Sabtu, 13 Juli 2019

ILMU SYAHADAT

Syahadat (asy-syahādah) berasal dari bahasa Arab yang artinya ia telah memberikan persaksian, memberikan ikrar setia, dan memberikan pengakuan. Syahadat dalam pengertian rukun Islam yang pertama adalah pernyataan diri segenap jiwa dan raga atas persaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Rasul-Nya). Syahadat atau persaksian tersebut tidak bisa sempurna kecuali dengan dilandasi ilmu, sebagaimana Firman Allah swt.:
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ وَٱلْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلْعِلْمِ قَآئِمَاً بِٱلْقِسْطِ لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran [3]: 18).
Dalam tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka disebutkan bahwa kata “syahida” di awal ayat di atas bermakna bahwa Allah swt menjelaskan dengan media cipataan-Nya (alam semesta, termasuk manusia di dalamnya) bahwa “Tidak ada tuhan selain Allah.” Dengan media ciptaan Allah SWT lah manusia mampu mengerti, memahami, dan kemudian bersaksi bahwa memang “Tidak ada tuhan selain Allah”.
Sebagai manusia muslim, adalah wajib untuk berilmu. Karena tanpa ilmu maka tidak akan bisa bersaksi. Dan tanpa saksi maka tidak bisa bersyahadat dengan benar. Tanpa ilmu maka persaksian yang dimiliki adalah persaksian yang rapuh yang mudah gugur karena tanpa argumenentasi.
Orang yang berilmu pada ayat QS. Ali Imran [3]: 18 tersebut, secara sederhana adalah orang-orang yang menyediakan waktu, tenaga, akal dan pikirannya untuk menyelidiki keadaan alam ini, baik di bumi ataupun di langit, di laut dan di darat, di binatang dan di tumbuh-tumbuhan, dan di diri manusia sendiri, untuk menggali, mengerti, memahami bahwa “Alam Semesta dan Diri ini adalah Ciptaan Allah swt” dan menuju perkesaksian bahwa memang tidak ada Tuhan melainkan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt.:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي ٱلآفَاقِ وَفِيۤ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fusshilat [41]: 53)
Contoh dalam Al-Qur’an tentang orang yang berilmu ini adalah Nabi Ibrahim as. yang menyelidiki alam semesta dalam rangka mencari Tuhan:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ ٱلْلَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لاۤ أُحِبُّ ٱلآفِلِينَ. فَلَمَّآ رَأَى ٱلْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأَكُونَنَّ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلضَّالِّينَ. فَلَماَّ رَأَى ٱلشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـٰذَا رَبِّي هَـٰذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ إِنِّي بَرِيۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ. إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلأَرْضَ حَنِيفاً وَمَآ أَنَاْ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
"Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku”. Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”. Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, ”Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan”. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan." (QS. Al-An’am [6]: 76-79).
Untuk membedakan antara bersyahadat orang-orang berilmu dan tidak berilmu dapat di-’rasa’-kan pada kisah-kisah berikut ini:
Ngapunten dan Terima kasih...

Minggu, 07 Juli 2019

MERASAKAN KESADARAN DIRI DENGAN DZIKIR

Di malam yang sangat dingin di musim kemarau, seusai jagong Midodareni di rumah tetangga, Semprul dan Kemprul beringsut ke pos ronda. Mereka menyimak berita tentang kriminalitas. Hanya sekitar 5 menit, Semprul menarik nafas panjang dan kemudian berkata:

Semprul: “Prul, bukankah setiap orang itu sadar dengan apa yang dilakukannya?”

Kemprul: “Harusnya seperti itu Prul. Seharunya orang shalat itu sadar kalau lagi shalat,  waktu dzikir ingat kalau lagi dzikir atau mengingat yang sedang didzikiri, ingat Allah SWT.”

Semprul: “Lha itu Prul, kalau dzikir itu pikiranku seharusnya bagaimana, dan perasaanku harusnya seperti apa?”

Kemprul: “Menurut Syaikh Ibnu Athoillah dalam Kitab Al-Hikam Kualitas dzikir terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu: pertama, Dzikrul Lisan. Tingkatan dzikir lisan adalah berdzikir sebatas pada lisan atau mulut, tanpa melibatkan hati. Hati pada tingkatan ini masih lalai dan belum mampu merasakan rasa takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT.

Semprul: “Tapi itu masih bagus kan Prul daripada tidak dzikir?”
Kemprul: “Ya tentu, lebih bagus Prul. Namun kualitas ini, kalau Allah berkehendak akan ditingkatkan pada tingkat kedua, yaitu Dzikir diserta ingat dalam hati. Tingkatan dzikir hati adalah ingatnya hati yang ingat namun belum disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah kecenderungan untuk memadukan lisan dan hati dalam berdzikir, sehingga seringkali dzikir lisannnya tertinggal dan diam.”

Semprul: “Oooh…!”

Kemprul tersenyum mendengar Oooh yang diucapkan Semprul, kemudian Kemprul melanjutkan.

Kemprul: “Tingkatan yang ketiga, ada adalah dzikirnya disertai hadirnya hati atau disebut hudlur. Tingkatan dzikir hadirnya hati adalah ingatnya hati yang disertai disertai rasa bertambahnya takwa yang semakin mendalam, belum merasakan takut, malu, cemas, rindu, dan cinta kepada Allah SWT. Indikator pada tingkatan ini adalah adanya rasa gentar kepada Allah SWT yg dapat dilihat dari getaran tubuh atau bahkan menangis, atau tersenyum.”

Semprul: “Wuih…bagus sekali ini Prul!”

Kemprul: “Ya Prul…kita kalau sudah dikarunia dzikir ini…harus banyak bersyukur…dan terus berikhtiar dan doa agar Allah meningkatkan kualitas dzikir kita pada tingkat yang keempat, yaitu Dzikir Ghoibah, yaitu dzikir yang hanya teringat pada Allah SWT dan tidak kepada selain Allah SWT. Gambaran tingkatan ini adalah keterpesonaan atau keterpanaan seseorang pada sesuatu, sebagaimana keterpesonaan para wanita bangsawan pada ketampanan nabi Yusuf as. Indikatornya adalah kekhusyuan yang kuat yang dapat dilihat dari ketahanan dalam beribadah, keyakinan yang mantap, dan jiwa yang tenang.”

Semprul: “Gimana caranya sampai pada tingkat tersebut Prul?”

Kemprul: “Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandary memberikan nasehat sederhana berdzikirlah terus dan berharap mudah-mudahan Allah SWT menganugerahkannya.”

Semprul mangut-mangut sambal menerawang dengan tatpan kosong ke TV. Melihat itu, Kemprul berkata:

Kemprul: “Prul, bagus ya beritanya?”

Semprul tergagap, dan menjawab: “Eeh…ndak tahu Prul….he he…aku ngelamun Prul. Walau pandanganku ke TV tapi aku tidak melihatnya dan tidak sadar. Aku melamunkan bagaimana dzikir yang sudah kulakukan selama ini.”

Kemprul: “He he…kondisimu barusan mirip tingkatan dzikir yang mana Prul?”

Semprul: “Mungkin yang ketiga?! Atau keempat?!”

Kemprul: “Gayamu…itu masih kedua Prul…he he…yuk pulang!”

Semprul dan Kemprul meninggalkan pos Ronda. Bagi mereka berdua, Pos Ronda juga merupakan tempat untuk diskusi dalam ikhtiar meningkatkan kualitas diri.

(Kalitirto, 01-06-19)

Kamis, 02 Mei 2019

Buku Sekolah Ramadhan: Aturan Dlahir Batin, dan Rahasia Hikmahnya

Buku ini disusun untuk mengingatkan kembali bahwa Ramadhan adalah Sekolah, yang perolehan-perolehan-nya hendaknya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang mampu ber-Sekolah di Ramadhan sampai pada tingkat hikmah dan manfaatnya dlahir-batin Ramadhan tentu sangat bersemangat untuk melanjutkan nilai-nilai Ramadhan di bulan-bulan setelah-nya. Dan, tentu merindukan kedatangan Ramadhan berikutnya. Link Doawnload.

Jumat, 22 Februari 2019

Kimia Kebahagiaan


Terjemahan kitab Kimyaus Sa'adah Imam Ghazali.
Terjemahan bahasa Melayu.
Daftar Isi:
[1.Pendahuluan, 1
[ 2. Kunci Mengenal Alloh SWT, 2
[3.Pembukaan Hati Ke Alam Ghaib, 8
[4. Mengenal Alloh SWT, 14
[5.Mengenal Dunia, 25
[6. Mengenal Akhirat]                       
[7.Neraka Keruhanian, 38
[8.Berkenaan Muzik & Tarian, 44
[9.Memeriksa Diri Sendiri & Mengingat Alloh SWT, 53]                   
[10. Perkawinan, 65]  
[11.Cinta kepada Alloh SWT, 76
[12.Memandang Alloh SWT, 81]
[13.Tanda Cinta Alloh SWT, 89]
Download

Minggu, 20 Januari 2019

MANFAAT BAGI SESAMA, DIMULAI DARI BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Rasulullah SAW diutus oleh Alloh SWT untuk merahmati alam semesta (QS. 21.107). Rasulullah SAW membahasakan secara sederhana tugas ini dengan bersabda: "Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad No. 273).
Akhlak yang mulia ini dimulai dari berbakti kepada orang tua. Hal ini sangat beralasan karena apakah ada yang dinamakan akhlak dalam diri seseorang apabila orang tua yg berjasa di setiap dagingnya yang tumbuh ia mendurhakainya. Allah SWT mengilustrasikan "Janganlah kalian berkata kepada kedua orang tuamu 'ah'. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’" (QS. Al-Israa’: 23-24).
Begitu pentingnya berbakti kepada orang tua ini Rasulullah SAW bersabda: “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. at-Tirmidzi no. 1899, HR. al-Hakim no. 7249). Dalam hadis yg lain, seorang sahabat Rasulullah SAW kesulitan untuk mengucapkan kalimat Thoyyibah diakibatkan pernah menyakiti hati ibunya. Begitu ibunya datang dan diminta Rasulullah SAW memaafkannya, dan sesudah ibu tersebut memaafkannya, sahabat tersebut bisa mengucapkan kalimat Thoyyibah di akhir hidupnya. (HR. Imam Ahmad, 4/382). Hal ini digambarkan Rasulullah SAW dengan kalimat yg indah "...sesungguhnya surga ada di bawah kedua kaki ibu." (Imam an-Nasâ-i (6/11), al-Hâkim (2/114 dan 4/167).
Mengingat hal penting ini, maka adakah dikatakan seseorang mempunyai manfaat atau rahmah kepada orang lain, bila orang tersebut tdk berbakti kepada orang tuanya? Tentu saja tdk.
Wallohu A'lam.

DZIKIR DAN DOA SETELAH SHALAT

Banyak dzikir atau wirid setelah sholat yang dianjurkan dan atau dicontohkan oleh Rasululloh SAW, di antaranya:

عَنْ اَبِى عَمْروٍ بْنِ مُرَّةَ قَالَ : سَمِعْتُ بِلاَلَ بْنِ يَسَارٍ بْنِ زَيْدٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَمِعْتُ اَبِى يُحَدَّثَنِيْهِ عَنْ جَدِّى اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِى لاَإِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ، غُفِرَ لَهُ وَاِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِرواه ابوداود.


Artinya: “Dari Abu Amrin bin Murrah ia berkata: aku mendengar Bilal bin Yasar bin Zaid anak angkat Nabi SAW, ia berkata: aku mendengar ayahku menceritakannya dari kakekku bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW, bersabda: ”Barangsiapa mengucapkan:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِى لاَإِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ 

(aku memohon ampunan Alloh, yang tiada Tuhan kecuali Dia, Yang Maha hidup Yang berdiri sendiri dan aku taubat kepada-Nya), maka diampunilah dosanya sekalipun (dosa) lari dari musuh”. HR. Imam Abu Dawud.

عَنْ ثَوْبَانَ: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَقُوْلُ “اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ”.رواه ابن ماجه.

Artinya : “Dari Tsauban berkata ; bahwa Rasulullah SAW, apabila selesai dari shalatnya membaca Istighfar tiga kali kemudian mengucapkan:

 اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَام
:Yang lain

عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رواه مسلم

Artinya: “Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa Rasulullah SAW, apabila selesai dari shalatnya dan salam mengucapkan:

لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ   

(Tiada Tuhan melainkan Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagiNya puji-pujian dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu)”. HR. Imam Muslim.

عَنْ عَلِىٍّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَرَأَ أَيَةَ الْكُرْسِيِّ فِى دُبُرِ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ فِى ذِمَّةِ اللهِ اِلَى الصَّلاَةِ اْلأُخْرَى  رواه الطبرانى باءسناد حسن  

Artinya: “Dari ‘Ali r.a, sesungguhnya Nabi SAW, bersabda: Barangsiapa membaca ayat Kursiy setelah selesai shalat fardlu (maka) dia dalam penjagaan Allah sampai pada shalat yang lain”. HR. Imam Thabrani, dengan sanad yang bagus.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ٌقَالَ : مَنْ سَبَّحَ اللهَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ تِلْكَ تِسْعٌ وَتِسْعُوْنَ ثُمَّ قَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ غُقِرَتْ لَهُ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ. رواه احمد والبخارى ومسلم وابو داود.

Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa membaca tasbih (سبحان الله) setiap selesai shalat 33 kali dan bertahmid (الحمد لله) 33 kali dan bertakbir (الله اكبر) 33 kali, maka yang demikian itu berjumlah 99 kali, kemudian mengucapkan (لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ), sebagai sempurnanya 100 kali, maka diampunilah kesalahannya (dosanya) sebanding buih lautan”. HR. Imam Ahmad, Imam Bukhariy, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.


...عن عقبة بن عامر أنه قال: أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقرأ بالمعوّذات في دبر كل صلاة 

…Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa ia berkata: “saya diperintah Rasulullah s.a.w. untuk membaca ‘al-Mu’awwidzat’ dibelakang setiap shalat”.

al-Mu’awwidzat: Surat Al-Ikhlas 1x
Surat Al-Falaq 1 x
Surat An-Nas 1x

Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?” Aku pun menjawab,   اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ  (ayat 255 Al-Baqarah)

Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810).

وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ قال : ( يا معاذ إني والله لأحبك فلا تدعن دبر كل صلاة أن تقول : اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك

Wasiat Rasulullah SAW kepada Mu’adz: “Ya Mu’adz Sesungguhnya Aku dan Allah SWT mencintaimu, oleh karenanya jangan kamu tinggalkan di setiap selesai shalat untuk berdoa:  “Ya Allah, bantulah saya untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, senantiasa mensyukuri ni’mat-Mu dan senantiasa membaguskan ibadah kepada-Mu.” (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).

اللهم أجرني من النار x7

“Ya Allah, lindungilah aku daripada api neraka) dibaca 7 kali tiap ba’da shalat (Maghrib dan Shubuh). (HR. Muslim)

اللهم إني أسألك علما نافعا ورزقا واسعا وعملا متقبلا


“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar diberi ilmu yang manfaat, rezeki yang luas, dan amalan yang diterima.” (H.R. Ahmad, Ibnu Syaibah, dan Ibnu Majah).

Selasa, 30 Oktober 2018

KEGELISAHAN PARA DAKSA, KEGAMANGAN PARA DEWA


A.    Pendahuluan
Di tengah perdebatan para pemikir organisasi keagamaan, dalam usaha mencoba mengamati, meneliti, mengklarifikasi, mengkalkulasi dan menata realitas budaya dan peradaban, agar “menjadi sesuai dengan kehendak Tuhan”, tiga orang: Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sholihaddin seorang pegawai di sebuah mall; Sholihiddin seorang sopir, dan Sholihuddin seorang pegawai negeri rendahan. Usia ketiga orang tersebut berkisar antara 30-40 tahun dengan masing-masing satu istri dan dua anak. Yang berbeda di antara mereka adalah agama, Sholihaddin taat dengan keyakinan Hindunya, Sholihiddin akrab dengan keyakinan Protestannya dan Sholihuddin kuat dengan keyakinan Islamnya.
Sebagaimana kesimpulan Weber dalam penelitiannya tentang pengaruh ajaran Kristen Protestan terhadap pemeluknya, khususnya di Eropa Barat dan penelitian Bellah tentang kekuatan motivasi ajaran Tokugawa terhadap kegigihan Samurai dalam membangun Jepang, bahwa secara meyakinkan adanya pengaruh yang sangat kuat antara ajaran agama yang diresapi dan diyakini individu maupun masyarakat terhadap aktivitas di kehidupan nyata (dalam Cholidy Ibrar, dalam M. Masyur Amin dan Ismail S. Ahmad, 1993), maka ketiga orang tersebut adalah representasi dari hasil penelitian tersebut. Ketiganya adalah individu-individu yang kuat memegang keyakinannya. Hanya saja karena mereka bertiga adalah orang-orang awam, maka pengetahuan agama yang mereka pahami adalah hasil dari transformasi para elit agama mereka, bukan hasil pemikiran ataupun kontemplasi. Teologi model bagaimana yang mereka terima, model seperti itulah yang mempengaruhi aktivitas keseharian mereka.
Dialog antar-agama sering terjadi warung soto Murah Meriah milik Pak Triman, di mana minimal dua kali dalam seminggu mereka bertiga bertemu di saat makan siang maka obrolan hangat di antara mereka pun segera mengalir berebut masuk-keluar antara makanan dan kata-kata mereka; saling sindir, tertawa lepas, mentertawakan diri (nasib) mereka sendiri atau mentertawakan badut-badut politik yang sedang pentas di panggung eksekutif atau legislatif. Namun mereka menjadi serius saat mendiskusikan anak-anak mereka di kehidupan yang, seperti Jargon John Naisbit, dinamakan Global Paradox, yaitu dalam waktu bersamaan mereka dihadapkan pada beberapa kecenderungan paradoksal (dalam Tarmizi Taher dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Ed.), 1996). Di satu sisi kehidupan dewasa ini menawarkan semangat etnis dan keberagamaan yang menguat, namun di sisi lain arus globalisasi juga menanamkan pengaruhnya yang sangat kuat.
Yang terpenting dari “dialog serius mereka” adalah adanya kegelisahan ketidakmampuan agama dalam membimbing anak-anak mereka – dan mereka sendiri – menghadapi realitas kehidupan ini. Mereka berpikir apakah pada saatnya nanti agama yang mereka pegang tak akan ada lagi yang mewarisi, dalam Bahasa Nabi Ya'kub ma ta’budu min ba’di, Apa yang kalian sembah setelah (generasi) ku? Agama hanya akan tinggal nama, namun tak lagi bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Apa yang diajarkan oleh para agamawan tak lagi mampu menyelesaikan probelm-problem yang muncul, baik dalam diri maupun lingkungan mereka, terutama dalam kaitannya dengan pluralisme, globalisme, progresivisme, pragmatism, politikesme. Bagaimana memikirkan anak-anak mereka apabila mereka sendiri saja mulai gamang memegang keyakinan agama mereka, walau ibadah tetap mereka jalankan; setiap purnama Sholihaddin ke pura, minggu pagi Sholihiddin ke gereja, dan Jum’at siang Sholihuddin pergi ke masjid, namun tak urung kemajuan zaman membuat mereka ketar-ketir. Mereka berpikir, seandainya agama bisa up grade, maka agama tidak akan menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman, dan mereka bisa dengan nyaman melakukan aktivitas yang selaras dengan “keyakinan hasil up grade” mereka.
Satu saat, di mana peradaban tak lagi bisa ditentukan identitasnya karena semua adalah satu dan satu adalah semua, maka berbagai macam bentuk peraturan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan nilai-nilai dasar yang universal. Artinya, nilai-nilai dasar universal tersebut bisa diterima oleh semua umat manusia. Saat seperti ini, di manakah meletakkan agama? Sampai pada bagian ini, pikiran nakal terbersit dalam benak mereka, agama yang tak mampu menyelesaikan problem-problem manusia bukan agama sebenarnya. Agama yang sebenarnya adalah yang mampu memberi pencerahan kepada umatnya dalam menghadapi segala permasalahan hidup dan kehidupan. “Akan kurobohkan pura, gereja dan masjid apabila tak mampu memberikan jawaban!” Pikir mereka lebih usil.
Fenomena imajinatif di atas paling tidak memberikan ilustrasi bagi kita bahwa bagaimanapun kuatnya keyakinan (agama) apabila sudah tidak mampu lagi merespon ‘kebutuhan’ kemanusiaan, maka akan ditinggalkan. Namun agak berbeda dengan teori yang lain, agama memiliki suatu janji yang membuat manusia gamang meninggalkannya secara semena-mena, yaitu keselamatan di alam penuh misteri, alam sesudah kematian. Secara psikologis orang lebih nyaman dengan bekal apabila akan melakukan perjalanan, lebih-lebih perjalanan ke tempat yang tidak dikenalnya (misteri). Di sinilah agama tampil memberikan bekal tersebut, sehingga kenyataan agama tidak mampu memberikan penyelesaian di alam nyata manusia ’saat ini’ kadang tidak terlalu diperhatikan.
Asumsi di atas, atau bahkan mungkin kenyataan, memberikan hipotesa bahwa agama tidak urgen lagi apabila tidak berpihak kepada manusia. Suatu agama tentu sangat lekat dengan teologi agama tersebut, namun apabila teologi yang mencoba menjelaskan dan menafsirkan wahyu menjadi ‘kebablasan’ dan tak lagi mampu merespon kegelisahan manusia, tak berpihak kepada manusia, maka bisa dikatakan teologi agama tersebut menghancurkan agama yang dibangunnya. Teologi tersebut mereduksi agama yang dibangunnya.
Teologi adalah usaha metodis untuk memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Usaha metodis di sini meliputi menyelidiki, mengklarifikasi dan mengajarkan secara logis (Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ., 1996). Teologi adalah Produk pemikiran klasik yang belum terilmiahkan, oleh karena itu teologi mengalami kemandegan, hanya sebatas mengurusi masalah-masalah transenden dan supranatural. Kalau teologi tetap berkutat di lingkaran transenden dan supranatural, maka teologi tetap tidak mampu mendongkrak agama menjadi bagian yang urgen bagi hidup dan kehidupan manusia, dan gilirannya teologi akan membunuh agama. Teologi sebagai bagian dari agama akan menggerogoti dari dalam. Teologi sebagai hasil produk pemikiran manusia seharusnya tidak stagnan dan berpihak kepada manusia daripada melingkar pada transedensi dan supranatural, dan membumikan “kehendak Tuhan” dengan lebih arif. Tuhan tanpa teologi tak akan berkurang sifat ke-Tuhanan-Nya. Bahkan Tuhan pun berkehendak agar manusia menjadi sejahtera dengan adanya agama, maka teologi sebagai bagian dari agama seharusnya membuat sejahtera manusia. Di sinilah akan ditemukan kembali urgensi teologi dan agama.
Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin adalah bagian setitik realitas kehidupan yang perlu jawaban. Dengan penuh semangat mereka bekerja, tapi apakah banyak orang tahu bahwa mereka gelisah. Gelisah dengan agama yang mereka peluk dengan erat namun kadang tidak memberikan kenyamanan dan ketenangan apalagi kebahagiaan. Karena ada sesuatu yang salah yang mereka terima dari para elit agama yang rajin memberikan pencerahan yang ‘malah’ menenggelamkan mereka. (Lukman, 2002)

B.     Metode
Metode dalam kajian ini menggunakan Hermeneutik, yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang makna. Hermeneutik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermesdewa Pengetahuan dalam mitologiYunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus. (Wikipedia, 2018) Hermeneutik merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan “understanding of understanding” (pemahaman pada pemahaman) terhadap teks kitab suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi pembacanya (Muslih, 2004).
Metode Hermeneutik digunakan dalam kajian ini mengingat obyek yang dikaji adalah pesan dalam perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit dan karya-karyanya yang terhimpun dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Diharapkan dengan menggunakan metode Hermeneutik ini akan terungkap pesan-pesan utama dalam perkuliahan yang terekam dan pesan-pesan baik elegi maupun karya ilmiah laiinya pada blog tersebut. Secara operasional metode ini digunakan dengan memahami Misi “memahamkan pesan kepada umat manusia” yang diemban oleh Hermes, yang secara implisit berhubungan dengan tiga dasar makna direktif hermeneuein dan hermeneia. Tiga makna direktif ini digunakan untuk tujuan seperti: (1) Mengekspresikan suara dalam kata-kata, atau “mengatakan”; (2) Menjelaskan, seperti menjelaskan situasi; dan (3) menerjemahkan, seperti menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri. Ketiga arti ini dapat diekspresikan dengan kata “to interpret” atau “menafsirkan (Palmer, 1969).

C.    Hasil
Dari hasil pemahaman penulis, ada tiga pokok utama dalam pesan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit dalam paruh pertama perkuliahan Filsafat Pendidikan untuk Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) Program Pascasarjana UNY, yaitu (1) Filsafat itu adalah penjelasanmu; (2) Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof, dan (3) Filsafat tidak melewati batas dari keagungan spiritualitas. Penjelasan masing-masing pokok pembahasan sebagai berikut: 
Pertama. Filsafat Adalah Penjelasanmu. 
Penjelasan Prof. Dr. Marsigit ini adalah cabang utama dari filsafat, yaitu menggunakan logika dalam penalaran untuk menjelaskan suatu permasalahan. Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran (Wikipedia, 2018). 
Logika dikaruniakan oleh Tuhan yang Maha Esa kepada manusia sebagai salah satu instrument yang universal. Logika manusia dimanapun mempunyai persamaan, yang kemudian hal ini memungkinkan manusia dari bangsa manapun untuk berkomunikasi dan menyepakati sesuatu berdasarkan logika ini. Dalam perkembangannya logika ini digunnakan sebagai standar ilmu pengetahuan yang berkontribusi bagi pembagunan peradaban manusia. Hanya saja, karena logika adalah bukan satu alat satu-satunya yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka ilmu pengetahuan dan peradaban yang hanya dibangun berasarkan logika akan memunculkan kemanusiaan yang timpang.
Walaupun logika bersifat universal, namun logika mempunyai level atau kedalaman yang variatif, yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Logika dengan kedalaman ini bisa diperoleh dengan cara melatihnya. Interkasi manusia dengan dasar logika yang dasar bisa dipahami oleh mayoritas manusia, namun penggunaan logika dengan kedalaman tertentu akan cenderung memaksa manusia untuk turun atau naik dalam level-level logika tersebut. Oleh karenanya diperlukan penjelasan dalam upaya berdiskusi menggunakan logika ini. Hal inilah tampaknya yang dipahami sepenuhnya oleh Prof. Dr. Marsigit sehingga seringkali beliau menyampaikan bahwa sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasanmu.
Penjelelasan beliau ini menemukan titik temu dengan tulisan-tulisan beliau dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Tulisan beliau dalam blog menggambarkan berbagai macama metode dalam upaya menjelaskan sebuah pokok permasalahan. Titik temu antara pesan-pesan yang ada dalam perkuliahan dan pesan dalam tulisan ini adalah bagian dari beliau untuk mempraktikkan bahwa sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasanmu.
Kedua, Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof
Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof, ungkapan ini hampir sama denga mengatakan tidaklah dikatakan batu kecuali mempunyai ciri-ciri dari batu. Filsafat mempunyai ciri yang mudah dimiliki bidang apapun, karena filsafat adalah dasar dari berbagai bidang ilmu dan kehidupan itu sendiri. Dengan tiga kajian uatama filsafat, yaitu ontology, epistimologi, dan axiology (Sumantri, 2003) maka filsafat bisa masuk ke dalam berbagai bidang ilmu maupun peradaban hasil kreasi manusia. Namun, untuk dikatakan bahwa bidang kajian itu adalah merupakan sebuah bidang filsafat, maka harus menganut ciri-ciri yang sudah dikemukakan oleh para filosof yang telah mempublikasikan produk filsafat mereka.
Ungkapan ini tidak menolak adanya perkembangan adanya aliran filsafat ataupun filosof baru yang akan muncul. Untuk dapat diakui sebagai aliran filsafat maupun filosof yang baru diperlukan metode yang diakui secara umum oleh aliran yang sebelumnya telah ada. Tanpa mengenal ciri-ciri produk pemikiran filsafat, maka arah dari perkembangan filsafat akan berputar-putar dan tidak dapat dimanfaatkan dengan benar, bahkan bisa salah memanfaatkannya. Hal ini juga mempunyai fungsi agar filsafat tidak bercampur dengan bidang yang lainnya.
Ketiga, Filsafat tidak melewati batas dari ketinggian spiritualitas
Ungkapan ini sering dikemukakan dalam perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit. Hal ini menurut penulis adalah sebuah pandangan menyikapi banyaknya tokoh-tokoh filsafat atau orang-orang yang berfilsafat dan kemudian memperoleh kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada, agama adalah candu, agama adalah fiktif. Pandangan beliau ini semakin penulis pahami saat membaca karya-karya beliau dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Dalam blog tersebut tersebar karya-karya beliau yang menunjukkan bahwa selain ahli dalam matematika dan filsafat, beliau juga mempunyai keahlian dalam bidang spiritualitas. Bahkan kecenderungan yang penulis lihat beliau menggunakan matematika dan filsafat sebagai alat untuk menjelaskan kajian dan aplikasi dalam kehidupan spiritual.
Ungkapan ini adalah ciri khas pendidik yang khawatir bahwa filsafat sebagai alat akan memaksa anak didiknya terkooptasi oleh alat itu sendiri. Sejatinya filsafat sebagai alat untuk menjelaskan hakikat, cara, dan nilai apa yang ada dalam obyek kajian hendaknya digunakan sebagai alat oleh penggunanya.


D.    Pembahasan
1.      Metode Pembelajaran
Dalam satu kesempatan, penulis bertanya kepada Prof. Dr. Marsigit, “Mengapa memilih model pembelajaran seperti ini?” Beliau menjawab singkat, “Karena pengalaman.” Penulis menanyakan tentang model pembelajaran, karena proses pembelajaran sangat unik dan tidak sebagaimana biasanya dipakai oleh para dosen.
Model Pembelajaran yang digunakan menggunakan kombinasi dari 4 model: (1) Model yang beliau sebutdengan  Nol.isasi, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan jenis Benar-Salah dengan pertanyaan model logika dan mahasiswa menjawab dengan satu kata. Disebut Nol.isasi karena mayoritas jawaban yang diberikan mahasiswa adalah salah dan mendapatkan nilai Nol; (2) Beliau mengkombinasikan model pembalajaran ini dengan keharusan setiap mahasiswa menulis pertanyaan dan beliau akan menjawabnya. Dari Tanya jawab inilah kemudian berkembang menjadi pembelajaran yang kontekstual; (3) Beliau menekankan bahwa setiap mahasiswa harus memberikan komentar pada tulisan-tulisan beliau yang ada di blog https://powermathematics.blogspot.com sepanjang perkuliahan sampai dengan ujian akhir semester; (4) Anjuran merekam perkuliahan.
Jawaban beliau bahwa kombinasi model digunakan karena pengalaman beliau adalah jawaban yang menunjukkan bahwa perjalanan panjang sebagai dosen membawa beliau pada kesimpulan bahwa efektivitas pembelajaran dapat dicapai dengan kombinasi empat model tersebut. Dari model pembelajaran tersebut, penulis mendapatkan pembelajaran bahwa: (1) Dari model Nol.isasi penulis mendapatkan bahwa keluasan ilmu pengetahuan itu betul-betul terasa dan kemudian membawa penulis untuk berupaya mencari jawaban selanjutnya; (2 dan 3) Dari tanya jawab penulis mendapatkan bahwa beliau sedang menata kembali peta pembelajaran berdasarkan Nol.isasi dan hasil pembacaan dari model komentar di blog yang menuntun mahsiswa untuk membaca bahan-bahan perkuliahan di https://powermathematics.blogspot.com; (4) Dari anjuran merekam perkuliahan penulis mendapatkan satu metode pengulangan kembali.
Dari kombinasi model pembelajaran yang diterapkan ini dan 3 hal utama yang disampaikan dalam perkuliahan, penulis mendapat satu titik temu bahwa sebenar-benarnya filsafat itu adalah penjelasanmu. Hal ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa yang semuanya berprofesi sebagai pengajar. Dan bukankah memang sesungguhnya Prof. Dr. Marsigit sedang mengajar para pengajar yang sangat membutuhkan Teknik Menjelaskan.
2.      Materi Pembelajaran
Pada pembahasan tentang materi pembelajran, penulis tertarik terutama pada “Pemahaman bahwa filsafat tidak melewati batas dari ketinggian spiritualitas”. Penulis menilai ungkapan ini adalah wujud dari celah besar kekurangan filsafat dalam menjelaskan realitas yang ada di alam semesta ini. Dua aliran besar ‘purba’ rasionalisme dan empirisme menjadi dialektika yang mampu mengiringi peradaban manusia dari abad ke abad, namun karena hakikatnya realitas yang ada di alam ini adalah bayangan dari Hakikat Yang Ada, maka tanpa pondasi dan kesadaran terhadap Hakikat Yang Ada, maka jawaban dari kegelisahan memahami realitas yang ada tidak akan pernah tuntas, bahkan ‘hanya’ sekedar membahagiakan pun tidak menjadi kenyataan, namun masih lumayan karena memberikan kepuasan pada waktu-waktu tertentu.

Munculnya eksistensialisme, postmodernisme, metafisika adalah jawaban parsial dari kegelisahan di atas. Hanya saja spiritualisme memang unik, seunik dinamika misteri manusia dalam upayanya memahami dirinya sendiri. Oleh karenanya ungkapan bahwa setiap manusia adalah filosof menemukan sandarannya pada keunikan setiap pola manusia berupaya memahami dirinya sendiri. Dalam posisi sepert ini, penulis menggambarkan seakan-akan bahwa filsafat itu adalah gambaran kegelisahan para daksa, dan kegamangan para dewa. Wallah A’lam.

E.     Kesimpulan
Pengajar yang bisa jadi adalah seorang dosen, guru, dai sangat memerlukan keterapilan untuk memberikan penjelasan sesuai dengan kadar akal subyek yang diajar. Kesalahan metode dalam memberikan penjelasan akan memunculkan kesalahpahaman ataupun pemahaman yang salah, dan kemudian muncullah kegelisahan di kalangan pembelajar. Di antara sebagaimana dalam ilustrasi di atas, Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin pun menjadi gelisah dan salah paham. Sementara di lain posisi, para dewa mengalami dinamika dari kegamangan ke kegamangan yang lain karena memang sesungguhnya tugas para dewa adalah menundukkan dirinya menuju kepasarahan dan membimbing para daksa menuju kesana. Wallahu A’lam.



Tulisan ini adalah dari Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Prof. Dr. Marsigit, MA.


Oleh Lukman (18701264004, PEP 2018)

Minggu, 14 Oktober 2018

DAKWAH, TAHADDUST, ATAU PAMER?

Pagi2 Semprul memotong batang pisang Kepok...ketika Kemprul lewat sambil naik sepeda. Kemprul berhenti dan dalam keadaan masih di atas sepeda, Kemprul bertanya:

Kemprul: "Prul...ibadah itu ikhlas atau tidak...siapa yang menilai?"

Semprul: "Allah SWT..."

Kemprul: "Kalau ada yg mengumumkan dirinya sudah sholat atau sedekah dan ibadah lainnya kepada orang lain...berarti dia ikhlas ibadah dakwah atau tahaddust hinnikmat ya Prul?"

Semprul: "Ya itu tergantung...Allah SWT yg menilai...dan orang yg bersangkutan mestinya tahu dirinya ikhlas atau tidak."

Kemprul: "Oh...berarti yg melakukan tahu ya Prul...ikhlas atau tidak?"

Semprul membatin..."Jangan2 gara2 aku upload di FB kemarin..."Alhamdulillah...rasanya bahagia bisa tahajjud."

Semprul kemudian dengan gelapan: "Ya iya Prul...tahu2."

Kemprul tersenyum "He he he he." Sambil pergi meninggalkan Semprul yg celingukan dan pringas-pringis sendirian.

(Kalitirto, 14 Oktober 2018)

Selasa, 09 Oktober 2018

Lulus Ujian dengan Kembali


Semprul menjadi kelimpungan saat melihat berita di TV tentang bencana Gempa dan Tsunami di Palu. Ia seakan merasakan betapa beratnya ujian mereka yang terdampak bencana tersebut. Ketakutan, kebingungan, harapan, dan kegelisahan pasti meliputi mereka yang ada di sana.

Dari lubuk hati yang terdalam, ia membatin mudah-mudahan Allah SWT memberikan mereka kesabaran dan keteguhan iman. Mampu menata hati untuk tetap ikhlas di tengah bencana yang dahsyat tersebut. Semprul teringat bencana serupa di Aceh, Bantul, dan Lombok, kemudian Semprul berdoa: “Mudah-mudahan Allah SWT menganugerahkan masyarakat di Palu kekuatan untuk bangkit kembali, seperti mereka yang dulu terkena bencana di Aceh, Bantul, Lombok.”

Bencana seperti di Palu, sebagaimana Lik Qosim menjelaskan saat kultum di Musholla Al-Hidayah, bisa menjadi cobaan ujian, sebagaimana ayat 155 sampai dengan ayat 157 surat Al-Baqarah: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Lik Qosim melanjutkan bahwa bencana yang terjadi dilihat dari reaksi orang-orang yang terdampak bisa jadi merupakan:
1. Pemuliaan derajat di sisi Allah SWT, kalau mereka menyikapi dengan keridloan, kedamaian, kesadaran dengan kehendak Allah dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan hingga saat berlalunya.
2. Penyucian jiwa bagi yang menyikapinya dengan sabar, tidak mengeluh, lebih rajin menunaikan perintah, dan tidak enggan serta patuh kepada Allah SWT.
3. Teguran ataupun hukuman kalau bagi yang menyikapinya dengan kurang sabar, mengaduh, meratap, dan mengeluh.

Lik Qosim menegaskan bahwa: “Jiwa-jiwa yang Ikhlas atau yang sedang belajar menuju Ikhlash biasanya ada pada nomor 1 dan 2. Mereka tabah karena sadar bahwa dunia dan segala isi kehidupannya adalah ujian untuk Kembali Kepada Allah SWT atau inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.”

Semprul membatin, “Aku dulu waktu gempa di Bantul, masuk kategori yang mana ya? Aah entahlah…”

(Kalitirto, 9 Oktober 2018)

Jumat, 05 Oktober 2018

Tafakkur, Instrumen Meng.Nol.kan Ego

Semprul mengurai kembali pengalaman batinnya dalam keheningan wiridnya sebelum fajar tadi. Sudah beberapa hari ini Semprul melakukan saran Kemprul untuk membaca Surat Al-Ikhlas dengan niat memohon petunjuk kepada Allah SWT agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih Ikhlas. Surat Al-Ikhlas dibaca berulang kali setelah sebelumnya membaca Istighfar, sholawat, dan Kalimah Thoyyibah La Ilaha Illalloh, dan Muhammadurrasululloh.

Awalnya, sehingga Semprul melakukan wiridan tersebut…saat ia melihat Kemprul duduk berdzikir lebih lama daripada orang-orang lainnya setelah sholat jamaah Maghrib.

Semprul: “Prul, Seringkali aku melihatmu berdzikir lama setelah sholat Maghrib.”

Kemprul: “Iya Prul, itu wujud kesungguhan dalam upaya untuk betul-betul menjadi hamba Allah SWT.”

Semprul: “Yang dibaca berdzikir apa Prul?”

Kemprul: “Semua kamu sudah hafal Prul. Cuma mungkin…selama ini kamu membacanya sambal lalu saja, sedangkan aku diajari untuk menghikmatinya, mentafakkurinya. Bacanya ya…istighfar, sholawat, dan la ilaha illalloh.”

Semprul: “Menghikmati, mentafakkuri…gimana caranya Prul.”

Kemprul: “Kalau kamu ingin sawahmu hasilnya lebih banyak dari biasanya gimana Prul?”

Semprul: “Iya aku cari ilmunya, aku lihat kekurangan2 pengarapannya selama ini, aku pupuk, aku obati kalau kena hama.”

Kemprul: “Lha itu, begitu juga kalau kamu ingin lebih banyak menghikmati dan mentafakkuri bacaan dzikir2 itu, kamu coba ulang-ulang, dipelajari maknanya, dirawat dengan istiqomah melakukannya.”

Semprul: “Ooh…kalau aku memulai seperti kamu boleh Prul?”

Kemprul: “Ya boleh saja, yang penting Ikhlas-kan niat.”

Semprul: “Lha, kembali lagi Surat Al-Ikhlas…he he he.”

Kemprul: “Iya…kamu baca Istighfar, sholawat, la ilaha Illalloh, muhammadur rasulullah, kemudian surat Ikhlas berkali-kali.”

Kemudian Semprul menjalaninya…beberapa hari kemudian karena kalau habis sholat Magrib Semprul merasa kurang Khusyu’…Kemprul memberikan saran untuk membacanya setelah sholat Tahajjud. Setelah beberapa minggu Semprul dzikir setelah Sholat Tahajjud, ia mendapat pengalaman batin saat ia berdzikir.

Semprul berniat akan menanyakan pengalamannya kepada Semprul. Sebetulnya, Semprul ingin sekali segera bertemu Kemprul, namun entah beberapa minggu ini ia tidak pernah bertemu dengan Kemprul. Semprul dengan tanpa kesadaran penuh…tiba2 mengucap dengan lirih..”mudah2an Allah SWT menganugerahkan kesehatan kepada Kemprul. Amin…”

(Kalitirto, 5 Oktober 2018)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More