tinggi dan cita-cita yang mulia. 

ذَلِكَ لِأَنَّ اللهَ - وَقَدْ أَبْعَدَكَ عَنِ الْقَرَابَةِ وَالْأَرْحَامِ وَأَغْنَاكَ عَنِ الزَّوْجَةِ وَذُيُولِهَا - أَقَامَكَ مِنْ ذَلِكَ فِي التَّجْرِيدِ، وَلَمْ يُقِمْكَ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ. فَخَيْرٌ لَكَ إِذَنْ مِنْ مُلَاحَقَةِ الْأَسْبَابِ الَّتِي أَبْعَدَهَا اللهُ عَنْكَ، أَنْ تَسْتَجِيبَ لِلْحَقِّ الَّذِي يُلَاحِقُكَ، مِنْ خِدْمَةِ دِينِهِ وَدِرَاسَةِ شَرَائِعِهِ، أَوْ أَنْ تَلْتَحِقَ بِصُفُوفِ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِهِ، إِنْ تَفَتَّحَتْ لَكَ إِلَى ذَلِكَ سُبُلٌ شَرْعِيَّةٌ صَحِيحَةٌ. 

Hal ini karena Allah, setelah menjauhkanmu dari tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabat, dan mencukupkanmu tanpa istri dan tanggungannya, telah menempatkanmu dalam keadaan terlepas dari keterikatan dunia, dan tidak menempatkanmu di dunia sebab-sebab. Maka, lebih baik bagimu daripada mengejar sebab-sebab dunia yang telah Allah jauhkan darimu adalah merespons seruan kebenaran yang menghampirimu, seperti melayani agama-Nya, mempelajari syariat-Nya, atau bergabung dengan barisan para pejuang di jalan-Nya, jika ada jalan yang sah dan benar untuk melakukannya.

فَإِنْ قَالَ هَذَا الْإِنْسَانُ: وَلَكِنَّ الْعَمَلَ أَيْضًا عِبَادَةٌ، وَقَدْ قَالَ اللهُ كَذَا وَكَذَا. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ كَذَا وَكَذَا . فَلْيَعْلَمْ هَذَا الْإِنْسَانُ أَنَّ هَذَا الْخَاطِرَ الَّذِي يُرَاوِدُهُ إِنَّمَا هُوَ تَسْوِيلٌ مِنَ الشَّيْطَانِ لَهُ. وَأَنَّهُ لَيْسَ إِلَّا نَتِيجَةَ انْحِطَاطٍ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ، كَمَا قَالَ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ. 

Jika seseorang berkata: "Namun, bekerja juga merupakan ibadah, dan Allah telah berfirman begini dan begitu, dan Rasulullah ﷺ juga bersabda begini dan begitu," maka ketahuilah bahwa pemikiran tersebut sebenarnya adalah godaan dari setan. Hal ini adalah hasil dari kemunduran cita-cita tinggi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah.

وَلَوْ كَانَ هَذَا الْخَاطِرُ رَبَّانِيًّا صَحِيحًا، إِذَنْ لَكَانَ عَلَيْنَا أَنْ نُسَفِّهَ عَمَلَ عَشَرَاتِ الْوَافِدِينَ إِلَى هَذِهِ الْبَلْدَةِ فِي كُلِّ عَامٍ، شَبَابٌ أَشِدَّاءُ سَاقَهُمُ التَّجَرُّدُ مِنْ أَثْقَالِ الْأَسْبَابِ الْمَعِيشِيَّةِ إِلَى التَّغَرُّبِ عَنْ أَوْطَانِهِمْ، لِدِرَاسَةِ الْإِسْلَامِ وَأَحْكَامِ الدِّينِ فِي هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّتِي سَمِعُوا الْكَثِيرَ عَنْ فَضْلِهَا وَبَرَكَتِهَا وَمَزَايَاهَا. لَقَدْ كَانَ بِوُسْعِهِمْ أَنْ يَضِيقُوا ذَرْعًا بِالتَّجَرُّدِ الَّذِي أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهِ، وَأَنْ يَتَكَلَّفُوا الْبَحْثَ عَنْ وَسَائِلَ لِجَمْعِ الْمَزِيدِ مِنَ الْمَالِ وَالثَّرَوَاتِ، وَلَكِنَّهُمْ تَعَامَلُوا مَعَ التَّجَرُّدِ الَّذِي أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهِ، وَانْتَهَزُوا فُرْصَةَ تِلْكَ الْحَالِ الَّتِي قَدْ تَغِيبُ عَنْ حَيَاتِهِمْ وَلَا تَعُودُ، فَأَقْبَلُوا إِلَى مَعَاهِدِ دِمَشْقَ يَعْكُفُونَ فِيهَا عَلَى دِرَاسَةِ دِينِ اللهِ، لِيَعُودُوا رُسُلَ هِدَايَةٍ وَتَعْلِيمٍ إِلَى أَوْطَانِهِمْ. 

Jika pemikiran itu benar-benar dari Allah, maka kita harus mengecam pekerjaan puluhan pemuda yang datang setiap tahun ke kota ini, meninggalkan tanah air mereka demi mempelajari Islam dan hukum-hukum agama di sini, tempat yang mereka dengar memiliki banyak keutamaan, berkah, dan kelebihan.

Mereka bisa saja tergoda untuk meninggalkan keterlepasan dari sebab-sebab dunia yang telah Allah tetapkan, dan berusaha mencari lebih banyak harta dan kekayaan, tetapi mereka memilih untuk memanfaatkan kesempatan yang mungkin tidak akan terulang dalam hidup mereka. Mereka memilih untuk mendalami agama Allah di lembaga-lembaga Damaskus agar bisa kembali ke tanah air mereka sebagai pembawa petunjuk dan pengajaran.

هَؤُلَاءِ الشَّبَابُ، مَا دَامُوا لَمْ يَقْطَعُوا أَنْفُسَهُمْ عَنْ مَسْؤُولِيَّاتٍ عَائِلِيَّةٍ أَوْ اجْتِمَاعِيَّةٍ أَوْ سِيَاسِيَّةٍ أَنَاطَهَا اللهُ بِهِمْ، عِنْدَمَا جَاؤُوا يَنْتَجِعُونَ عُلُومَ الْإِسْلَامِ، فِي هَذِهِ الْبَلْدَةِ، فَإِنَّا لَا بُدَّ أَنْ نَنْظُرَ إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْإِكْبَارِ، وَأَنْ نَعُدَّهُمْ صِنْفًا مُمَيَّزًا مِنَ الْبَشَرِ، نَسْتَرْحِمُ اللهَ بِهِمْ. وَلَكِنْ لَوْ أَنَّ رَجُلًا وَضَعَهُ اللهُ تَحْتَ مَسْؤُولِيَّةِ زَوْجَةٍ وَأَوْلَادٍ، أَوْ تَحْتَ مَسْؤُولِيَّةِ رِعَايَةٍ سِيَاسِيَّةٍ أَوِ اجْتِمَاعِيَّةٍ لِأُمَّتِهِ أَوْ أَهْلِ بَلْدَتِهِ، فَتَرَكَ الْمَهَمَّةَ الَّتِي أَقَامَهُ اللهُ عَلَيْهَا وَجَعَلَ مِنْهُ سَبَبًا لِإِصْلَاحِ حَالٍ أَوْ لِتَحْقِيقِ خَيْرٍ، وَأَقْبَلَ إِلَى مِثْلِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ يَطْلُبُ الْعِلْمَ أَوْ سَعَى إِلَى الِانْدِمَاجِ فِي صُفُوفِ الْمُجَاهِدِينَ، فَهُوَ مُخَالِفٌ بِذَلِكَ لِنِظَامِ الْإِسْلَامِ وَهَدْيِهِ، وَمُتَكَلِّفٌ تَنْقِيضَ مَا أَقَامَهُ اللهُ فِيهِ وَكَلَّفَهُ بِهِ.

Para pemuda ini, selama mereka tidak meninggalkan tanggung jawab keluarga, sosial, atau politik yang Allah bebankan kepada mereka saat datang untuk menuntut ilmu di kota ini, harus kita pandang dengan rasa hormat dan anggap sebagai kelompok manusia yang istimewa, yang melalui mereka kita memohon rahmat Allah. Namun, jika seseorang yang telah Allah berikan tanggung jawab atas keluarga, atau tanggung jawab politik atau sosial untuk umatnya atau penduduk kotanya, meninggalkan tugas yang telah Allah tetapkan baginya, yang merupakan sarana perbaikan atau kebaikan, dan malah datang ke kota ini untuk menuntut ilmu atau bergabung dengan barisan pejuang, maka ia telah melanggar aturan dan petunjuk Islam, serta menyalahi tugas yang Allah telah tetapkan untuknya.

وَمِنْ هُنَا نَعْلَمُ أَنَّ الشَّرْعَ هُوَ الْمِيزَانُ الَّذِي بِهِ يُعْلَمُ حَالُ الْإِنْسَانِ، هِيَ حَالُ تَجَرُّدٍ وَتَحَرُّرٍ مِنَ الْأَسْبَابِ، أَمْ هِيَ حَالُ تَقَيُّدٍ بِهَا وَتَعَامُلٍ مَعَهَا. فَإِنْ تَجَاوَزَ مِيزَانَ الشَّرْعِ إِلَى اتِّبَاعِ مَا يَحْلُو لَهُ أَوْ تَهْفُو إِلَيْهِ نَفْسُهُ، إِذَنْ لَا بُدَّ أَنْ يَنْحَرِفَ إِلَى مَا سَمَّاهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ «الشَّهْوَةَ الْخَفِيَّةَ» أَوْ إِلَى مَا سَمَّاهُ «الْهُبُوطَ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ». وَإِلَيْكَ طَائِفَةً مِنَ التَّطْبِيقَاتِ الَّتِي تُبَصِّرُكَ بِهَذَا الْقَانُونِ الشَّرْعِيِّ الدَّقِيقِ وَسُبُلِ التَّعَامُلِ مَعَهُ:

Dari sini kita memahami bahwa syariat adalah timbangan yang digunakan untuk mengetahui keadaan seseorang, apakah dia dalam keadaan terlepas dan bebas dari sebab-sebab duniawi, ataukah dia terikat dan berhubungan dengan sebab-sebab tersebut. Jika seseorang melampaui timbangan syariat untuk mengikuti apa yang ia sukai atau yang diinginkan oleh nafsunya, maka pasti ia akan menyimpang menuju apa yang disebut oleh Ibnu Athaillah sebagai "syahwat tersembunyi" atau "kemunduran dari cita-cita tinggi." Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan yang akan menjelaskan hukum syariat ini dan cara menghadapinya:

الْمِثَالُ الْأَوَّلُ: مَجْمُوعَةٌ مِنَ النَّاسِ تَوَجَّهُوا حُجَّاجًا إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ. أَمَّا الْبَعْضُ مِنْهُمْ فَمُتَحَرِّرُونَ مِنْ سَائِرِ الْقُيُودِ وَالتَّبِعَاتِ وَالْمَسْؤُولِيَّاتِ، مُتَفَرِّغُونَ لِأَدَاءِ هَذِهِ الشَّعِيرَةِ، مُقْبِلُونَ إِلَى مَزِيدٍ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْقُرُبَاتِ. وَأَمَّا بَعْضُهُمْ فَأَطِبَّاءُ أُنِيطَتْ بِهِمْ مَسْؤُولِيَّةُ الرِّعَايَةِ الْجِسْمِيَّةِ لِلْحُجَّاجِ وَمُعَالَجَةُ مَنْ يَتَعَرَّضُونَ مِنْهُمْ لِلْآلَامِ أَوِ الْأَسْقَامِ، أَوْ مُتَعَهِّدُونَ أُنِيطَتْ بِهِمْ مَسْؤُولِيَّةُ تَوْفِيرِ عَوَامِلِ الرَّاحَةِ وَالْحَاجَاتِ الَّتِي لَا بُدَّ مِنْهَا لَهُمْ. 

Contoh pertama: Sekelompok orang yang berangkat haji ke Baitullah. Sebagian dari mereka bebas dari semua ikatan, tanggung jawab, dan kewajiban, dan mereka sepenuhnya fokus untuk menjalankan ibadah ini serta lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah dan berbuat kebaikan. Sebagian lainnya adalah para dokter yang bertanggung jawab atas kesehatan para jamaah haji dan merawat mereka yang mengalami sakit atau cedera, atau mereka yang bertugas menyediakan sarana kenyamanan dan kebutuhan yang diperlukan bagi para jamaah.

أَمَّا الطَّائِفَةُ الْأُولَى فَهِيَ تَمُرُّ مِنَ الْوَضْعِ الَّذِي هِيَ فِيهِ بِمَا سَمَّاهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ حَالَ التَّجَرُّدِ أَوِ التَّجْرِيدِ، فَالْمَطْلُوبُ مِنْهَا أَنْ تُقْبِلَ إِلَى مَا قَدْ فَرَّغَهَا اللهُ لَهُ مِنْ كَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ وَالْقُرُبَاتِ وَالْأَذْكَارِ وَالِاسْتِزَادَةِ مِنَ النَّوَافِلِ. 

Adapun kelompok pertama, mereka berada dalam keadaan yang disebut oleh Ibnu Athaillah sebagai "keadaan tajrid," yaitu keadaan di mana mereka terlepas dari urusan duniawi. Maka, yang diharapkan dari mereka adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak beribadah, berbuat kebaikan, berzikir, dan memperbanyak amalan sunnah.

وَأَمَّا الطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ، فَهِيَ تَمُرُّ مِنَ الْوَضْعِ الَّذِي هِيَ فِيهِ بِمَا سَمَّاهُ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ مَرْحَلَةَ الْإِقَامَةِ فِي الْأَسْبَابِ. فَالْمَطْلُوبُ مِنْ أَفْرَادِ هَذِهِ الطَّائِفَةِ التَّعَامُلُ مَعَ الْأَسْبَابِ الَّتِي أَقَامَهُمُ اللهُ فِيهَا وَأَلْزَمَهُمْ بِهَا. فَالطَّبِيبُ مِنْهُمْ مُكَلَّفٌ بِرِعَايَةِ الْكُتْلَةِ الَّتِي كُلِّفَ بِالسَّهَرِ عَلَى صِحَّتِهَا وَمُعَالَجَةِ الْمَرْضَى وَأُولِي الْأَسْقَامِ فِيهَا. وَمُتَعَهِّدُو الْخِدْمَاتِ الْأُخْرَى مُكَلَّفُونَ بِالْقِيَامِ بِمَا قَدْ تَعَهَّدُوا بِهِ عَلَى خَيْرِ وَجْهٍ. 

Sedangkan kelompok kedua, mereka berada dalam keadaan yang disebut oleh Ibnu Athaillah sebagai "keadaan ikatan dengan sebab-sebab duniawi." Maka, yang diharapkan dari mereka adalah menjalankan tanggung jawab yang telah Allah berikan kepada mereka. Dokter, misalnya, bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan jamaah yang dipercayakan kepada mereka, mengobati yang sakit, dan merawat mereka yang membutuhkan. Penyedia layanan lainnya juga bertanggung jawab untuk menjalankan tugas yang telah mereka emban dengan sebaik-baiknya.

فَلَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ تَنَاسَى الْمَسْؤُولِيَّةَ الَّتِي أُنِيطَتْ بِهِ، إِذْ أَقَامَهُ اللهُ سَبَبًا لِإِحْدَى الْخِدْمَاتِ الْكَثِيرَةِ لِلْحُجَّاجِ، وَأَمْضَى أَوْقَاتَهُ كُلَّهَا أَوْ جُلَّهَا فِي الْبَيْتِ الْحَرَامِ طَائِفًا سَاعِيًا رَاكِعًا سَاجِدًا يَتْلُو الْقُرْآنَ وَيُكَرِّرُ الْأَذْكَارَ وَالْأَوْرَادَ، مُهْمِلًا سَبَبِيَّتَهُ الَّتِي أَقَامَهُ اللهُ عَلَيْهَا فِي خِدْمَةِ الْمُحْتَاجِينَ وَتَطْبِيبِ الْمَرْضَى، فَهُوَ مُفْتَئِتٌ عَلَى شَرْعِ اللهِ عَابِثٌ بِنِظَامِ هَدْيِهِ، ذَلِكَ لِأَنَّ اللهَ أَقَامَهُ مِنَ الْوَضْعِ الَّذِي هُوَ فِيهِ، فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ، فَتَجَاهَلَهُ وَتَنَاسَاهُ مُصْطَنِعًا لِنَفْسِهِ حَالَةَ التَّجَرُّدِ الَّتِي هُوَ، بِحُكْمِ الشَّرْعِ الْإِسْلَامِيِّ، بَعِيدٌ عَنْهَا. 

Seandainya salah satu dari mereka melupakan tanggung jawab yang telah diamanahkan kepadanya, padahal Allah telah menempatkannya sebagai penyebab dalam menyediakan layanan penting bagi jamaah, dan ia malah menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di Masjidil Haram dengan bertawaf, berlari sa’i, rukuk, sujud, membaca Al-Qur'an, dan berzikir, sementara ia mengabaikan tanggung jawabnya dalam melayani yang membutuhkan dan mengobati yang sakit, maka ia telah melanggar syariat Allah dan mengabaikan aturan-Nya. Ini karena Allah telah menempatkannya dalam keadaan terkait dengan sebab-sebab duniawi, namun ia mengabaikan dan melupakannya, serta menciptakan bagi dirinya sendiri keadaan tajrid yang seharusnya tidak berlaku baginya menurut hukum syariat Islam.

وَكَمْ فِي النَّاسِ مِنْ يَتَوَرَّطُ فِي هَذَا الْعَبَثِ، لَدَى تَوَجُّهِهِمْ حُجَّاجًا إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ، يَتَعَامَلُونَ مَعَ عَنَاوِينِ الْإِسْلَامِ وَأَلْفَاظِهِ الْمُضِيئَةِ، وَيَتَجَاهَلُونَ مُضَامِينَهُ وَمَبَادِئَهُ الْإِنْسَانِيَّةَ الْقَوِيمَةَ!

Betapa banyak orang yang terjerumus dalam kekeliruan ini ketika mereka berangkat haji ke Baitullah. Mereka berinteraksi dengan simbol-simbol dan kata-kata Islam yang bersinar, namun mengabaikan esensi dan prinsip-prinsip kemanusiaannya yang lurus! 

الْمِثَالُ الثَّانِي: شَابٌّ قَالَ لَهُ وَالِدُهُ: سَأُقَدِّمُ لَكَ كُلَّ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَسْبَابِ الْمَعِيشَةِ عَلَى اخْتِلَافِهَا، وَلَنْ أُكَلِّفَكَ بِأَيِّ نَفَقَةٍ مِمَّا تُرِيدُ أَنْ تَعُودَ بِهِ إِلَى نَفْسِكَ، عَلَى أَنْ تَتَفَرَّغَ لِدِرَاسَةِ كِتَابِ اللهِ وَتَعَلُّمِ شَرِيعَتِهِ. إِذَنْ فَقَدْ أَقَامَ اللهُ هَذَا الْإِنْسَانَ فِي مَنَاخِ التَّجْرِيدِ بِمُقْتَضَى مِيزَانِ الشَّرْعِ وَحُكْمِهِ، وَالْمَطْلُوبُ مِنْهُ إِذَنْ أَنْ يَتَعَامَلَ مَعَ هَذَا الَّذِي أَقَامَهُ اللهُ فِيهِ، فَيَنْصَرِفَ إِلَى دِرَاسَةِ كِتَابِ اللهِ وَتَعَلُّمِ شَرْعِهِ وَالتَّفَقُّهِ فِي دِينِهِ. 

Contoh kedua: Seorang pemuda yang ayahnya berkata kepadanya, "Aku akan menyediakan segala kebutuhan hidupmu tanpa memintamu menanggung biaya apapun yang ingin kau belanjakan untuk dirimu sendiri, asalkan kau sepenuhnya fokus pada mempelajari Kitab Allah dan mempelajari syariat-Nya." Maka Allah telah menempatkan orang ini dalam kondisi tajrid menurut syariat, dan yang diharapkan darinya adalah mengarahkan dirinya kepada apa yang telah Allah tetapkan untuknya, yaitu mempelajari Kitab Allah, mempelajari syariat-Nya, dan memahami agamanya. 

وَلَا يُقَالُ لِمِثْلِ هَذَا الْإِنْسَانِ: إِنَّ الشَّرْعَ يَأْمُرُكَ بِالتَّسَبُّبِ لِلرِّزْقِ وَيَنْهَى عَنْ الرُّكُونِ إِلَى الْبَطَالَةِ.. ذَلِكَ لِأَنَّ الَّذِي يَأْمُرُهُ الشَّرْعُ بِأَنْ يَغْدُوَ إِلَى السُّوقِ فَيَبْحَثَ عَنْ مَصْدَرٍ لِرِزْقِهِ، هُوَ الَّذِي لَيْسَ لَهُ مَنْ يَتَكَلَّفُ بِرِزْقِهِ وَاحْتِيَاجَاتِهِ، كَوَالِدٍ وَنَحْوِهِ. أَمَّا مَنْ قَيَّضَ اللهُ لَهُ مُتَكَلِّفًا لِاحْتِيَاجَاتِهِ، كَهَذَا الْإِنْسَانِ فَلَا يُخَاطَبُ مِنْ قِبَلِ الشَّارِعِ بِهَذَا الْأَمْرِ، وَلِأَنَّ الشَّرْعَ يَأْمُرُ بِالتَّسَبُّبِ لِلرِّزْقِ كَيْ لَا يَجْنَحَ الْإِنْسَانُ عَنْ ذَلِكَ إِلَى الْبَطَالَةِ. أَمَّا هَذَا فَلَمْ يَرْكُنْ إِلَى الْبَطَالَةِ، بَلْ تَحَوَّلَ مِنَ السَّعْيِ فِي سَبِيلِ التَّرَزُّقِ الَّذِي تَكَفَّلَ لَهُ بِهِ وَالِدُهُ إِلَى السَّعْيِ مِنْ أَجْلِ مَعْرِفَةِ الشَّرْعِ وَالتَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ. وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ: «مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ» (١). (١) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَأَحْمَدُ، مِنْ حَدِيثِ مُعَاوِيَةَ وَحَدِيثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَرَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ. 

Tidak bisa dikatakan kepada orang seperti ini bahwa syariat memerintahkanmu untuk mencari rezeki dan melarangmu dari bermalas-malasan. Sebab, syariat memerintahkan orang untuk mencari rezeki jika tidak ada yang menanggung kebutuhan hidupnya, seperti ayah atau orang lain.

Sedangkan bagi orang yang Allah sediakan seseorang untuk menanggung kebutuhannya, seperti orang ini, maka dia tidak diwajibkan oleh syariat untuk mencari nafkah. Sebab, syariat memerintahkan orang untuk mencari nafkah agar tidak cenderung kepada kemalasan. Namun, orang ini tidak memilih kemalasan, melainkan berpindah dari mencari nafkah yang telah ditanggung oleh ayahnya, kepada usaha untuk memahami syariat dan mendalami agama. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkannya dalam agama." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dari hadis Muawiyah dan Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis Abu Hurairah).

وَيَنْطَبِقُ هَذَا الْمِثَالُ عَلَيَّ فِي أَوَّلِ عَهْدِي بِالدِّرَاسَةِ، فَقَدْ صَرَفَنِي وَالِدِي عَمَّا كَانَ مِنَ الْمَفْرُوضِ أَنْ أَتَّجِهَ إِلَيْهِ كَسَائِرِ أَنْدَادِي، مِنَ الْبَحْثِ عَنْ وَسَائِلِ الرِّزْقِ وَجَمْعِ الْمَالِ، وَأَلْزَمَ نَفْسَهُ بِكُلِّ احْتِيَاجَاتِي الْمَالِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ، وَقَالَ لِي - وَلَمْ أَكُنْ قَدْ تَجَاوَزْتُ الْخَامِسَةَ عَشْرَ بَعْدُ -: لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ الطَّرِيقَ إِلَى اللهِ يَكْمُنُ فِي كَسْحِ الْقُمَامَةِ لَجَعَلْتُ مِنْكَ زَبَّالًا، وَلَكِنِّي نَظَرْتُ فَوَجَدْتُ أَنَّ الطَّرِيقَ الْمُوصِلَ إِلَى اللهِ إِنَّمَا يَكُونُ فِي دِرَاسَةِ دِينِهِ وَتَعَلُّمِ شَرْعِهِ، فَاسْلُكْ إِذَنْ هَذَا الطَّرِيقَ.

وَهكَذَا فَقَدْ وَضَعَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ قَرَارِ وَالِدِي وَالْتِزَامِهِ، فِي حَالَةِ التَّجْرِيدِ بِمُقْتَضَى الشَّرْعِ وَحُكْمِهِ. 

Contoh ini berlaku juga untuk diriku pada awal masa studiku. Ayahku mengarahkan aku dari apa yang seharusnya kutempuh, seperti teman-teman sebayaku yang lain, yaitu mencari nafkah dan mengumpulkan harta. Ia menanggung semua kebutuhan finansial dan duniawiku, dan berkata kepadaku -saat itu aku belum melewati usia lima belas tahun: "Jika aku tahu bahwa jalan menuju Allah terletak pada menyapu sampah, aku akan menjadikanmu seorang penyapu jalan. Namun, aku melihat bahwa jalan yang membawa kepada Allah hanya ada dalam mempelajari agamanya dan mempelajari syariat-Nya, maka tempuhlah jalan ini." 

Maka dari keputusan dan komitmen ayahku, Allah menempatkanku dalam kondisi tajrid menurut syariat dan hukumnya.

وَقَدْ أَقْبَلَ إِلَيَّ جَمْعٌ مِنَ الرِّفَاقِ آنَذَاكَ، يَدْعُونَنِي إِلَى السَّيْرِ مَعَهُمْ فِي طَرِيقِ الْكَدْحِ وَالْكِفَاحِ مِنْ أَجْلِ الرِّزْقِ وَجَمْعِ الْمَالِ، وَيُحَذِّرُونَنِي مِنْ أَنَّ الِاسْتِرْسَالَ فِي النَّهْجِ الَّذِي دَفَعَنِي وَالِدِي إِلَيْهِ، سَيَجْعَلُنِي عَالَةً عَلَى الْمُجْتَمَعِ، وَيَزُجُّنِي فِي طَرِيقِ الِاسْتِجْدَاءِ!.

Pada saat itu, sekelompok teman mendatangiku, mengajakku untuk mengikuti jalan kerja keras dan perjuangan demi mencari nafkah dan mengumpulkan uang. Mereka memperingatkanku bahwa jika aku terus mengikuti jalan yang diarahkan oleh ayahku, aku akan menjadi beban bagi masyarakat dan terjerumus dalam jalan pengemis.

وَلَكِنَّ اللَّهَ سَلَّمَ وَلَطَفَ.. فَصَبَرْتُ عَلَى النَّهْجِ الَّذِي سَلَكَنِي فِيهِ وَالِدِي بَعْدَ أَنْ الْتَزَمَ بِكُلِّ احْتِيَاجَاتِي، وَأَعْرَضْتُ عَنِ التَّحْذِيرِ وَالْإِغْرَاءَاتِ اللَّذَيْنِ لَاحَقَنِي بِهِمَا الرِّفَاقُ.. فَهَلْ كُنْتُ بِذَلِكَ مُتَنَكِّبًا عَنِ الشَّرْعِ أَمْ مُطَبِّقًا لِحُكْمِ الشَّرْعِ؟.. لَمْ أَكُنْ أَدْرِي أَيَّ جَوَابٍ عَنْ هَذَا السُّؤَالِ آنَذَاكَ، وَلَكِنِّي كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّنِي أَنْقَادُ لِأَمْرِ وَالِدِي وَتَوَجُّهِهِ، وَهَذَا مَا يَأْمُرُ بِهِ اللَّهُ. 

Namun, Allah melindungiku dan menunjukkan kebaikan-Nya. Aku bersabar dalam menempuh jalan yang ayahku pilihkan untukku, setelah ia menanggung semua kebutuhanku. Aku pun menolak peringatan dan bujukan dari teman-temanku. Apakah dengan begitu aku menyimpang dari syariat ataukah menerapkan hukum syariat? Saat itu, aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan ini, tetapi aku tahu bahwa aku mengikuti perintah dan arahan ayahku, dan itulah yang diperintahkan oleh Allah.

أَمَّا الْيَوْمَ فَأَنَا عَلَى يَقِينٍ بِأَنَّنِي بِالْإِضَافَةِ إِلَى الِاسْتِجَابَةِ لِأَمْرِ وَالِدِي، كُنْتُ مُنْسَجِمًا فِي تِلْكَ الِاسْتِجَابَةِ لِشَرْعِ اللَّهِ وَحُكْمِهِ. وَهَيْهَاتَ أَنْ يَرْضَى وَالِدِي بِهَذَا الَّذِي اخْتَارَهُ لِي وَوَجَّهَنِي إِلَيْهِ، لَوْ عَلِمَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِشَرْعِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. 

Namun hari ini, saya yakin bahwa selain menuruti perintah ayah saya, saya juga sejalan dengan syariat Allah dan ketetapan-Nya dalam melakukannya. Tidak mungkin ayah saya akan menyetujui apa yang dipilihnya untuk saya dan mengarahkan saya ke sana jika dia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan syariat Allah Yang Maha Agung. 

وَلَا شَكَّ أَنَّنِي لَمْ أَتَعَرَّضْ لِشَيْءٍ مِنَ الْمَخَاوِفِ الَّتِي حَذَّرَنِي مِنْهَا بَعْضُ الرِّفَاقِ، بَلِ الَّذِي تَعَرَّضْتُ لَهُ وَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ هُوَ نَقِيضُ تِلْكَ الْمَخَاوِفِ.. سِلْسِلَةٌ مِنَ الْمَكْرُمَاتِ الْإِلَهِيَّةِ وَالْمَنَحِ الرَّبَّانِيَّةِ لَاحَقَتْنِي مِنْ حَيْثُ لَا أَحْتَسِبُ، وَغَمَرَنِي اللَّهُ مِنْهَا بِنِعَمٍ وَمِنَنٍ لَا تُحْصَى.

Tidak diragukan lagi, saya tidak menghadapi ancaman yang diperingatkan oleh beberapa teman saya. Sebaliknya, saya justru mendapatkan hal yang bertolak belakang dengan ancaman tersebut. Rangkaian anugerah ilahi dan pemberian dari Tuhan terus mengalir kepada saya dari arah yang tidak saya duga, dan Allah melimpahkan kepada saya nikmat dan karunia yang tak terhitung banyaknya.

الْمِثَالُ الثَّالِثُ: رَجُلٌ أَقَامَهُ اللَّهُ مِنْ عَمَلِهِ الدُّنْيَوِيِّ فِي حَانُوتٍ أَوْ مَحَلٍّ تِجَارِيٍّ، يَكْدَحُ فِيهِ مِنْ أَجْلِ الرِّزْقِ يَعُودُ بِهِ إِلَى أُسْرَتِهِ الَّتِي جَعَلَهُ اللَّهُ مَسْؤُولًا عَنْهَا. وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إِنْ تَعَهَّدَ مَتْجَرَهُ هَذَا كُلَّ يَوْمٍ مِنَ التَّاسِعَةِ صَبَاحًا إِلَى السَّابِعَةِ مَسَاءً، فَلَسَوْفَ يُكْرِمُهُ اللَّهُ بِرِزْقٍ وَفِيرٍ وَنِعْمَةٍ كَافِيَةٍ. إِذَنْ فَالشَّرْعُ يَقُولُ لَهُ:

Contoh ketiga: Seorang pria yang ditempatkan oleh Allah dalam pekerjaan duniawinya di sebuah toko atau tempat usaha, bekerja keras di sana untuk mencari nafkah yang akan dia bawa pulang untuk keluarganya, yang Allah tugaskan kepadanya. Dia tahu bahwa jika dia menjaga tokonya setiap hari dari pukul sembilan pagi hingga tujuh malam, Allah akan memberinya rezeki yang berlimpah dan berkah yang cukup. Maka, syariat mengatakan kepadanya:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَقَامَكَ مِنَ التَّاسِعَةِ صَبَاحًا إِلَى السَّابِعَةِ مَسَاءً فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ، وَإِنَّمَا وَاجِبُكَ التَّعَامُلُ وَالِانْسِجَامُ مَعَهُ خِلَالَ هَذِهِ الْمُدَّةِ مِنْ كُلِّ يَوْمٍ. وَأَقَامَكَ فِيمَا قَبْلَ ذَلِكَ مِنَ الصَّبَاحِ وَمَا بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الْمَسَاءِ فِي عَالَمِ التَّجْرِيدِ، وَإِنَّمَا وَاجِبُكَ خِلَالَ هَاتَيْنِ الْحَاشِيَتَيْنِ مِنْ عَمَلِكَ الْيَوْمِيِّ، أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ مُقْتَضَى هَذَا التَّجْرِيدِ الَّذِي أَقَامَكَ اللَّهُ فِيهِ، فَتُقْبِلَ عَلَى مَعَارِفِكَ الْإِسْلَامِيَّةِ تَنْمِيهَا وَتَتَعَهَّدَهَا، وَتُقْبِلَ إِلَى الطَّاعَاتِ وَالْعِبَادَاتِ وَالْقُرُبَاتِ تَسْتَزِيدُ مِنْهَا.

Allah telah menempatkanmu dari pukul sembilan pagi hingga tujuh malam dalam dunia sebab-akibat, dan kewajibanmu adalah berurusan dan selaras dengan itu selama waktu tersebut setiap hari. Dan Allah menempatkanmu dalam dunia ketulusan (tajrid) sebelum dan sesudah waktu itu, dan kewajibanmu selama dua waktu ini adalah menjalankan ketulusan yang Allah tempatkan padamu, dengan memperdalam pengetahuan Islamimu, merawatnya, dan meningkatkan ketaatan, ibadah, serta mendekatkan diri kepada-Nya.

إِذَنْ، فَمِيزَانُ الشَّرْعِ هُوَ الَّذِي يَرْسُمُ حُدُودَ الزَّمَنِ الَّذِي يَخْضَعُ فِيهِ هَذَا التَّاجِرُ لِعَالَمِ الْأَسْبَابِ، وَحُدُودَ الزَّمَنِ الَّذِي يَخْضَعُ فِيهِ لِعَالَمِ التَّجْرِيدِ. وَالْمَطْلُوبُ مِنْهُ أَنْ يَتَبَيَّنَ هَذِهِ الْحُدُودَ وَلَا يَفْتَئِتَ عَلَى أَيٍّ مِنَ الْمَنَاخَيْنِ أَوِ الزَّمَانَيْنِ لِمُرَاعَاةِ الْآخَرِ.

Jadi, timbangan syariatlah yang menentukan batasan waktu di mana seorang pedagang tunduk pada dunia sebab-akibat, dan batasan waktu di mana ia tunduk pada dunia ketulusan (tajrid). Yang diharapkan darinya adalah memahami batas-batas ini dan tidak melampaui salah satu dari dua dunia atau dua waktu demi menjaga yang lain.

وَإِنِّي لَأَذْكُرُ عَهْدًا مَضَى، كَانَ أَكْثَرُ الَّذِينَ يَصْفِقُونَ فِي الْأَسْوَاقِ مِنْ تِجَارِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ، يُطَبِّقُونَ هَذِهِ الْحِكْمَةَ الَّتِي يَقُولُهَا ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ، بَلْ يَقْضِي بِهَا الشَّرْعُ وَالدِّينُ،كَأَدَقِّ مَا يَكُونُ التَّطْبِيقُ، وَلِأَضْرِبَ مَثَلًا بِسُوقِ مِدْحَتْ بَاشَا الَّذِي كَانَ الْمُلْتَقَى الْأَوَّلَ لِكِبَارِ تُجَّارِ دِمَشْقَ.

Saya ingat masa lalu ketika kebanyakan pedagang di pasar kota ini, yang melakukan transaksi, menerapkan kebijaksanaan yang dikatakan oleh Ibn Atha'illah dengan sangat tepat, sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat dan agama. Sebagai contoh, Pasar Midhat Pasha, yang merupakan tempat pertemuan utama bagi para pedagang besar di Damaskus.

لَمْ يَكُنْ هَذَا السُّوقُ يَسْتَيْقِظُ لِلْحَرَكَةِ التِّجَارِيَّةِ قَبْلَ الْعَاشِرَةِ صَبَاحًا، وَلَمْ يَكُنْ يَسْتَمِرُّ إِلَّا إِلَى مَا قَبْلَ أَذَانِ الْمَغْرِبِ بِسَاعَةٍ.

Pasar ini tidak memulai aktivitas perdagangan sebelum pukul sepuluh pagi, dan hanya berlangsung hingga satu jam sebelum azan maghrib.

فِي هَذِهِ السَّاعَاتِ مِنَ النَّهَارِ كَانَ السُّوقُ يَشْهَدُ نَشَاطًا تِجَارِيًّا عَالِيًا.. فَإِذَا دَنَتْ سَاعَةُ الْغُرُوبِ، أَظْلَمَ السُّوقُ، وَأُغْلِقَتِ الْحَوَانِيتُ، وَغَابَتْ عَنْهُ الْحَرَكَةُ وَدَبَّتْ فِيهِ الْوَحْشَةُ، وَتَحَوَّلَ أَقْطَابُ تِلْكَ السُّوقِ مِنَ التُّجَّارِ وَأَرْبَابِ الْمَالِ وَرِجَالِ الْأَعْمَالِ، إِلَى طُلَّابٍ لِعُلُومِ الشَّرِيعَةِ تَتَوَازَعُهُمُ الْمَسَاجِدُ أَوْ بُيُوتُ الْعُلَمَاءِ. وَقَدْ تَأَبَّطَ كُلٌّ مِنْهُمْ كِتَابَهُ فِي الْفِقْهِ أَوِ التَّفْسِيرِ أَوِ الْعَقِيدَةِ، مُعْرِضًا عَنْ مُشْكِلَاتِ التِّجَارَةِ وَالْمَالِ، مُتَّجِهًا بِاهْتِمَامٍ وَدِقَّةٍ إِلَى دِرَاسَةِ أَكْثَرَ مِنْ عِلْمٍ مِنْ عُلُومِ الْإِسْلَامِ. 

Pada jam-jam siang tersebut, pasar dipenuhi dengan aktivitas perdagangan yang sangat tinggi. Namun, ketika waktu senja mendekat, pasar menjadi gelap, toko-toko ditutup, aktivitas pun berhenti, dan suasana sepi mulai terasa. Para pedagang, pemilik modal, dan pengusaha yang menjadi penggerak pasar tersebut, berubah menjadi pencari ilmu syariah yang memenuhi masjid-masjid atau rumah-rumah ulama. Masing-masing membawa buku fiqih, tafsir, atau akidah, mengalihkan perhatian mereka dari urusan perdagangan dan keuangan, dan dengan penuh konsentrasi mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam.

فَإِذَا أَقْبَلَ الصَّبَاحُ بَدَأَ كُلٌّ مِنْهُمْ نَهَارَهُ طَالِبَ عِلْمٍ مَرَّةً أُخْرَى، وَحَضَرَ عِدَّةَ دُرُوسٍ مُتَتَابِعَةٍ أُخْرَى عَلَى أَحَدِ الشُّيُوخِ الْأَجِلَّاءِ فِي ذَلِكَ الْعَصْرِ. ثُمَّ عَادَ كُلٌّ مِنْهُمْ إِلَى دَارِهِ يُبَاسِطُ أَهْلَهُ وَأَوْلَادَهُ وَيَتَنَاوَلُ إِفْطَارَ الصَّبَاحِ مَعَهُمْ، وَيَأْخُذُ قِسْطَهُ اللَّازِمَ مِنَ الرَّاحَةِ، لِيَعُودَ فِي الْعَاشِرَةِ تَقْرِيبًا إِلَى سُوقِهِ التِّجَارِيَّةِ.

Ketika pagi datang, mereka memulai hari kembali sebagai penuntut ilmu, menghadiri beberapa pelajaran berurutan dari salah satu ulama terkemuka pada masa itu. Setelah itu, mereka pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga dan anak-anak mereka, sarapan bersama, dan mengambil istirahat yang cukup, sebelum kembali ke pasar sekitar pukul sepuluh pagi.

إِذَنْ، فَقَدْ كَانَتْ سَاعَاتُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فِي حَيَاةِ أُولَئِكَ التُّجَّارِ، مَقْسُومَةً مَا بَيْنَ عَالَمِ التَّجَرُّدِ وَعَالَمِ الْأَسْبَابِ. وَكَانُوا يُعْطُونَ كُلًّا مِنْهُمَا حَقَّهُ كَامِلًا غَيْرَ مَنْقُوصٍ. فَلَمْ يَكُنْ يَطْغَى جَانِبٌ مِنْهُمَا عَلَى جَانِبٍ. 

Jadi, waktu siang dan malam dalam kehidupan para pedagang tersebut dibagi antara dunia spiritual dan dunia usaha. Mereka memberikan hak yang penuh kepada kedua dunia tersebut tanpa ada yang lebih dominan. Tidak ada satu sisi yang mengalahkan sisi lainnya.

وَلَعَلَّ الْقَارِئَ الْكَرِيمَ يَتَبَيَّنُ مِنْ كَلَامِي هَذَا صُورَةً غَرِيبَةً عَنْ وَاقِعِ أَكْثَرِ التُّجَّارِ وَرِجَالِ الْأَعْمَالِ الْيَوْمَ، أَجَلَ، هِيَ فِعْلًا صُورَةٌ غَرِيبَةٌ، فَلَقَدْ خَلَفَ مِنْ بَعْدِ أُولَئِكَ الرِّجَالِ خَلْفٌ أَغْرَقُوا أَنْفُسَهُمْ فِي حَمْأَةِ الدُّنْيَا وَاسْتَسْلَمُوا بِشَكْلٍ كُلِّيٍّ وَدَائِمِيٍّ لِعَالَمِ الْأَسْبَابِ، غُدُوُّهُمْ وَرَوَاحُهُمْ حَرَكَةٌ دَائِبَةٌ وَرَاءَ التِّجَارَةِ وَالْمَالِ، وَلَيَالِيهِمْ وَسَهَرَاتُهُمْ مُنَاقَشَاتٌ وَمُشَاوَرَاتٌ حَوْلَ مُشْكِلَاتِ التِّجَارَةِ وَعَثَرَاتِهَا وَسُبُلِ التَّغَلُّبِ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَاضَ لَدَيْهِمْ عَنْ ذَلِكَ وَقْتٌ، صَرَفُوهُ إِلَى الْحَفَلَاتِ وَالْمَآدِبِ وَسَهَرَاتِ الْأُنْسِ الدُّنْيَوِيِّ وَمَتَاعِبِ الْقِيلِ وَالْقَالِ!.. وَاللَّهُ هُوَ الْمَأْمُولُ وَالْمُسْتَعَانُ أَنْ يَجْذِبَهُمْ بِتَوْفِيقٍ مِنْهُ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ سَلَفُهُمْ قَبْلَ أَرْبَعِينَ عَامًا لَا أَكْثَرَ، مِنْ تَقْسِيمِ أَوْقَاتِهِمْ بَيْنَ عَالَمَيْ التَّجْرِيدِ وَالْأَسْبَابِ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي وَصَفْتُ وَالَّذِي لَا تَزَالُ ذِكْرَاهُ الْفَوَّاحَةُ الْعَطِرَةُ مَاثِلَةً فِي أَخِيلَةِ الشُّيُوخِ بَلِ الْكُهُولِ مِنْ أَهْلِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ. 

Mungkin pembaca yang terhormat menemukan gambaran ini aneh jika dibandingkan dengan kenyataan sebagian besar pedagang dan pengusaha saat ini. Memang, ini adalah gambaran yang aneh, karena generasi setelah mereka telah tenggelam dalam urusan duniawi dan sepenuhnya menyerah pada dunia usaha. Pagi dan malam mereka dipenuhi dengan aktivitas perdagangan dan urusan keuangan, dan malam mereka dihabiskan dengan diskusi dan konsultasi tentang masalah perdagangan, kendala, dan cara mengatasinya. Jika ada waktu tersisa, mereka menghabiskannya di pesta, jamuan makan, dan hiburan duniawi, serta hal-hal yang tidak penting.

Semoga Allah memberikan mereka hidayah dan pertolongan untuk kembali kepada jalan yang ditempuh oleh pendahulu mereka sekitar empat puluh tahun yang lalu. Pendahulu mereka membagi waktu mereka antara dunia spiritual dan dunia usaha dengan cara yang telah saya gambarkan, yang kenangannya masih harum dan teringat jelas dalam benak para ulama dan orang-orang tua dari kota ini.

مِثَالٌ رَابِعٌ: رَجُلٌ اتَّجَهَ إِلَى إِحْدَى الْوِلَايَاتِ الْأَمْرِيكِيَّةِ بِقَصْدِ الدِّرَاسَةِ. وَلَمَّا انْتَهَى مِنَ الدِّرَاسَةِ طَمِعَ بِالْمَالِ الْوَفِيرِ، وَالْحَيَاةِ الرَّغِيدَةِ، فَاسْتَمْرَأَ مَعَ زَوْجَتِهِ وَأَوْلَادِهِ الْعَيْشَ هُنَاكَ، وَاسْتَجَابَ لِمُغْرِيَاتِ الْوَظَائِفِ ذَاتِ الْمَرْدُودِ الْمَالِيِّ الْكَبِيرِ، وَمَرَّتْ عَلَيْهِ السِّنُونَ سَعِيدًا مُبْتَهِجًا بِعَيْشِهِ الدُّنْيَوِيِّ هُنَاكَ. أَيِّ إِنَّهُ اسْتَجَابَ لِمُتَطَلَّبَاتِ الْأَسْبَابِ الْقَائِمَةِ مِنْ حَوْلِهِ. 

Contoh keempat: Seorang pria pergi ke salah satu negara bagian Amerika Serikat untuk tujuan belajar. Setelah menyelesaikan studinya, ia tergoda oleh uang yang melimpah dan kehidupan yang nyaman, sehingga ia memilih untuk tinggal di sana bersama istri dan anak-anaknya. Ia tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan yang menawarkan penghasilan besar, dan bertahun-tahun berlalu dengan bahagia menikmati kehidupan duniawinya di sana. Dengan kata lain, ia menanggapi tuntutan kehidupan asbab yang ada di sekitarnya. 

تَرَى أَهُوَ فِي مِيزَانِ الشَّرْعِ وَحُكْمِهِ قَائِمٌ فِي عَالَمِ التَّجْرِيدِ أَمْ فِي عَالَمِ الْأَسْبَابِ؟ إِنَّ الْوَاقِعَ الَّذِي يُوَاجِهُ هَذَا الرَّجُلَ وَأَهْلَهُ، هُوَ الَّذِي يُحَدِّدُ الْجَوَابَ.

Pertanyaannya adalah, apakah menurut hukum syariat, ia hidup dalam tajrid atau asbab? Kenyataan yang dihadapi pria ini dan keluarganya adalah yang menentukan jawabannya.

وَإِذَا عُدْنَا نَتَأَمَّلُ الْوَاقِعَ الَّذِي يَتَقَلَّبُ هَذَا الرَّجُلُ مَعَ أَهْلِهِ فِي غِمَارِهِ، نَجِدُ أَنَّ أَوْلَادَهُ يُنَشَّؤُونَ هُنَاكَ تَنْشِئَةً أَمْرِيكِيَّةً تَامَّةً، رُبَّمَا كَانَ الْأَبَوَانِ مُشَدُّودَيْنِ إِلَى مَاضِيْهِمَا الْإِسْلَامِيِّ الْمُلْتَزِمِ، غَيْرَ أَنَّ مِنَ الْوَاضِحِ جِدًّا أَنَّ الْأَوْلَادَ مُشَدُّودُونَ إِلَى التَّيَّارِ الْأَمْرِيكِيِّ الْمُتَجَرِّدِ عَنْ أَيِّ الْتِزَامٍ، كَمَا قَدْ لَاحَظْتُ لَدَى زِيَارَتِي الْأُولَى لِلْوِلَايَاتِ الْمُتَّحِدَةِ وَاحْتِكَاكِي بِكَثِيرٍ مِنَ الْأُسَرِ الْإِسْلَامِيَّةِ هُنَاكَ. 

Jika kita kembali merenungkan kenyataan yang dialami pria ini bersama keluarganya, kita akan mendapati bahwa anak-anaknya dibesarkan dengan cara hidup Amerika yang sepenuhnya, mungkin kedua orang tua tetap terikat dengan masa lalu Islam mereka yang taat. Namun, sangat jelas bahwa anak-anaknya lebih terpengaruh oleh budaya Amerika yang bebas dari segala komitmen, seperti yang saya perhatikan saat kunjungan pertama saya ke Amerika Serikat dan interaksi saya dengan banyak keluarga Muslim di sana.

إِذَنْ فَشَرْعُ اللَّهِ يَقُولُ لِهَذَا الرَّجُلِ: وَيْحَك إِنَّ الْأَسْبَابَ الَّتِي تَتَعَامَلُ مَعَهَا هُنَا، غَيْرُ مُعْتَرَفٍ بِهَا فِي هَدْيِ اللَّهِ وَحُكْمِهِ؛ فَأَنْتَ إِنَّمَا تَتَقَلَّبُ هُنَا فِي عَالَمِ التَّجْرِيدِ، وَأَسْبَابُكَ الشَّرْعِيَّةُ الَّتِي تَدْعُوكَ لِلتَّعَامُلِ مَعَهَا، لَيْسَتْ هَذِهِ الَّتِي تَرْكَنُ إِلَيْهَا هُنَا، بَلْ هِيَ تِلْكَ الَّتِي تَنْتَظِرُكَ فِي بَلَدِكَ الْإِسْلَامِيِّ هُنَاكَ.

Maka dari itu, syariat Allah berkata kepada pria ini: "Celakalah engkau! Sebab, alasan-alasan (duniawi) yang engkau ikuti di sini tidak diakui dalam petunjuk dan hukum Allah. Sebenarnya, engkau berada dalam dunia tanpa sebab di sini. Alasan-alasan syar'i yang seharusnya engkau hadapi bukanlah yang ada di sini, melainkan yang menunggumu di tanah air Islam-mu di sana.

وَآيَةُ ذَلِكَ أَوْلَادُكَ الَّذِينَ يَبْتَعِدُونَ عَنْ نَهْجِكَ وَبَقَايَا التِزَامَاتِكَ رُوَيْدًا رُوَيْدًا، مُتَّجِهِينَ سِرَاعًا إِلَى الْأَفْكَارِ وَالْحَيَاةِ غَيْرِ الْإِسْلَامِيَّةِ، مُتَعَامِلِينَ بِشَغَفٍ مَعَ تَقَالِيدِ الْحَيَاةِ الْأَمْرِيكِيَّةِ وَفَلْسَفَتِهَا. 

Tanda-tandanya adalah anak-anakmu yang perlahan-lahan menjauh dari jalanmu dan sisa-sisa komitmenmu, mereka dengan cepat bergerak menuju pemikiran dan kehidupan yang tidak Islami, dengan antusias mengadopsi tradisi dan filosofi kehidupan Amerika."

وَمِثْلُ هَذَا الرَّجُلِ لَا بُدَّ أَنْ تَصُكَّ أُذْنَهُ ثُمَّ تَسْرِي بِالتَّأْثِيرِ إِلَى قَلْبِهِ حِكْمَةُ ابْنِ عَطَاءِ اللَّهِ: «.. وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ» إِنْ كَانَتْ لَدَيْهِ بَقَايَا مِنْ جَذْوَةِ الْإِيمَانِ وَهَدْيِهِ. 

Pria seperti ini harus mendengarkan dengan seksama, kemudian merenungkan dengan hatinya hikmah dari Ibn Atha’illah: "Dan keinginanmu untuk mencari sebab-sebab (duniawi) sementara Allah telah menempatkanmu dalam keadaan tanpa sebab adalah kemunduran dari tekad yang tinggi," jika ia masih memiliki sisa-sisa iman dan petunjuk di dalam dirinya.

وَالطَّرِيقَةُ الْوَحِيدَةُ لِتَنْفِيذِهِ مُقْتَضَى هَذِهِ الْحِكْمَةِ، هِيَ أَنْ يَرْحَلَ إِلَى عَالَمِ الْأَسْبَابِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي تَنْتَظِرُهُ فِي بَلْدَتِهِ الْإِسْلَامِيَّةِ الَّتِي رَحَلَ مِنْهَا لِسَبَبِ الدِّرَاسَةِ، ثُمَّ اسْتَمْرَأَ الْعَيْشَ هُنَاكَ لِلْأَسْبَابِ الْمَعِيشِيَّةِ الَّتِي كُنْتُ قَدْ ذَكَرْتُهَا. 

Satu-satunya cara untuk melaksanakan makna hikmah ini adalah dengan kembali ke dunia sebab-sebab syar'i yang menantinya di tanah air Islam yang ditinggalkannya demi alasan studi, lalu ia terbiasa tinggal di sana karena alasan kehidupan yang telah saya sebutkan sebelumnya.

فَإِنْ قَالَ الرَّجُلُ: وَلَكِنِّي لَنْ أَعْثُرَ فِي بَلَدِي عَلَى شَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ الَّتِي تُتَاحُ لِي هُنَا، وَالَّتِي غَمَرَتْنِي بِكُلِّ أَلْوَانِ الرَّخَاءِ، أَجَبْنَاهُ بِأَنَّ قَرَارَ اللَّهِ تَعَالَى يَقْضِي بِأَنْ تُضَحِّيَ بِأَسْبَابِ رِزْقِكَ مِنْ أَجْلِ سَلَامَةِ دِينِكَ، لَا بِأَنْ تُضَحِّيَ بِسَلَامَةِ دِينِكَ مِنْ أَجْلِ الْحُصُولِ عَلَى أَسْبَابِ رِزْقِكَ. 

Jika pria itu berkata, "Tetapi saya tidak akan menemukan di negara saya apa yang saya dapatkan di sini, yang telah memberi saya berbagai macam kemakmuran," maka kami akan menjawab bahwa ketetapan Allah Ta'ala menyatakan bahwa kamu harus mengorbankan sumber penghidupanmu demi keselamatan agamamu, bukan mengorbankan keselamatan agamamu demi mendapatkan sumber penghidupanmu.

عَلَى أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمُ مِنْ أَنْ يَتْرُكَكَ لِعَوَاقِبِ الْحِرْمَانِ، إِنْ أَنْتَ آثَرْتَ مُحَافَظَةً عَلَى أَوَامِرِهِ وَالِالْتِزَامَ بِشَرْعِهِ، عَلَى حُظُوظِكَ الْمَالِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ».

Selain itu, Allah Maha Pemurah untuk membiarkanmu mengalami konsekuensi kehilangan, jika kamu memilih untuk mematuhi perintah-Nya dan berpegang teguh pada syariat-Nya, di atas kepentingan finansial dan duniawimu."

تَقْرَأُ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً﴾ [النِّسَاءِ: ١٠٠/٤]

Bacalah firman-Nya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (An-Nisa’: 100) 

رُبَّمَا ابْتَلَاكَ لِيَسْتَبِينَ ثَبَاتُكَ وَصِدْقُ مَشَارِكَ، وَلَكِنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يُكْرِمَكَ أَخِيرًا بِمَا يُسْعِدُكَ وَيَرْضِيكَ. 

Mungkin Allah mengujimu untuk melihat keteguhan dan keikhlasanmu, tetapi pada akhirnya Dia pasti akan memuliakanmu dengan sesuatu yang membahagiakan dan memuaskan hatimu.

وَدَعْنِي أُحَدِّثْكَ بِقِصَّةِ شَابٍّ كَانَ يَغْشَى دُرُوسَ الْحِكَمِ الْعَطَائِيَّةِ هَذِهِ فِي مَسْجِدِ السِّنْجَقْدَارِ بِدِمَشْقَ، كَانَتْ أَسْبَابُ الدُّنْيَا مُدَبِّرَةً عَنْهُ وَكَانَ يَنْقُبُ عَنْهَا فِي حَالَةٍ شَدِيدَةٍ مِنَ الضَّنْكِ، أَيْ فَكَانَ يَمُرُّ بِهَذَا الَّذِي يُسَمِّيهِ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ حَالَ التَّجْرِيدِ.. وَزِيَادَةً فِي الِابْتِلَاءِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، كَانَتْ تُوَاجِهُهُ فُرَصٌ سَانِحَةٌ، الْوَاحِدَةُ مِنْهَا تِلْوَ الْأُخْرَى، مَزَاوِلَةُ أَعْمَالٍ مِنْ شَأْنِهَا أَنْ تُفِيدَهُ بِرِزْقٍ وَفِيرٍ، غَيْرَ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ أَعْمَالًا مَقْبُولَةً فِي مِيزَانِ الشَّرْعِ. فَكَانَ كُلَّمَا لَاحَتْ لَهُ مِنْهَا فُرْصَةٌ جَاءَ يَسْأَلُنِي عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِي التَّعَامُلِ مَعَ تِلْكَ الْفُرْصَةِ.

Izinkan saya menceritakan kisah seorang pemuda yang sering menghadiri pelajaran Hikam Al-‘Atha’iyah di Masjid Sinjaqdar di Damaskus. Kala itu, dunia seakan menjauh darinya, dan dia berusaha mencarinya dalam keadaan sangat sulit. Dia berada dalam situasi yang oleh Ibn ‘Atha’illah disebut sebagai keadaan tajrid (keterlepasan dari sebab-sebab duniawi). Sebagai ujian tambahan dari Allah SWT, dia sering dihadapkan pada peluang-peluang emas satu demi satu—pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan yang melimpah, tetapi sayangnya pekerjaan-pekerjaan itu tidak sesuai dengan syariat. Setiap kali sebuah peluang datang, dia datang kepadaku untuk meminta fatwa tentang hukum syariat dalam menghadapi peluang tersebut.

وَلَقَدْ كُنْتُ أَقِفُ مِنْ اسْتِفْتَائِهِ بَيْنَ الْإِشْفَاقِ الشَّدِيدِ عَلَى حَالِهِ مِنَ الضَّنْكِ الَّذِي يُعَانِيهِ، وَبَيْنَ ضَرُورَةِ الْأَمَانَةِ مَعَ أَوَامِرِ اللَّهِ وَأَحْكَامِهِ.. وَلَكِنَّ صِدْقَهُ مَعَ اللَّهِ كَانَ يُشَجِّعُنِي عَلَى أَنْ أَقُولَ لَهُ: إِنَّكَ تَسْتَشِيرُنِي وَالْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ أَخُونَكَ مِنْ حَيْثُ أَخُونُ دِينَكَ الَّذِي أَرَاهُ غَالِيًا عَلَيْكَ، إِنَّ هَذَا الْعَمَلَ الَّذِي عُرِضَ عَلَيْكَ غَيْرُ شَرْعِيٍّ.. فَكَانَ يُعْرِضُ عَنْ تِلْكَ الْفُرْصَةِ السَّانِحَةِ وَيُوَاصِلُ الصَّبْرَ عَلَى بُؤْسِهِ وَفَقْرِهِ. 

Aku berada di antara perasaan kasihan yang mendalam terhadap kesulitan yang dia alami dan kewajiban untuk menjaga amanah dalam menyampaikan perintah dan hukum Allah. Namun, kejujurannya dengan Allah mendorongku untuk mengatakan kepadanya: "Kamu meminta nasihat dariku, dan orang yang dimintai nasihat harus amanah. Tidak boleh aku mengkhianatimu dengan cara mengkhianati agamamu yang sangat kamu hargai. Pekerjaan ini tidak sesuai dengan syariat." Maka dia menolak peluang tersebut dan terus bersabar menghadapi kesulitan dan kemiskinannya.

وَتَمُرُّ بِهِ بَعْدَ حِينٍ فُرْصَةٌ أُخْرَى، وَيَعُودُ فَيَسْأَلُنِي عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِيهَا، وَأَنْظُرُ فَأَرَاهَا هِيَ الْأُخْرَى مَلْغُومَةٌ وَمُحَرَّمَةٌ، فَأُعِيدُ لَهُ الْجَوَابَ ذَاتَهُ، وَيَعُودُ هُوَ إِلَى الصَّبْرِ ذَاتِهِ، رَاضِيًا بِحَالَةِ التَّجْرِيدِ الَّتِي أَقَامَهُ اللَّهُ فِيهَا بِمُقْتَضَى مِيزَانِ شَرْعِهِ. 

Setelah beberapa waktu, kesempatan lain datang kepadanya. Dia kembali bertanya padaku tentang hukum syariat terkait kesempatan tersebut. Ketika aku memeriksanya, ternyata kesempatan ini juga penuh dengan jebakan dan haram. Aku pun memberinya jawaban yang sama, dan dia kembali bersabar, menerima keadaan *tajrid* (keterlepasan dari sebab-sebab duniawi) yang Allah tetapkan untuknya sesuai dengan hukum syariat.

فَمَاذَا كَانَتْ عَاقِبَةُ صَبْرِهِ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ؟

فَتَحَ اللَّهُ أَمَامَهُ نَافِذَةً إِلَى سَبَبٍ نَقِيٍّ طَاهِرٍ لِرِزْقٍ وَافِرٍ كَرِيمٍ، مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، انْتَقَلَ بِحُكْمِ ذَلِكَ إِلَى الْمَدِينَةِ الْمُنَوَّرَةِ، وَتَزَوَّجَ، وَرَزَقَهُ اللَّهُ الْأَوْلَادَ وَعَادَ فَاشْتَرَى بَيْتًا فَسِيحًا فِي مَسْقِطِ رَأْسِهِ دِمَشْقَ، وَمِنْ خِلَالِ تَعَامُلِهِ الشَّرْعِيِّ مَعَ الْأَسْبَابِ أَصْبَحَ يَتَرَدَّدُ بَيْنَ مَرْكَزِ عَمَلِهِ فِي الْمَدِينَةِ، وَمَوْطِنِهِ وَمُلْتَقَى أَهْلِهِ فِي دِمَشْقَ. 

Apa hasil dari kesabarannya menghadapi keadaan tersebut? Allah membuka jalan baginya menuju rezeki yang murni, bersih, dan melimpah dari arah yang tidak disangka-sangka. Dia dipindahkan oleh kehendak Allah ke Madinah, menikah, dan Allah memberinya anak-anak. Kemudian, dia kembali membeli rumah yang luas di kampung halamannya di Damaskus. Melalui cara yang sesuai dengan syariat, dia pun bolak-balik antara tempat kerjanya di Madinah dan kampung halamannya di Damaskus, tempat berkumpulnya keluarga.

اسْتَسْلَمَ لِلتَّجْرِيدِ طِوَالَ الْمُدَّةِ الَّتِي ابْتَلَاهُ اللَّهُ بِهَا، ثُمَّ تَقَبَّلَ كَرَمَ اللَّهِ لَهُ، عِنْدَمَا نَقَلَهُ مِنْ خِلَالِ شَرْعِهِ إِلَى عَالَمِ التَّعَامُلِ مَعَ الْأَسْبَابِ.

Dia menyerahkan diri kepada *tajrid* selama masa ujian yang diberikan Allah, dan akhirnya menerima karunia Allah ketika Dia membawanya, melalui syariat-Nya, ke dunia yang penuh dengan sebab-sebab (rezeki) yang halal.

***

أَلَا، فَلْنُعَاهِدِ اللهَ أَنْ يَكُونَ سُلُوكُنَا خَاضِعًا لِقَانُونِ هَذِهِ الْحِكْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ الَّتِي اعْتَصَرَهَا لَنَا ابْنُ عَطَاءِ اللهِ مِنْ بَيَانِ اللهِ وَهَدْيِ نَبِيِّهِ: «إِرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ، وَإِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ».

Maka, marilah kita berjanji kepada Allah untuk menjadikan perilaku kita tunduk pada hukum hikmah Ilahi ini, yang telah dirangkumkan kepada kita oleh Ibn 'Atha'illah dari penjelasan Allah dan petunjuk Nabi-Nya: *“Keinginanmu untuk hidup dalam keadaan tajrid (keterlepasan dari sebab-sebab duniawi) sementara Allah menempatkanmu di tengah sebab-sebab (rezeki) adalah keinginan yang tersembunyi dari nafsu. Dan keinginanmu untuk hidup dalam keadaan berurusan dengan sebab-sebab (rezeki) sementara Allah menempatkanmu dalam tajrid adalah kemunduran dari semangat yang luhur.”

***

* Catatan: Apabila ada kesalahan dalam penulisan arab dan terjemahan di atas, mohon dikoreksi melalui kolom komentar di bawah. Terima kasih!

Senin, 26 Agustus 2024

Hikmah 126 Menurut Syarah Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthy || Ilmu yang Bermanfaat

Hikmah ke-126:

 الحكمة السادسة والعشرون بعد المئة الثانية:

(العلم النافع هو الذي ينبسط في الصدر شعاعه ويكشف به عن القلب قناعه )

"Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang cahayanya menyebar di dada dan mengungkapkan tirai yang menutupi hati."

Mungkin makna lahiriah dari hikmah ini memberi kesan bahwa dalam ilmu itu sendiri terdapat ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Namun, kenyataannya tidak demikian, dan Ibnu ‘Aṭā’illah rahimahullah tidak bermaksud demikian dengan kata-katanya. Ilmu, dalam esensinya, selalu bermanfaat dan diinginkan dalam segala situasi. Meskipun pentingnya ilmu berbeda-beda sesuai dengan manfaatnya, dari sinilah para ulama membagi ilmu menjadi fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, dan fardu kifayah, yang ditujukan kepada sekelompok orang yang mencukupi kebutuhan ilmu tersebut bagi masyarakat lainnya.

Mungkin Anda berkata: "Tetapi ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan, seperti ilmu perbintangan (tanjim) dan sihir." Jawabannya adalah bahwa sihir pada dasarnya bukanlah ilmu, melainkan tipu daya dan penipuan, di samping sebagai alat untuk menyakiti dan merugikan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali. Begitu pula dengan ilmu perbintangan dan sejenisnya.

Karena pentingnya ilmu berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan (dengan keyakinan bahwa setiap ilmu pada dasarnya memiliki keutamaan), Anda mungkin menemukan bahwa ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, teknik, dan industri, lebih penting dalam pandangan agama daripada beberapa ilmu agama. Misalnya, ketika di suatu kota terdapat banyak ahli dalam ilmu-ilmu agama, tetapi tidak cukup ahli dalam ilmu-ilmu duniawi lainnya. Bahkan, istilah **"ilmu agama"** tidak terbatas pada ilmu-ilmu tertentu saja. Ada kalanya ilmu duniawi, yang bahkan dipelajari oleh orang-orang kafir, masuk dalam kategori ilmu agama karena suatu alasan tertentu. Sebaliknya, ada pula ilmu yang dianggap sebagai ilmu agama, tetapi karena suatu alasan masuk dalam kategori ilmu duniawi.

Berikut ini adalah pernyataan yang sangat mendalam dari Imam Al-Ghazali mengenai hal ini, yang jarang disadari dan dipahami kecuali oleh para ulama besar: 

"Berapa banyak kota yang tidak memiliki seorang pun dokter kecuali dari kalangan non-Muslim, dan tidak boleh menerima kesaksian mereka terkait hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan kedokteran, namun tidak ada seorang pun yang mempelajari ilmu kedokteran, sementara mereka berbondong-bondong mempelajari ilmu fiqih, terutama yang berkaitan dengan perdebatan dan argumentasi. Kota itu penuh dengan ahli fiqih yang sibuk dengan fatwa dan jawaban terhadap berbagai masalah! Sungguh aneh bagaimana para ahli fiqih membolehkan sibuk dengan fardu kifayah yang sudah tercukupi oleh sebagian orang, sementara mereka mengabaikan fardu kifayah yang belum ada yang memenuhinya! Bukankah penyebabnya adalah bahwa kedokteran tidak memberikan kesempatan untuk mengelola wakaf, mengurus wasiat, mendapatkan harta anak yatim, menjadi hakim, atau memimpin atas rekan-rekan mereka dan menguasai musuh-musuh mereka? Sungguh, ilmu agama telah rusak oleh tipu daya para ulama yang buruk. Semoga Allah melindungi kita dari tipuan ini yang membuat Allah murka dan membuat setan tertawa.”

Jika hal ini sudah jelas, lalu berdasarkan apa Ibnu ‘Aṭā’illah membagi ilmu menjadi bermanfaat dan tidak bermanfaat? Jawabannya adalah bahwa pembagian ini tidak merujuk pada ilmu itu sendiri, melainkan pada niat orang yang mempelajarinya. Jika niat seseorang dalam mempelajari atau mengajarkan ilmu sesuai dengan tuntunan syariat, maka ilmu itu dianggap bermanfaat. Namun, jika niatnya bertentangan dengan syariat, maka ilmu tersebut dianggap tidak bermanfaat. Tuntunan syariat hanya melihat pada apa yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah dan menambah ketaatan kepada-Nya, atau apa yang menjauhkan seorang hamba dari Allah dan menambah jarak dari ketaatan kepada-Nya.

Diketahui bahwa siapa pun yang mengenal Allah dan mengikuti petunjuk-Nya, dia akan bermanfaat bagi hamba-hamba Allah dan mencintai mereka. Sebaliknya, siapa pun yang terhalang dari mengenal Allah dan menjauh dari petunjuk-Nya, dia akan hidup dalam kelalaian atau meremehkan hak-hak manusia, menjadi egois dan mementingkan dirinya sendiri. Ilmu hanyalah alat di tangan manusia dalam kedua kondisi ini. Karena itu, ilmu akan berwarna sesuai dengan pemiliknya. Ilmu akan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi siapa pun yang mengenal Allah dan mengikuti petunjuk-Nya, dan akan menjadi ilmu yang merugikan bagi siapa pun yang terhalang dari Allah dan menjauh dari jalan dan petunjuk-Nya.

Bagi seseorang yang telah mengenal Allah, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, dan mengikuti petunjuk-Nya, kemudian mendalami salah satu ilmu yang disebut ilmu duniawi seperti kedokteran, teknik, pertanian, industri, matematika, fisika, kimia, astronomi, dan lain-lain, baik sebagai pelajar maupun pengajar, maka ilmu-ilmu itu hanya akan menjadi alat untuk menambah pengetahuannya tentang Allah dan mengagungkan-Nya, dan ia tidak akan menggunakannya kecuali untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat manusia. Maka, sungguh beruntunglah ia memiliki ilmu yang bermanfaat, yang mendekatkan kepada Allah dan berguna bagi hamba-hamba-Nya.

Dan barangsiapa yang pernah tersesat dari mengenal Allah dan iman yang sejati kepada-Nya, serta menjauh dari berpegang teguh pada petunjuk-Nya, kemudian mendalami ilmu-ilmu yang disebut sebagai ilmu agama, seperti fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, akidah, sirah Nabi, dan lain sebagainya—baik sebagai pelajar, pengajar, atau praktisi—maka ilmu-ilmu tersebut baginya hanya akan menjadi alat yang tunduk pada keinginan nafsunya yang mencari kesenangan pribadi, serta untuk mengendalikan semua sistem dan hukum yang berlaku demi keuntungan pribadi, sambil meremehkan hak dan kepentingan orang lain.

Betapa sering kita melihat ilmu-ilmu yang sebenarnya bersifat Islam dan religius pada intinya, berubah di tangan orang-orang yang menguasainya dan di bawah kekuasaan kegiatan mereka menjadi alat untuk meraih keuntungan materi, mencapai ambisi kepemimpinan dan kekuasaan, serta memuaskan keinginan dan hasrat pribadi. Sungguh celakalah ilmu-ilmu tersebut, yang telah diturunkan dari kedudukannya yang luhur menjadi pelayan untuk meraih keuntungan pribadi dan hasrat duniawi. Meskipun pada dasarnya ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu yang bermanfaat dan lampu penerang menuju kebenaran, namun di tangan orang-orang yang telah menjadi budak nafsu mereka sendiri, ilmu-ilmu itu berubah menjadi ilmu yang merugikan dan menjadi alat untuk menemukan jalan menuju keinginan dan hasrat mereka.

Tidakkah engkau melihat bagaimana ilmu-ilmu yang bermanfaat pada dasarnya, ketika berada di bawah kekuasaan orang-orang yang buruk niatnya, dapat memutarbalikkan kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran? Tidakkah engkau melihat bagaimana ilmu-ilmu itu, dalam praktiknya, berubah menjadi argumen verbal untuk membela nafsu mereka dan apa yang diminta oleh kepentingan dan ambisi mereka? Tidak ada yang lebih mudah bagi seseorang yang hatinya kosong dari perasaan akan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya selain bermain-main dengan teks-teks syariat agar sesuai dengan kehendaknya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi dalam kitab *Al-Muwafaqat*. Sungguh, tidak ada perbedaan antara seorang pengacara yang bermain-main dengan teks-teks hukum demi mendapatkan bayaran yang telah disepakati, dengan seorang ulama yang bermain-main dengan teks-teks agama demi meraih keuntungan duniawi yang ia perjuangkan. Selama teks-teks itu hanya berupa kata-kata, dan selama kata-kata tersebut adalah istilah-istilah yang siap diisi dengan makna apapun yang diinginkan.

Apakah jargon-jargon seperti "pembacaan kontemporer," "modernitas," "penentuan agama," dan "mengikuti semangat syariat Islam" tidak tersebar luas untuk menjadi tirai asap, di baliknya diselundupkan kepentingan pribadi dan keinginan-keinginan, yang dibalut dengan penampilan semu Islam dan digambarkan dalam cahaya palsu dari lingkaran hukum Allah?

Betapa tepat dan benar kata-kata yang diriwayatkan dari Imam Al-Ghazali, yang mengatakan: "Penambahan ilmu pada orang yang buruk seperti penambahan air pada akar tanaman pahit, semakin banyak airnya, semakin pahit rasanya."

Ilmu memang memiliki aturan dan prinsip dalam ilmu bahasa Arab yang dijaga dan teratur, yang melindungi dari segala penyalahgunaan, karena para pendukung jargon-jargon tersebut menganggap bahwa aturan-aturan bahasa Arab itu sudah usang. Dan tidak lama lagi, bahasa Arab itu sendiri juga akan dianggap telah usang.

Jadi, terbukti bahwa ilmu berubah warnanya sesuai dengan niat yang tersembunyi di dalam jiwa orang yang mempelajarinya atau mengajarkannya. Mengingat bahwa niat secara keseluruhan terbagi menjadi yang diperbolehkan dan bermanfaat, serta yang dilarang dan merugikan, maka ilmu-ilmu yang dipraktikkan oleh manusia juga harus terbagi menjadi ilmu yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Meskipun semua ilmu, terlepas dari bagaimana niat pemiliknya menggunakannya, pada dasarnya bermanfaat, menunjukkan kebenaran, dan menjelaskan tanda yang memisahkannya dari kebatilan, serta dengan demikian, semuanya menunjukkan dan mengantarkan kepada kebenaran yang sejati, yaitu Allah.

Selanjutnya, baik hati maupun akal, keduanya akan mengambil warna dari ilmu yang dipelajari oleh pemiliknya. Ilmu yang bermanfaat (sebagaimana telah dijelaskan ukuran manfaat dan bahayanya) memancarkan cahaya tersembunyi yang menyebar sebagian ke hati, yang kemudian menghasilkan rasa kagum, hormat, dan cinta kepada Allah SWT. Cahaya ini juga menyinari akal, sehingga lapisan-lapisan keraguan yang menumpuk dan menyebabkan kebingungan serta kegelisahan pun menghilang. Tidak ada perbedaan antara ilmu yang disebut sebagai ilmu dunia dan ilmu yang disebut sebagai ilmu akhirat dalam hal ilmu yang bermanfaat yang memancarkan cahaya ini. Sebab, seperti yang telah diketahui, tujuan yang mengklasifikasikan ilmu tersebut dan membaginya menjadi ilmu dunia yang merugikan dan ilmu akhirat yang bermanfaat.

Sumber cahaya yang memancarkan sinar ke akal dan hati berasal dari objek pengetahuan, baik itu berkaitan dengan alam semesta maupun agama. Adapun objek alam semesta, yang mencakup berbagai ilmu pengetahuan alam seperti yang telah disebutkan contohnya, sumber cahayanya berasal dari kebenaran yang dijelaskan oleh firman Allah SWT: *“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”* (QS. Al-Isra: 44) dan firman-Nya: *“Masing-masing mengetahui cara berdoa dan bertasbihnya masing-masing.”* (QS. An-Nur: 41). Maksudnya, tidak ada satu pun kebenaran ilmiah yang berkaitan dengan hukum alam di bumi, langit, atau di antara keduanya, kecuali hukum tersebut menunjukkan kepatuhan terhadap kekuasaan Allah SWT dan keteraturan dalam fungsi yang telah Allah tetapkan. Kepatuhan yang diungkapkan oleh ilmu ini merupakan bagian dari makna firman-Nya: *“Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”* (QS. Al-Furqan: 2).

Ilmu tentang hukum-hukum ini pada dasarnya adalah penemuan dari fungsi yang Allah tundukkan pada komponennya. Hukum-hukum ini terus berjalan tanpa cacat atau gangguan, dan ini adalah salah satu makna tasbih yang diberitakan oleh Allah mengenai semua makhluk-Nya, yang dapat dipahami oleh mereka yang mendalami ilmu tentang makhluk-makhluk ini, baik itu dalam ilmu kedokteran, astronomi, fisika, kimia, teknik, pertanian, industri, dan lainnya. Namun, ada satu syarat agar cahaya ini bisa menyebar ke akal dan hati seorang ilmuwan, yaitu bahwa ia tidak mengharapkan apapun dari pendalaman ilmu tersebut kecuali satu hal: memahami kebenaran untuk meresapinya dan memperlakukan alam semesta berdasarkan kebenaran itu. Jika tujuannya murni saat mempelajari dan meneliti hukum-hukum ini, ia akan memahami tasbih dari hukum-hukum alam ini kepada Allah, bahkan mendengarnya dengan telinga kesadaran dan akalnya, serta memahami bahwa hukum-hukum tersebut mengagungkan dan menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Hatinya pun akan dipenuhi dengan rasa hormat dan penghargaan kepada-Nya, serta perasaan kagum terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya yang luar biasa. Inilah cahaya yang dimaksud oleh Ibn Atha'illah ketika beliau berkata, *“... cahaya itu menyebar di dalam dada.”*

Namun, jika seseorang mendalami ilmu ini dengan tujuan memperkuat keyakinan yang salah, mengejar keuntungan duniawi, atau melayani prinsip yang merusak, maka ia tidak akan melihat apapun dalam hukum-hukum menakjubkan ini yang menunjukkan keberadaan Allah. Ia tidak akan merasakan tasbih dari hukum-hukum alam ini kepada Penciptanya. Sekalipun bukti-bukti luar biasa muncul di hadapannya, ia tetap akan tersesat dan terhalang dari memahami kebenaran itu. Mungkin seseorang seperti ini akan menjelaskan satu dari hukum-hukum alam yang menunjukkan penciptaan Allah, kebijaksanaan-Nya yang agung, dan kekuasaan-Nya yang luar biasa di hadapan para mahasiswa, misalnya, sehingga cahaya kebenaran ilmiah tersebut menyebar ke pikiran dan hati banyak dari mereka. Namun, ia sendiri, yang mengajarkan dan memahami hukum tersebut, tetap terhalang dari memahaminya dan terus berkubang dalam kegelapan akibat kesesatan dan ambisi duniawi yang telah disebutkan sebelumnya.

Tanda dari apa yang saya katakan kepada Anda adalah ketika seorang mahasiswa bertanya kepada seorang pengajar di tengah penjelasannya tentang keajaiban yang menunjukkan kebesaran ciptaan Allah dan kebijaksanaan-Nya yang mendalam, pengajar tersebut menjawab, "Kami tidak sedang memberikan ceramah agama, melainkan hanya menjelaskan ilmu pengetahuan." Seolah-olah ilmu pengetahuan adalah tirai yang menghalangi dari Allah, bukan bukti pertama yang menunjukkan-Nya. Allah berfirman: *“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidak ada cahaya baginya.”* (QS. An-Nur: 40).

Adapun mengenai topik keagamaan, sumber cahayanya adalah jenis zikir kepada Allah yang paling mulia, karena ilmu yang berkaitan dengan agama tidak lain adalah keterlibatan dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah, atau apa yang diambil darinya, seperti akidah keimanan, fikih, dan usulnya. Tidak diragukan lagi, siapa pun yang terlibat dalam mempelajari hal-hal tersebut, seolah-olah dia sedang mendekati Allah untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang diri-Nya dan sifat-sifat-Nya, serta penjelasan lebih lanjut tentang prinsip-prinsip dan hukum yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk menaatinya. Maka, dia berada bersama Allah dalam semua hal tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang berada bersama Allah, yang menerima ilmu tentang tugas-tugas yang diciptakan untuk dilaksanakan oleh hamba-hamba-Nya, akan menjadi tempat bagi manifestasi kelembutan, kenyamanan, dan rahmat Allah. Tidak diragukan lagi bahwa Allah akan selalu bersamanya dalam hal perlindungan, pemeliharaan, dan kecukupan selama dia bersama Allah dengan mempelajari agama-Nya, mendengarkan firman-Nya, dan mengikuti perintah-perintah-Nya yang Allah sampaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Cukuplah sebagai bukti bahwa mempelajari ilmu Al-Qur'an dan Sunnah adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia, sabda Rasulullah ﷺ: *"Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang lainnya."* (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Hibban, dari hadits Abu Darda).

Jika seorang hamba mendekati Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya untuk mengeluarkan darinya ilmu agama dan prinsip-prinsip akidah, dengan niat murni tanpa dorongan apa pun selain mengetahui tugas yang dibebankan Allah kepadanya dan menikmati kedekatan yang lebih dengan Allah serta mendapatkan pemahaman lebih tentang diri-Nya dan sifat-sifat-Nya, maka cahaya dari ilmu tersebut akan menyebar ke akalnya dan hatinya, menyinari akalnya dengan keyakinan yang lebih terhadap Allah, dan membakar hatinya dengan rasa hormat dan cinta yang lebih kepada-Nya serta kerinduan kepada-Nya.

Namun, jika seseorang menggunakan ilmunya tersebut sebagai alat untuk mencapai ambisi duniawi, tidak diragukan lagi bahwa ia akan terhalang dari cahaya tersebut dan akan tertutup oleh mimpi dan keinginan duniawinya. Sayangnya, masalahnya tidak berhenti di situ, karena seringkali Allah menghukum orang yang menggunakan agama untuk tujuan duniawi dan nafsu pribadinya dengan kekerasan hati, dan mungkin saja ia termasuk dalam golongan orang yang disebut Allah dalam firman-Nya: *“... dan ketahuilah bahwa Allah menghalangi antara manusia dan hatinya ...”* (QS. Al-Anfal: 24).

Saya telah melihat di antara mereka yang mempelajari ilmu agama dengan tujuan duniawi, ada yang meremehkan ibadah, sehingga mereka lalai dalam melaksanakan shalat yang wajib tepat waktu, terutama shalat subuh. Bahkan, ketika mereka diingatkan tentang shalat, mereka berdebat bahwa mereka sedang sibuk dengan hal yang lebih penting daripada shalat.

Salah satu dampak paling berbahaya dari kekerasan hati ini adalah ilmu tentang hukum agama menjadi alat untuk mencari kelonggaran dalam hukum, demi menghindari kewajiban agama dan aturan-aturannya, serta berusaha sebisa mungkin melepaskan diri dari beban kewajiban yang merupakan cerminan penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, bagi mereka yang hatinya tidak diliputi rasa takut kepada Allah dan hatinya keras, teks-teks agama tidak akan menghalangi mereka untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Betapa mudahnya bagi mereka untuk mempermainkan teks-teks tersebut sesuai dengan keinginan mereka. Lihatlah kondisi para ulama yang buruk saat ini, yang jumlahnya tidak sedikit, dan Anda akan menemukan bukti dari apa yang saya katakan.

Ketika dunia menjadi tujuan utama bagi para ulama, Anda tidak akan menemukan perbedaan antara mereka dalam mempermainkan teks-teks agama dan para pengacara yang hanya mengejar uang dalam mempermainkan teks-teks hukum.

Kesimpulannya: semua ilmu, pada dasarnya, adalah jalan untuk mengenal Allah, tetapi ilmu-ilmu tersebut terbagi menjadi ilmu yang bermanfaat dan yang berbahaya tergantung pada kondisi dan niat pemiliknya, tanpa memandang apakah itu disebut ilmu agama atau ilmu dunia. Jika seseorang memiliki niat yang tulus, tanpa dorongan nafsu dan keinginan duniawi, ilmu yang dimilikinya akan menghasilkan cahaya yang menyebar ke akalnya dengan keyakinan yang lebih terhadap Allah dan sifat-sifat-Nya, dan menyebar ke hatinya dengan rasa hormat, cinta, dan kerinduan yang lebih kepada-Nya.

Namun, ada juga orang-orang yang keinginan hawa nafsu dan syahwatnya bercampur dengan niat mereka dalam urusan agama, dan mungkin keinginan-keinginan tersebut lebih dominan. Tetapi Allah menghendaki cahaya ilmu mereka mengalahkan kegelapan keinginan mereka, sehingga keinginan tersebut semakin surut dari pusat kendali dalam jiwa mereka, dan niat mereka menjadi murni untuk Allah saja. Mereka pun menjadi seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali tentang dirinya: *"Kami mencari ilmu bukan untuk Allah, tetapi ilmu tersebut menolak kecuali hanya untuk Allah."*

Maka ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar Engkau membersihkan niatku dari kegelapan yang asing, sehingga cahaya dari manifestasi dan kelembutan-Mu menyinari akal dan hatiku. Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, agar Engkau tidak membiarkan diriku sendiri dalam hal ini atau dalam urusan lain dari semua urusanku, dan agar Engkau menghormati aku dengan kelapangan dada, pengaturan urusan, dan mengganti kesulitanku dengan kemudahan, karena Engkau mengetahui keadaanku dan mengetahui kerasnya hari-hari yang aku lalui. Aku telah berjanji kepada-Mu bahwa aku tidak akan mengadu kepada siapa pun kecuali kepada-Mu, maka aku memohon kepada-Mu, ya Allah, agar Engkau memberiku kemampuan untuk menepati janji tersebut.

---

Terjemahan AI ChatGPT. Jika terdapat kekeliruan pada terjemahan di atas, mohon koreksinya melalui kolom komentar. Terima kasih.

Hikmah 201 Al-Hikam tentang Ilmu yang Bermanfaat || Syarah Ibnu Abbad

201 – ثُمَّ قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:

العِلْمُ النَّافِعُ هُوَ الَّذِي يَنْبَسِطُ فِي الصَّدْرِ شُعَاعُهُ، وَيَنْكَشِفُ بِهِ عَنِ القَلْبِ قِنَاعُه

201. Kemudian Syekh Ibnu Atha'illah رضي الله عنه  berkata: llmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menyebarkan cahayanya di dalam dada dan membuka selubung tutup hati. (Nomor Hikmah berdasar Tahqiq Abdul Jalil Abdus Salam)


Syarah Muhammad Ibnu Abbad An-Nafazi Ar-Rundy (1332-1390 M)

العِلْمُ النَّافِعُ هُوَ العِلْمُ بِاللّٰهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ وَأَسْمَائِهِ، وَالعِلْمُ بِكَيْفِيَّةِ التَّعَبُّدِ لَهُ وَالتَّأَدُّبِ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَهَذَا هُوَ العِلْمُ الَّذِي يَنْبَسِطُ فِي الصَّدْرِ شُعَاعُهُ فَيَتَّسِعُ وَيَنْشَرِحُ لِلْإِسْلَامِ، وَيَكْشِفُ عَنِ القَلْبِ قِنَاعُهُ فَتَزُولُ عَنْهُ الشُّكُوكُ وَالأَوْهَامُ

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang Allah Ta'ala, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya, serta ilmu tentang bagaimana beribadah kepada-Nya dan bersopan santun di hadapan-Nya. Inilah ilmu yang cahayanya menyebar dalam dada, meluas dan membuat dada lapang untuk Islam/pasrah, serta membuka selubung dari hati sehingga keraguan dan khayalan/dugaan hilang darinya.

وَفِي حِكْمَةِ دَاوُدَ، عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، «العِلْمُ فِي الصَّدْرِ كَالمِصْبَاحِ فِي البَيْتِ». وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ التِّرْمِذِيُّ، رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «العِلْمُ النَّافِعُ هُوَ الَّذِي تَمَكَّنَ فِي الصُّدُورِ وَتَصَوَّرَ، وَذٰلِكَ أَنَّ النُّورَ إِذَا أَشْرَقَ فِي الصُّدُورِ تَصَوَّرَتِ الأُمُورُ حُسْنُهَا وَسَيِّئُهَا، 

Dalam hikmah Nabi Dawud as., dikatakan: "Ilmu di dalam dada itu seperti pelita di dalam rumah." Dan Muhammad bin Ali At-Tirmidzi ra. berkata: "Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang tertanam/mantap dalam dada dan terwujud/tergambar. Tergambar yang dimaksud adalah Cahaya ilmu jika telah bersinar dalam dada, menggambarkan segala hal yang baik dan buruk, 

وَوَقَعَ بِذٰلِكَ ظِلٌّ فِي الصُّدُورِ فَهُوَ صُورَةُ الأُمُورِ فَيَأْتِي حُسنَهَا وَيَجْتَنِبُ سَيِّئَهَا، فَذٰلِكَ العِلْمُ النَّافِعُ مِنْ نُورِ القَلْبِ خَرَجَتْ تِلْكَ العَلَائِمُ إِلَى الصُّدُورِ، وَهِيَ عَلاَمَاتُ الهُدَى.

dan dengan cahaya itu akan ada bayangan dalam dada, yaitu gambaran tentang hal-hal tersebut, sehingga yang baik dilaksanakan dan yang buruk dijauhi. Itulah ilmu yang bermanfaat yang berasal dari cahaya hati, yang menandai dada dengan tanda-tanda petunjuk, yaitu tanda-tanda petunjuk.

وَالعِلْمُ الَّذِي قَدْ تُعَلِّمُهُ، فَذٰلِكَ عِلْمُ اللِّسَانِ، إِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ قَدِ اسْتَوْدَعَ الحِفْظَ، وَالشَّهْوَةُ غَالِبَةٌ عَلَيْهِ قَدْ أَحاطتْ بِهِ وَأَذْهَبَتْ بِظُلْمَتِهَا ضَوْءَهُ.

Sedangkan ilmu yang telah dipelajari, itulah ilmu lisan, hanya saja ilmu itu hanyalah sesuatu yang dihafal, dan seringkali dikalahkan oleh hawa nafsu yang bisa mendominasi ilmu dan menghilangkan cahaya ilmu karena gelapnya hawa nafsu."

وَقَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ العَزِيزِ المَهْدَوِيُّ، رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «العِلْمُ النَّافِعُ هُوَ: عِلْمُ الوَقْتِ، وَصَفَاءُ القَلْبِ، وَالزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا، وَمَا يُقَرِّبُ مِنَ الجَنَّةِ وَمَا يُبْعِدُ عَنِ النَّارِ، وَالخَوْفُ مِنَ اللّٰهِ وَالرَّجَاءُ فِيهِ وَآفَاتُ النُّفُوسِ، وَطَهَارَتُهَا، وَهُوَ النُّورُ المُشَارُ إِلَيْهِ أَنَّهُ نُورٌ يقْذِفُهُ اللّٰهُ فِي قَلْبِ مَنْ يَشَاءُ دُونَ عِلْمِ اللِّسَانِ وَالمَنْقُولِ وَالمَعْقُولِ».

Abu Muhammad Abdul Aziz Al-Mahdawi ra. berkata: "Ilmu yang bermanfaat adalah: ilmu tentang waktu (ilmu saat itu menuntutnya berbuat apa), kejernihan hati, zuhud terhadap dunia, tentang apa yang mendekatkan kepada surga, dan apa yang menjauhkan dari neraka, takut kepada Allah, dan berharap kepada-Nya. Juga ilmu tentang penyakit-penyakit jiwa dan pembersihannya. Ilmu ini adalah cahaya yang disebutkan sebagai cahaya yang Allah tanamkan di hati siapa saja yang dikehendaki-Nya, bukan ilmu lisan atau ilmu yang diperoleh dari akal dan logika."

وَقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «لَيْسَ العِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللّٰهُ تَعَالَى فِي القُلُوبِ». وَإِنَّمَا مَنْفَعَةُ العِلْمِ أَنْ يُقَرِّبَ العَبْدَ مِنْ رَبِّهِ، وَيُبْعِدَهُ عَنْ رُؤْيَةِ نَفْسِهِ، وَذٰلِكَ غَايَةُ سَعَادَتِهِ وَمُنْتَهَى طَلَبِهِ وَإِرَادَتِهِ.

Malik bin Anas ra. berkata: "Ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah tanamkan di dalam hati." Manfaat dari ilmu adalah mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya, dan menjauhkannya dari melihat dirinya sendiri. Inilah puncak kebahagiaannya, tujuan dan kehendak tertingginya.

قَالَ الجُنَيْدُ، رَضِيَ اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُ: «العِلْمُ: أَنْ تَعْرِفَ رَبَّكَ، وَلَا تَعْدُوَ قَدْرَكَ». وَهٰذِهِ عِبَارَةٌ مُخْتَصَرَةٌ وَجِيزَةٌ، جَمَعَ فِيهَا - رَحِمَهُ اللّٰهُ - مَقْصُودَ عُلُومِ الصُّوفِيَّةِ، وَهِيَ: مَعْرِفَةُ اللّٰهِ تَعَالَى، وَحُسْنُ الأَدَبِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَهٰذِهِ هِيَ العُلُومُ الَّتِي يَنْبَغِي لِلإِنْسَانِ أَنْ يَسْتَغْرِقَ فِيهَا عُمْرَهُ الطَّوِيلَ، وَلَا يَقْنَعَ مِنْهَا بِكَثِيرٍ وَلَا قَلِيلٍ. 

Al-Junaid ra. berkata: "Ilmu adalah engkau mengenal Tuhanmu, dan tidak melampaui batas derajat (kehambaanmu)." Ini adalah ungkapan yang ringkas dan padat, di mana syaikh ibnu Ataillah rahimahullah mengumpulkan tujuan ilmu-ilmu tasawuf, yaitu: mengenal Allah Ta'ala, dan beradab di hadapan-Nya. Inilah ilmu-ilmu yang seharusnya dihabiskan oleh manusia dalam umurnya yang panjang, dan tidak merasa cukup dengan banyak atau sedikitnya.

وَقَدْ قَالَ سَيِّدِي أَبُو الحَسَنِ الشَّاذِلِيُّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: مَنْ لَمْ يَتَغَلْغَلْ فِي هٰذِهِ العُلُومِ - يَعْنِي عُلُومَ الصُّوفِيَّةِ - مَاتَ مُصِرًّا عَلَى الكَبَائِرِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ ، وَمَا سِوَى هٰذِهِ العُلُومِ قَدْ لَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا، وَرُبَّمَا أَضَرَّ بِصَاحِبِهَا مُدَاوَمَتُهُ عَلَيْهَا، 

Syaikh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili ra. berkata: "Barang siapa yang tidak masuk (mendalami) ilmu-ilmu ini, yaitu ilmu-ilmu para ahli tasawuf, maka ia akan mati dalam keadaan terus (mushirron) melakukan dosa besar tanpa menyadarinya. Selain ilmu-ilmu ini, mungkin/kadang tidak diperlukan, bahkan bisa saja terus menggeluti ilmu selain ilmu tasawuf justru merugikan/membahayakan,

وَقَدِ اسْتَعَاذَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الخَبَرِ المَشْهُورِ عَنْهُ «مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَع». ثُمَّ ذَكَرَ المُؤَلِّفُ، رَحِمَهُ اللّٰهُ تَعَالَى، عِبَارَةً أُخْرَى فِي بَيَانِ العِلْمِ النَّافِعِ وَتَعْرِيفِهِ بِلَازِمِهِ.

dan Rasulullah saw. telah mohon perlindungan dalam hadits yang masyhur: 'Dari ilmu yang tidak bermanfaat.’ Kemudian penulis (Syaikh Ibnu Athaillah), rahimahullah, menyebutkan ungkapan lain dalam menjelaskan ilmu yang bermanfaat dan mendefinisikan serta konsekuensinya/keharusan yang menyertai (di hikmah selanjutnya 202).

-------

Catatan: Apabila ada kesalahan pada tulisan di atas, mohon disampaikan di kolom komentar.



Sabtu, 24 Agustus 2024

Terjemah Syarah Al-Hikam Hikmah 2 dari Ibnu Ajibah (Iqodzul Himam)

قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
٢ - (إرَادَتُكَ التَّجْرِيدَ مَعَ إقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ، وَإرَادَتُكَ الأَسْبَابَ مَعَ إقَامَةِ اللَّهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيدِ انْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلِيَّةِ).

2. "Keinginanmu untuk meninggalkan sebab-sebab duniawi (tajrid) padahal Allah menempatkanmu dalam sebab-sebab tersebut adalah syahwat yang tersembunyi, dan keinginanmu terhadap sebab-sebab duniawi ketika Allah menempatkanmu dalam keadaan tajrid adalah penurunan dari tekad yang tinggi." 

قُلْتُ: التَّجْرِيدُ فِي اللُّغَةِ هُوَ التَّكْشِيطُ وَالإِزَالَةُ، تَقُولُ: جَرَّدْتُ الثَّوْبَ أَزَلْتُهُ عَنِّي، وَتَجَرَّدَ فُلَانٌ أَزَالَ ثَوْبَهُ، وَجَرَّدْتُ الجِلْدَ أَزَلْتُ شَعْرَهُ. وَأَمَّا عِندَ الصُّوفِيَّةِ فَهُوَ عَلَى ثَلاثَةِ أَقْسَامٍ: تَجْرِيدُ الظَّاهِرِ فَقَطْ، أَوِ البَاطِنِ فَقَطْ، أَوْ هُمَا مَعًا.

Saya berkata: Tajrid dalam bahasa berarti menanggalkan dan menghilangkan. Anda mengatakan: "Saya menanggalkan pakaian," berarti Anda melepaskannya dari tubuh Anda, atau "Dia menanggalkan pakaian," berarti dia melepaskan pakaiannya. Dan ketika Anda mengatakan, "Saya menanggalkan kulit," berarti Anda menghilangkan bulu-bulunya. Adapun menurut para sufi, tajrid terdiri dari tiga bagian: Tajrid lahir saja, batin saja, atau keduanya sekaligus. 

فَتَجْرِيدُ الظَّاهِرِ هُوَ تَرْكُ الأَسْبَابِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَخَرْقُ العَوَائِدِ الجِسْمَانِيَّةِ. وَالتَّجْرِيدُ البَاطِنِيُّ هُوَ تَرْكُ العَلَائِقِ النَّفْسَانِيَّةِ وَالعَوَائِقِ الوَهْمِيَّةِ. وَتَجْرِيدُهُمَا مَعًا هُوَ تَرْكُ العَلَائِقِ البَاطِنِيَّةِ وَالعَوَائِدِ الجِسْمَانِيَّةِ. أَوْ تَقُولُ: تَجْرِيدُ الظَّاهِرِ هُوَ تَرْكُ كُلِّ مَا يُشْغِلُ الجَوَارِحَ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ، وَتَجْرِيدُ البَاطِنِ هُوَ تَرْكُ كُلِّ مَا يُشْغِلُ القَلْبَ عَنِ الحُضُورِ مَعَ اللَّهِ، وَتَجْرِيدُهُمَا هُوَ إِفْرَادُ القَلْبِ وَالقَالَبِ لِلَّهِ، 

Tajrid lahir adalah meninggalkan sebab-sebab duniawi dan melampaui kebiasaan fisik. Tajrid batin adalah meninggalkan keterikatan jiwa dan hambatan imajinatif. Keduanya bersama-sama berarti meninggalkan keterikatan batin dan kebiasaan fisik. Anda juga bisa mengatakan: Tajrid lahir adalah meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi anggota tubuh dari ketaatan kepada Allah, dan tajrid batin adalah meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi hati dari kehadiran bersama Allah. Keduanya adalah mengkhususkan hati dan tubuh hanya untuk Allah.

وَالتَّجْرِيدُ الكَامِلُ فِي الظَّاهِرِ هُوَ تَرْكُ الأَسْبَابِ وَتَعْرِيَةُ البَدَنِ مِنْ مُعْتَادِ الثِّيَابِ، وَفِي البَاطِنِ هُوَ تَجْرِيدُ القَلْبِ مِنْ كُلِّ وَصْفٍ ذَمِيمٍ وَتَحْلِيَتُهُ بِكُلِّ وَصْفٍ كَرِيمٍ،

Tajrid sempurna dalam lahir adalah meninggalkan sebab-sebab duniawi dan menanggalkan tubuh dari pakaian yang biasa, dan dalam batin adalah membersihkan hati dari segala sifat buruk dan menghiasinya dengan segala sifat mulia.

وَهُوَ، أَيِ التَّجْرِيدُ الكَامِلُ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ شَيْخُ شُيُوخِنَا سَيِّدِي عَبْدَ الرَّحْمَٰنِ المَجْذُوبُ بِقَوْلِهِ: أَقَارِئِينَّ عِلْمَ التَّوْحِيدِ هُنَا البُحُورُ آلي تُغْبِي هَذَا مَقَامُ أَهْلِ التَّجْرِيدِ الوَاقِفِينَ مَعْ رَبِّي وَأَمَّا مَنْ جَرَّدَ ظَاهِرَهُ دُونَ بَاطِنِهِ فَهُوَ كَذَّابٌ كَمَنْ كَسَى النُّحَاسَ بِالفِضَّةِ، بَاطِنُهُ قَبِيحٌ وَظَاهِرُهُ مَلِيحٌ. 

Ini adalah tajrid sempurna yang disebut oleh Guru Guru kami, Sayyidi Abdurrahman al-Majdzub, dalam ucapannya: "Para pembaca ilmu tauhid di tempat ini adalah lautan yang menenggelamkan; ini adalah maqam para ahli tajrid yang berdiri dengan Tuhan mereka." Adapun orang yang menanggalkan lahirnya tanpa batinnya, dia adalah seorang pembohong seperti orang yang melapisi tembaga dengan perak, batinnya buruk sedangkan lahirnya bagus. 

وَمَنْ جَرَّدَ بَاطِنَهُ دُونَ ظَاهِرِهِ إِنْ تَأَتَّى ذَلِكَ فَهُوَ حَسَنٌ كَمَنْ كَسَى الفِضَّةَ بِالنُّحَاسِ وَهُوَ قَلِيلٌ إِذِ الغَالِبُ أَنَّ مَنْ تَنَشَّبَ ظَاهِرُهُ تَنَشَّبَ بَاطِنُهُ. وَمَنْ اشْتَغَلَ ظَاهِرُهُ بِالحِسِّ اشْتَغَلَ بَاطِنُهُ بِهِ. وَالقُوَّةُ لَا تَكُونُ فِي الجِهَتَيْنِ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَ تَجْرِيدِيِّ الظَّاهِرِ وَالبَاطِنِ فَهُوَ الصِّدِّيقُ الكَامِلُ وَهُوَ الذَّهَبُ المُشَحَّرُ الصَّافِي الَّذِي يَصْلُحُ لِخَزَانَةِ المُلُوكِ.

Sedangkan orang yang menanggalkan batinnya tanpa lahirnya, jika hal itu mungkin, maka hal itu baik seperti orang yang melapisi perak dengan tembaga, tetapi hal ini jarang terjadi karena pada umumnya, siapa yang menanggalkan lahirnya juga akan menanggalkan batinnya. Barang siapa yang sibuk dengan lahirnya, maka batinnya juga akan sibuk dengannya. Kekuatan tidak bisa berada di kedua sisi sekaligus. Dan barang siapa yang menggabungkan antara tajrid lahir dan batin, maka ia adalah orang yang benar-benar sempurna, ibarat emas murni yang layak menjadi simpanan raja.

قَالَ الشَّيْخُ أَبُو الحَسَنِ الشَّاذِلِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: آدَابُ الفَقِيرِ المُتَجَرِّدِ أَرْبَعَةٌ: الحُرْمَةُ لِلأَكَابِرِ، وَالرَّحْمَةُ لِلأَصَاغِرِ، وَالإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ، وَعَدَمُ الانْتِصَارِ لَهَا. وَآدَابُ الفَقِيرِ المُتَسَبِّبِ أَرْبَعَةٌ: مُوَالَاةُ الأَبْرَارِ، وَمُجَانَبَةُ الفُجَّارِ، وَإِيقَاعُ الصَّلَاةِ فِي الجَمَاعَةِ، وَمُوَاسَاةُ الفُقَرَاءِ وَالمَسَاكِينِ بِمَا يَفْتَحُ عَلَيْهِ. وَيَنْبَغِي لَهُ أَيْضًا أَنْ يَتَأَدَّبَ بِآدَابِ المُتَجَرِّدِينَ إِذْ هُوَ كَمَالٌ فِي حَقِّهِ. وَمِنْ آدَابِ المُتَسَبِّبِ إِقَامَتُهُ فِيمَا أَقَامَهُ الحَقُّ تَعَالَى فِيهِ مِنْ فِعْلِ الأَسْبَابِ حَتَّى يَكُونَ الحَقُّ تَعَالَى هُوَ الَّذِي يَنْقُلُهُ مِنْهَا عَلَى لِسَانِ شَيْخِهِ إِنْ كَانَ أَوْ بِإِشَارَةٍ وَاضِحَةٍ البَابُ الأَوَّلُ كَتَعَذُّرِهَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ لِلتَّجْرِيدِ.

Syekh Abu al-Hasan asy-Syadzili ra berkata: Adab fakir yang melakukan tajrid ada empat: menghormati orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda, berbuat adil kepada diri sendiri, dan tidak membela diri sendiri. Adab fakir yang masih melakukan sebab-sebab duniawi ada empat: berteman dengan orang-orang saleh, menjauhi orang-orang jahat, mendirikan salat berjamaah, dan membantu orang-orang miskin dengan apa yang Allah bukakan kepadanya. Ia juga seharusnya beradab dengan adab para ahli tajrid karena itu merupakan kesempurnaan baginya. Adapun salah satu adab bagi orang yang melakukan sebab-sebab duniawi adalah tetap berada di posisi yang Allah tentukan baginya, hingga Allah sendiri yang mengeluarkannya dari posisi tersebut, baik melalui perintah langsung dari gurunya atau karena sebab yang jelas, seperti ketidakmampuan total. Maka, saat itu ia berpindah ke tajrid.

فَإِرَادَتُهُ التَّجْرِيدَ مَعَ إِقَامَتِهِ تَعَالَى لَهُ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ لِأَنَّ النَّفْسَ قَدْ تَقْصِدُ بِذَلِكَ الرَّاحَةَ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مِنَ اليَقِينِ مَا تَحْمِلُ بِهِ مَشَاقَّ الفَاقَةِ، فَإِذَا نَزَلَتْ بِهَا الفَاقَةُ نَزَلَتْ وَاضْطَرَبَتْ وَرَجَعَتْ إِلَى الأَسْبَابِ فَيَكُونُ أَقْبَحَ لَهَا مِنَ الإِقَامَةِ فِيهَا، فَهَذَا وَجْهُ كَوْنِهَا شَهْوَةً. وَإِنَّمَا كَانَتْ خَفِيَّةً لِأَنَّهَا فِي الظَّاهِرِ أَظْهَرَتِ الانْقِطَاعَ وَالتَّبَتُّلَ وَهُوَ مَقَامٌ شَرِيفٌ وَحَالٌ مَنِيفٌ لَكِنَّهَا فِي البَاطِنِ أَخْفَتْ حَظَّهَا مِنْ قَصْدِ الرَّاحَةِ أَوِ الكَرَامَةِ أَوِ الوِلَايَةِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الحُرُوفِ وَلَمْ تَقْصِدْ تَحْقِيقَ العُبُودِيَّةِ وَتَرْبِيَةَ اليَقِينِ. وَفَاتَهَا أَيْضًا الأَدَبُ مَعَ الحَقِّ حَيْثُ أَرَادَتِ الخُرُوجَ بِنَفْسِهَا وَلَمْ تَصْبِرْ حَتَّى يُؤْذَنَ لَهَا.

Keinginan untuk tajrid sementara Allah menetapkan dia dalam sebab-sebab duniawi adalah syahwat yang tersembunyi karena jiwa mungkin menginginkan kenyamanan dan tidak memiliki keyakinan yang cukup untuk menanggung kesulitan kemiskinan. Jika kemiskinan datang, jiwa itu akan terguncang dan kembali kepada sebab-sebab duniawi, yang akan lebih buruk daripada tetap dalam sebab-sebab tersebut. Itulah sebabnya mengapa hal itu disebut syahwat yang tersembunyi. Syahwat itu tersembunyi karena secara lahiriah, dia menunjukkan pemutusan hubungan dan pengasingan diri, yang merupakan maqam yang mulia dan keadaan yang terhormat, tetapi secara batin, ia menyembunyikan keinginan untuk kenyamanan, penghormatan, atau kedudukan, dan bukan untuk merealisasikan penghambaan dan menumbuhkan keyakinan. Selain itu, ia juga kehilangan adab dengan Tuhan, karena ia ingin keluar sendiri tanpa bersabar sampai diizinkan.

وَعَلاَمَةُ إِقَامَتِهَا فِيهَا دَوَامُهَا لَهُ مَعَ حُصُولِ النَّتَائِجِ وَعَدَمِ العَوَائِقِ القَاطِعَةِ لَهُ عَنِ الدِّينِ وَحُصُولِ الكِفَايَةِ بِحَيْثُ إِذَا تَرَكَهَا حَصَلَ لَهُ التَّشَؤُّفُ إِلَى الخَلْقِ وَالاهْتِمَامُ بِالرِّزْقِ، فَإِذَا انْخَرَمَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ انْتَقَلَ إِلَى التَّجْرِيدِ.

قَالَ فِي التَّنْوِيرِ(١): الَّذِي يَقْتَضِيهِ الحَقُّ مِنْكَ أَنْ تَمْكُثَ حَيْثُ أَقَامَكَ حَتَّى يَكُونَ الحَقُّ تَعَالَى هُوَ الَّذِي يَتَوَلَّى إِخْرَاجَكَ كَمَا تَوَلَّى إِدْخَالَكَ، وَلَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تَتْرُكَ السَّبَبَ بَلِ الشَّأْنُ أَنْ يَتْرُكَكَ السَّبَبُ. 

Tanda bahwa seseorang ditetapkan dalam sebab-sebab duniawi adalah ketekunannya di dalamnya dengan hasil-hasil yang didapatkan, tanpa adanya hambatan yang memutuskan hubungannya dengan agama, serta kecukupan yang diperoleh sehingga jika meninggalkannya, ia akan merasa terhormat di hadapan orang-orang dan lebih perhatian pada rezekinya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia berpindah ke tajrid.

Dalam kitab "Al-Tanwir" disebutkan: "Apa yang diinginkan oleh Allah dari dirimu adalah tinggal di tempat yang Allah tetapkan untukmu, hingga Allah sendiri yang mengeluarkanmu dari tempat itu seperti ketika Allah memasukkanmu ke dalamnya." Bukanlah masalah untuk meninggalkan sebab, melainkan masalahnya adalah jika sebab meninggalkanmu.

قَالَ بَعْضُهُمْ: تَرَكْتُ السَّبَبَ كَذَا وَكَذَا مَرَّةً فَعُدْتُ إِلَيْهِ فَتَرَكَنِي السَّبَبُ فَلَمْ أَعُدْ إِلَيْهِ. قَالَ(٢): وَدَخَلْتُ عَلَى الشَّيْخِ أَبِي العَبَّاسِ المُرْسِيِّ وَفِي نَفْسِي العَزْمُ عَلَى التَّجْرِيدِ قَائِلًا فِي نَفْسِي: إِنَّ الوُصُولَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الحَالَةِ الَّتِي أَنَا عَلَيْهَا بَعِيدٌ مِنَ الاشْتِغَالِ بِالعِلْمِ الظَّاهِرِ وَوُجُودِ المُخَالَطَةِ لِلنَّاسِ، فَقَالَ لِي مِنْ غَيْرِ أَنْ أَسْأَلَهُ: صَحِبَنِي إِنْسَانٌ مُشْتَغِلٌ بِالعُلُومِ الظَّاهِرَةِ وَمُتَصَدِّرٌ فِيهَا، فَذَاقَ مِنْ هَذَا الطَّرِيقِ شَيْئًا فَجَاءَ إِلَيَّ فَقَالَ لِي: يَا سَيِّدِي أَخْرُجْ عَمَّا أَنَا فِيهِ وَأَتَفَرَّغْ لِصُحْبَتِكَ؟ فَقُلْتُ لَهُ: لَيْسَ الشَّأْنُ ذَا وَلَكِنِ امْكُثْ فِيمَا أَنْتَ فِيهِ وَمَا قُسِّمَ اللَّهُ لَكَ عَلَى أَيْدِينَا فَهُوَ لَكَ وَاصِلٌ.

Ada yang berkata: "Aku meninggalkan sebab berkali-kali, tetapi selalu kembali padanya, sampai akhirnya sebab itu sendiri yang meninggalkanku dan aku tidak kembali lagi kepadanya."

Disebutkan bahwa suatu ketika saya (Ibnu Atha'illah as-Sakandari) masuk menemui Syekh Abu al-Abbas al-Mursi, sementara dalam hati saya ada niat untuk melakukan tajrid. Saya berkata dalam hati: "Mencapai Allah dalam keadaan yang saya alami ini, dengan sibuk dalam ilmu lahir dan bergaul dengan manusia, tampaknya sulit." Maka tanpa saya bertanya, beliau berkata kepada saya: "Ada seseorang yang menyertai saya, dia sibuk dengan ilmu lahir dan berstatus terhormat di dalamnya. Ia merasakan sesuatu dari jalan ini, lalu datang kepadaku dan berkata: 'Wahai Tuan, saya ingin meninggalkan apa yang saya lakukan dan fokus menemanimu.' Saya menjawab: 'Ini bukan masalahnya, tetapi tetaplah di tempatmu, dan apa yang Allah tetapkan untukmu melalui kami akan sampai kepadamu.'"

ثُمَّ قَالَ الشَّيْخُ وَنَظَرَ إِلَيَّ: وَهَكَذَا شَأْنُ الصِّدِّيقِينَ لَا يَخْرُجُونَ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يَكُونَ الحَقُّ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يَتَوَلَّى إِخْرَاجَهُمْ، فَخَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ وَقَدْ غَسَلَ اللَّهُ تِلْكَ الخَوَاطِرَ مِنْ قَلْبِي وَوَجَدْتُ الرَّاحَةَ بِالتَّسْلِيمِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، وَلَكِنَّهُمْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ مَظَلُّ: ((هُمُ القَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ)) ((١) رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ، بَابُ فَضْلِ مَجَالِسِ الذِّكْرِ، حَدِيثٌ رَقْمُ (2689) [2069/4] وَأَحْمَدُ فِي المُسْنَدِ، مُسْنَدُ أَبِي هُرَيْرَةَ، حَدِيثٌ رَقْمُ (8960) [2/ 382] وَرَوَاهُ غَيْرُهُمَا.) اهـ.

Kemudian Syekh memandang saya dan berkata: "Begitulah keadaan para shiddiqin, mereka tidak meninggalkan sesuatu sampai Allah sendiri yang mengeluarkannya. Maka saya keluar dari tempat itu dengan Allah membersihkan pikiran-pikiran tersebut dari hati saya, dan saya merasa nyaman dengan berserah diri kepada Allah Ta'ala. Namun, mereka adalah orang-orang seperti yang dikatakan Rasulullah, 'Mereka adalah kaum yang tidak merugikan siapa pun yang duduk bersama mereka.'" (1) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya, Bab Keutamaan Majelis Zikir, Hadis Nomor (2689) [2069/4] dan Ahmad dalam Musnad, Musnad Abu Hurairah, Hadis Nomor (8960) [2/ 382], dan lainnya.

 قَالَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّمَا مَنَعَهُ مِنَ التَّجْرِيدِ لِشَرَهِ نَفْسِهِ إِلَيْهِ وَالنَّفْسُ إِذَا شَرِهَتْ لِلشَّيْءِ كَانَ خَفِيفًا عَلَيْهَا، وَالخَفِيفُ عَلَيْهَا لَا خَيْرَ فِيهِ، وَمَا خَفَّ عَلَيْهَا إِلَّا لِحَظٍّ لَهَا فِيهِ. ثُمَّ قَالَ: فَلَا يَتَجَرَّدِ المُرِيدُ فِي حَالِ القُوَّةِ حَتَّى تَفُوتَ إِنْ أَرَادَ أَنْ تَسْتَفِيدَ نَفْسُهُ فَإِنْ جَرَّدَهَا فِي حَالِ القُوَّةِ أَتَاهُ الضَّعْفُ فَيَعْقُبُهُ الخَصْمَانِ وَيُشَوِّشُونَهُ وَيَفْتِنُونَهُ، وَرُبَّمَا إِذَا لَمْ يُدْرِكْهُ المَوْلَى بِلُطْفِهِ سَامَحَ فِي الخُلْطَةِ وَيَرْجِعُ إِلَى مَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يُسِيءَ ظَنَّهُ بِأَهْلِ التَّجْرِيدِ، وَيَقُولَ: لَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ، كُلُّنَا دَخَلْنَا البَلَدَ وَمَا رَأَيْنَا شَيْئًا.

Syekh berkata: "Dia dilarang dari tajrid karena nafsunya sangat ingin melakukannya, dan jika sesuatu menjadi ringan bagi nafsu, maka itu tidak baik. Sesuatu menjadi ringan bagi nafsu hanya jika ada bagian untuk nafsu di dalamnya." Beliau juga berkata: "Seorang murid tidak boleh bertajrid dalam keadaan kuat hingga ia melewati ujian. Jika ia bertajrid dalam keadaan kuat, kelemahan akan datang kepadanya, lalu musuh-musuhnya akan menyerangnya, mengganggu, dan menggodanya. Jika Allah tidak menyelamatkannya dengan kelembutan-Nya, ia akan kembali bergaul dengan orang-orang dan kembali ke apa yang telah ia tinggalkan, bahkan mungkin ia menjadi buruk sangka kepada para ahli tajrid, dengan mengatakan: 'Mereka bukan apa-apa. Kita semua telah melakukannya dan tidak melihat apa-apa.'"

وَالَّذِي يَثْقُلُ عَلَيْهِ التَّجْرِيدُ أَوَّلًا هُوَ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَجَرَّدَ لِأَنَّهُ مَا ثَقُلَ عَلَيْهَا إِلَّا حَيْثُ تَحَقَّقَتْ أَنَّ عُنُقَهَا تَحْتَ السَّيْفِ مَهْمَا حَرَّكَ يَدَهُ قَطَعَ أَوْدَاجَهَا. إِنْتَهَى المَقْصُودُ مِنْهُ. وَأَمَّا المُتَجَرِّدُ إِذَا أَرَادَ الرُّجُوعَ إِلَى الأَسْبَابِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ صَرِيحٍ فَهُوَ انْحِطَاطٌ مِنَ الهِمَّةِ العَلِيَّةِ إِلَى الهِمَّةِ الدَّنِيَّةِ أَوْ سُقُوطٌ مِنَ الوِلَايَةِ الكُبْرَى إِلَى الوِلَايَةِ الصُّغْرَى.

Maka seseorang yang awalnya merasa berat melakukan tajrid, dialah yang seharusnya melakukannya, karena beratnya itu menandakan bahwa ia tahu betul bahwa dirinya berada dalam ancaman, seperti lehernya berada di bawah pedang yang akan memotong pembuluh darahnya jika tangan digerakkan. Maka, tujuannya tercapai.

Adapun seorang yang telah bertajrid dan ingin kembali ke sebab-sebab duniawi tanpa izin yang jelas, itu adalah penurunan dari tekad yang tinggi ke tekad yang rendah, atau penurunan dari wilayah besar ke wilayah kecil.

قَالَ شَيْخُ شُيُوخِنَا سِيِدِي عَلِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: قَالَ لِي شَيْخِي سِيِدِي العَرَبِيُّ: يَا وَلَدِي لَوْ رَأَيْتُ شَيْئًا أَعْلَى مِنَ التَّجْرِيدِ وَأَقْرَبَ وَأَنْفَعَ لَأَخْبَرْتُكَ بِهِ وَلَكِنْ هُوَ عِنْدَ أَهْلِ هَذِهِ الطَّرِيقَةِ بِمَنْزِلَةِ الإِكْسِيرِ الَّذِي قِيرَاطٌ مِنْهُ يَغْلِبُ مَا بَيْنَ الخَافِقَيْنِ ذَهَبًا كَذَلِكَ التَّجْرِيدُ فِي هَذِهِ الطَّرِيقِ. اهـ.

Syekh Guru kami, Sidi Ali ra berkata: "Guru saya, Sidi al-Arabi berkata kepadaku: 'Wahai anakku, jika aku melihat sesuatu yang lebih tinggi dari tajrid, lebih dekat, dan lebih bermanfaat, aku akan memberitahumu. Namun, bagi ahli jalan ini, tajrid adalah seperti elixir yang satu karatnya melebihi emas yang ada di antara timur dan barat.' Demikianlah tajrid dalam jalan ini."

وَسَمِعْتُ شَيْخَ شَيْخِنَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: مَعْرِفَةُ المُتَجَرِّدِ أَفْضَلُ وَفِكْرَتُهُ أَنْصَعُ لِأَنَّ الصَّفَاءَ مِنَ الصَّفَاءِ وَالكَدَرَ مِنَ الكَدَرِ، صَفَاءُ البَاطِنِ مِنْ صَفَاءِ الظَّاهِرِ وَكَدَرَ البَاطِنِ مِنْ كَدَرِ الظَّاهِرِ، وَكُلَّمَا زَادَ فِي الحِسِّ نَقَصَ فِي المَعْنَى. وَفِي بَعْضِ الأَخْبَارِ: إِذَا أَخَذَ العَالِمُ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا نَقَصَتْ دَرَجَتُهُ عِنْدَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ كَرِيمًا عَلَى اللَّهِ، وَأَمَّا مَنْ أُذِنَ لَهُ فِي السَّبَبِ فَهُوَ كَالمُتَجَرِّدِ إِذَا صَارَ حِينَئِذٍ سَبَبُهُ عُبُودِيَّةً، وَالحَاصِلُ أَنَّ التَّجْرِيدَ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ سَبَبٌ وَالسَّبَبَ مَعَ الإِذْنِ تَجْرِيدٌ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

Saya mendengar Guru Guru kami berkata: "Mengenal ahli tajrid lebih baik dan pikirannya lebih jernih karena kebersihan berasal dari kebersihan, dan keruh berasal dari kekeruhan. Kebersihan batin berasal dari kebersihan lahir, dan keruh batin berasal dari keruh lahir. Setiap kali meningkat dalam indera, makna akan berkurang."

Dalam beberapa hadis, disebutkan: "Jika seorang ulama mengambil sesuatu dari dunia, derajatnya akan berkurang di sisi Allah, meskipun ia mulia di hadapan Allah."

Adapun orang yang diizinkan untuk melakukan sebab-sebab duniawi, ia seperti ahli tajrid ketika sebab-sebab tersebut menjadi penghambaan. Kesimpulannya adalah bahwa tajrid tanpa izin adalah sebab, dan sebab-sebab duniawi dengan izin adalah tajrid. Hanya Allah yang memberi taufik.

تَنْبِيهٌ: هَذَا الكَلامُ كُلُّهُ مَعَ السَّائِرِينَ، وَأَمَّا الوَاصِلُونَ المُتَمَكِّنُونَ فَلَا كَلَامَ عَلَيْهِمْ إِذْ هُمْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَأْخُوذُونَ عَنْ أَنْفُسِهِمْ يَقْبِضُونَ مِنَ اللَّهِ وَيَدْفَعُونَ بِاللَّهِ، قَدْ تَوَلَّى الحَقُّ تَعَالَى أُمُورَهُمْ وَحَفِظَ أَسْرَارَهُمْ وَحَرَسَ قُلُوبَهُمْ بِجُنُودِ الأَنْوَارِ فَلَا تُؤَثِّرُ فِيهَا ظُلَمُ الأَغْيَارِ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ حَالُ الصَّحَابَةِ فِي الأَسْبَابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَنَفَعَنَا بِبَرَكَاتِهِمْ آمِينَ. 

Catatan: Semua ini berlaku bagi orang-orang yang masih dalam perjalanan (suluk), sedangkan orang-orang yang telah sampai (wushul) dan telah mantap, tidak ada pembicaraan atas mereka, karena mereka telah dijauhkan dari diri mereka sendiri. Mereka mengambil dari Allah dan memberi dengan izin Allah, Allah telah mengurus urusan mereka, menjaga rahasia mereka, dan melindungi hati mereka dengan tentara cahaya, sehingga tidak ada pengaruh dari kegelapan orang lain. Hal ini mencakup keadaan para sahabat dalam menjalankan sebab-sebab duniawi, semoga Allah meridai mereka dan memberi kita manfaat dari keberkahan mereka, Amin.

وَاعْلَمْ أَنَّ المُتَسَبِّبَ وَالمُتَجَرِّدَ عَامِلَانِ لِلَّهِ إِذْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَصَلَ لَهُ صِدْقُ التَّوَجُّهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى قَالَ بَعْضُهُمْ: مَثَلُ المُتَجَرِّدِ وَالمُتَسَبِّبِ كَعَبْدَيْنِ لِلْمَلِكِ قَالَ لِأَحَدِهِمَا: اعْمَلْ وَكُلْ، وَقَالَ لِلآخَرِ: الزَمْ أَنْتَ حَضْرَتِي وَأَنَا أَقُومُ لَكَ بِقِسْمَتِي. وَلَكِنْ صِدْقُ التَّوَجُّهِ فِي المُتَجَرِّدِ أَقْوَى لِقِلَّةِ عَوَائِقِهِ وَقَطْعِ عَلَائِقِهِ كَمَا هُوَ مَعْلُومٌ. وَلَمَّا كَانَتْ هِمَّةُ الفَقِيرِ المُتَجَرِّدِ لَا تُخْطِئُ فِي الغَالِبِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ((إِنَّ لِلَّهِ رِجَالًا لَوْ أَقْسَمُوا عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُمْ فِي قَسَمِهِمْ)).

Dan ketahuilah bahwa orang yang melakukan sebab-sebab duniawi dan orang yang melakukan tajrid keduanya bekerja untuk Allah, karena keduanya memiliki kejujuran dalam menghadap Allah Ta'ala, hingga ada yang berkata: "Perumpamaan orang yang bertajrid dan orang yang melakukan sebab-sebab duniawi adalah seperti dua hamba raja. Raja berkata kepada salah satu dari mereka: 'Bekerjalah dan makanlah,' dan berkata kepada yang lainnya: 'Tetaplah di hadapanku, dan Aku yang akan menanggung rezekimu.'" Namun, kejujuran dalam menghadap Allah lebih kuat pada orang yang bertajrid karena sedikitnya hambatan dan putusnya keterikatan, sebagaimana diketahui. Karena tekad fakir yang bertajrid biasanya tidak pernah salah, sebagaimana sabda Rasulullah: "Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang yang jika bersumpah atas nama Allah, Allah akan memenuhinya."

 قَالَ شَيْخُنَا: وَلِلَّهِ رِجَالٌ إِذَا اهْتَمُّوا بِالشَّيْءِ كَانَ بِإِذْنِ اللَّهِ. وَقَالَ أَيْضًا عَلَيْهِ السَّلَامُ: ((اتَّقُوا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ)). خَشِيَ الشَّيْخُ أَنْ يَتَوَهَّمَ أَحَدٌ أَنَّ الهِمَّةَ تُخْرِقُ سُورَ القَدَرِ وَتَفْعَلُ مَا لَمْ يَجُزْ بِهِ القَضَاءُ وَالقَدَرُ فَرَفَعَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: ٣ - (سَوَابِقُ الهِمَمِ لَا تَخْرِقُ أَسْوَارَ الأَقْدَارِ).

Syekh kita berkata: "Dan bagi Allah ada orang-orang yang jika mereka bertekad melakukan sesuatu, itu akan terjadi dengan izin Allah." Beliau juga bersabda: "Berhati-hatilah dengan firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah."

Syekh khawatir seseorang mungkin berpikir bahwa tekad dapat melampaui batas takdir dan melakukan sesuatu yang tidak diizinkan oleh qadha dan qadar. Maka ia mengangkat hal ini dengan mengatakan: "Tekad yang kuat tidak akan melampaui batas takdir."

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More