A. Pendahuluan
Di tengah perdebatan para pemikir organisasi keagamaan, dalam usaha mencoba mengamati, meneliti, mengklarifikasi, mengkalkulasi dan menata realitas budaya dan peradaban, agar “menjadi sesuai dengan kehendak Tuhan”, tiga orang: Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sholihaddin seorang pegawai di sebuah mall; Sholihiddin seorang sopir, dan Sholihuddin seorang pegawai negeri rendahan. Usia ketiga orang tersebut berkisar antara 30-40 tahun dengan masing-masing satu istri dan dua anak. Yang berbeda di antara mereka adalah agama, Sholihaddin taat dengan keyakinan Hindunya, Sholihiddin akrab dengan keyakinan Protestannya dan Sholihuddin kuat dengan keyakinan Islamnya.
Sebagaimana kesimpulan Weber dalam penelitiannya tentang pengaruh ajaran Kristen Protestan terhadap pemeluknya, khususnya di Eropa Barat dan penelitian Bellah tentang kekuatan motivasi ajaran Tokugawa terhadap kegigihan Samurai dalam membangun Jepang, bahwa secara meyakinkan adanya pengaruh yang sangat kuat antara ajaran agama yang diresapi dan diyakini individu maupun masyarakat terhadap aktivitas di kehidupan nyata (dalam Cholidy Ibrar, dalam M. Masyur Amin dan Ismail S. Ahmad, 1993), maka ketiga orang tersebut adalah representasi dari hasil penelitian tersebut. Ketiganya adalah individu-individu yang kuat memegang keyakinannya. Hanya saja karena mereka bertiga adalah orang-orang awam, maka pengetahuan agama yang mereka pahami adalah hasil dari transformasi para elit agama mereka, bukan hasil pemikiran ataupun kontemplasi. Teologi model bagaimana yang mereka terima, model seperti itulah yang mempengaruhi aktivitas keseharian mereka.
Dialog antar-agama sering terjadi warung soto Murah Meriah milik Pak Triman, di mana minimal dua kali dalam seminggu mereka bertiga bertemu di saat makan siang maka obrolan hangat di antara mereka pun segera mengalir berebut masuk-keluar antara makanan dan kata-kata mereka; saling sindir, tertawa lepas, mentertawakan diri (nasib) mereka sendiri atau mentertawakan badut-badut politik yang sedang pentas di panggung eksekutif atau legislatif. Namun mereka menjadi serius saat mendiskusikan anak-anak mereka di kehidupan yang, seperti Jargon John Naisbit, dinamakan Global Paradox, yaitu dalam waktu bersamaan mereka dihadapkan pada beberapa kecenderungan paradoksal (dalam Tarmizi Taher dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Ed.), 1996). Di satu sisi kehidupan dewasa ini menawarkan semangat etnis dan keberagamaan yang menguat, namun di sisi lain arus globalisasi juga menanamkan pengaruhnya yang sangat kuat.
Yang terpenting dari “dialog serius mereka” adalah adanya kegelisahan ketidakmampuan agama dalam membimbing anak-anak mereka – dan mereka sendiri – menghadapi realitas kehidupan ini. Mereka berpikir apakah pada saatnya nanti agama yang mereka pegang tak akan ada lagi yang mewarisi, dalam Bahasa Nabi Ya'kub ma ta’budu min ba’di, Apa yang kalian sembah setelah (generasi) ku? Agama hanya akan tinggal nama, namun tak lagi bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Apa yang diajarkan oleh para agamawan tak lagi mampu menyelesaikan probelm-problem yang muncul, baik dalam diri maupun lingkungan mereka, terutama dalam kaitannya dengan pluralisme, globalisme, progresivisme, pragmatism, politikesme. Bagaimana memikirkan anak-anak mereka apabila mereka sendiri saja mulai gamang memegang keyakinan agama mereka, walau ibadah tetap mereka jalankan; setiap purnama Sholihaddin ke pura, minggu pagi Sholihiddin ke gereja, dan Jum’at siang Sholihuddin pergi ke masjid, namun tak urung kemajuan zaman membuat mereka ketar-ketir. Mereka berpikir, seandainya agama bisa up grade, maka agama tidak akan menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman, dan mereka bisa dengan nyaman melakukan aktivitas yang selaras dengan “keyakinan hasil up grade” mereka.
Satu saat, di mana peradaban tak lagi bisa ditentukan identitasnya karena semua adalah satu dan satu adalah semua, maka berbagai macam bentuk peraturan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan nilai-nilai dasar yang universal. Artinya, nilai-nilai dasar universal tersebut bisa diterima oleh semua umat manusia. Saat seperti ini, di manakah meletakkan agama? Sampai pada bagian ini, pikiran nakal terbersit dalam benak mereka, agama yang tak mampu menyelesaikan problem-problem manusia bukan agama sebenarnya. Agama yang sebenarnya adalah yang mampu memberi pencerahan kepada umatnya dalam menghadapi segala permasalahan hidup dan kehidupan. “Akan kurobohkan pura, gereja dan masjid apabila tak mampu memberikan jawaban!” Pikir mereka lebih usil.
Fenomena imajinatif di atas paling tidak memberikan ilustrasi bagi kita bahwa bagaimanapun kuatnya keyakinan (agama) apabila sudah tidak mampu lagi merespon ‘kebutuhan’ kemanusiaan, maka akan ditinggalkan. Namun agak berbeda dengan teori yang lain, agama memiliki suatu janji yang membuat manusia gamang meninggalkannya secara semena-mena, yaitu keselamatan di alam penuh misteri, alam sesudah kematian. Secara psikologis orang lebih nyaman dengan bekal apabila akan melakukan perjalanan, lebih-lebih perjalanan ke tempat yang tidak dikenalnya (misteri). Di sinilah agama tampil memberikan bekal tersebut, sehingga kenyataan agama tidak mampu memberikan penyelesaian di alam nyata manusia ’saat ini’ kadang tidak terlalu diperhatikan.
Asumsi di atas, atau bahkan mungkin kenyataan, memberikan hipotesa bahwa agama tidak urgen lagi apabila tidak berpihak kepada manusia. Suatu agama tentu sangat lekat dengan teologi agama tersebut, namun apabila teologi yang mencoba menjelaskan dan menafsirkan wahyu menjadi ‘kebablasan’ dan tak lagi mampu merespon kegelisahan manusia, tak berpihak kepada manusia, maka bisa dikatakan teologi agama tersebut menghancurkan agama yang dibangunnya. Teologi tersebut mereduksi agama yang dibangunnya.
Teologi adalah usaha metodis untuk memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Usaha metodis di sini meliputi menyelidiki, mengklarifikasi dan mengajarkan secara logis (Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ., 1996). Teologi adalah Produk pemikiran klasik yang belum terilmiahkan, oleh karena itu teologi mengalami kemandegan, hanya sebatas mengurusi masalah-masalah transenden dan supranatural. Kalau teologi tetap berkutat di lingkaran transenden dan supranatural, maka teologi tetap tidak mampu mendongkrak agama menjadi bagian yang urgen bagi hidup dan kehidupan manusia, dan gilirannya teologi akan membunuh agama. Teologi sebagai bagian dari agama akan menggerogoti dari dalam. Teologi sebagai hasil produk pemikiran manusia seharusnya tidak stagnan dan berpihak kepada manusia daripada melingkar pada transedensi dan supranatural, dan membumikan “kehendak Tuhan” dengan lebih arif. Tuhan tanpa teologi tak akan berkurang sifat ke-Tuhanan-Nya. Bahkan Tuhan pun berkehendak agar manusia menjadi sejahtera dengan adanya agama, maka teologi sebagai bagian dari agama seharusnya membuat sejahtera manusia. Di sinilah akan ditemukan kembali urgensi teologi dan agama.
Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin adalah bagian setitik realitas kehidupan yang perlu jawaban. Dengan penuh semangat mereka bekerja, tapi apakah banyak orang tahu bahwa mereka gelisah. Gelisah dengan agama yang mereka peluk dengan erat namun kadang tidak memberikan kenyamanan dan ketenangan apalagi kebahagiaan. Karena ada sesuatu yang salah yang mereka terima dari para elit agama yang rajin memberikan pencerahan yang ‘malah’ menenggelamkan mereka. (Lukman, 2002)
B. Metode
Metode dalam kajian ini menggunakan Hermeneutik, yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang makna. Hermeneutik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologiYunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus. (Wikipedia, 2018) Hermeneutik merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan “understanding of understanding” (pemahaman pada pemahaman) terhadap teks kitab suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi pembacanya (Muslih, 2004).
Metode Hermeneutik digunakan dalam kajian ini mengingat obyek yang dikaji adalah pesan dalam perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit dan karya-karyanya yang terhimpun dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Diharapkan dengan menggunakan metode Hermeneutik ini akan terungkap pesan-pesan utama dalam perkuliahan yang terekam dan pesan-pesan baik elegi maupun karya ilmiah laiinya pada blog tersebut. Secara operasional metode ini digunakan dengan memahami Misi “memahamkan pesan kepada umat manusia” yang diemban oleh Hermes, yang secara implisit berhubungan dengan tiga dasar makna direktif hermeneuein dan hermeneia. Tiga makna direktif ini digunakan untuk tujuan seperti: (1) Mengekspresikan suara dalam kata-kata, atau “mengatakan”; (2) Menjelaskan, seperti menjelaskan situasi; dan (3) menerjemahkan, seperti menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri. Ketiga arti ini dapat diekspresikan dengan kata “to interpret” atau “menafsirkan (Palmer, 1969).
C. Hasil
Dari hasil pemahaman penulis, ada tiga pokok utama dalam pesan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit dalam paruh pertama perkuliahan Filsafat Pendidikan untuk Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) Program Pascasarjana UNY, yaitu (1) Filsafat itu adalah penjelasanmu; (2) Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof, dan (3) Filsafat tidak melewati batas dari keagungan spiritualitas. Penjelasan masing-masing pokok pembahasan sebagai berikut:
Pertama. Filsafat Adalah Penjelasanmu.
Penjelasan Prof. Dr. Marsigit ini adalah cabang utama dari filsafat, yaitu menggunakan logika dalam penalaran untuk menjelaskan suatu permasalahan. Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran (Wikipedia, 2018).
Logika dikaruniakan oleh Tuhan yang Maha Esa kepada manusia sebagai salah satu instrument yang universal. Logika manusia dimanapun mempunyai persamaan, yang kemudian hal ini memungkinkan manusia dari bangsa manapun untuk berkomunikasi dan menyepakati sesuatu berdasarkan logika ini. Dalam perkembangannya logika ini digunnakan sebagai standar ilmu pengetahuan yang berkontribusi bagi pembagunan peradaban manusia. Hanya saja, karena logika adalah bukan satu alat satu-satunya yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka ilmu pengetahuan dan peradaban yang hanya dibangun berasarkan logika akan memunculkan kemanusiaan yang timpang.
Walaupun logika bersifat universal, namun logika mempunyai level atau kedalaman yang variatif, yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Logika dengan kedalaman ini bisa diperoleh dengan cara melatihnya. Interkasi manusia dengan dasar logika yang dasar bisa dipahami oleh mayoritas manusia, namun penggunaan logika dengan kedalaman tertentu akan cenderung memaksa manusia untuk turun atau naik dalam level-level logika tersebut. Oleh karenanya diperlukan penjelasan dalam upaya berdiskusi menggunakan logika ini. Hal inilah tampaknya yang dipahami sepenuhnya oleh Prof. Dr. Marsigit sehingga seringkali beliau menyampaikan bahwa sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasanmu.
Penjelelasan beliau ini menemukan titik temu dengan tulisan-tulisan beliau dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Tulisan beliau dalam blog menggambarkan berbagai macama metode dalam upaya menjelaskan sebuah pokok permasalahan. Titik temu antara pesan-pesan yang ada dalam perkuliahan dan pesan dalam tulisan ini adalah bagian dari beliau untuk mempraktikkan bahwa sebenar-benarnya filsafat adalah penjelasanmu.
Kedua, Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof
Tidak dikatakan berfilsafat kecuali merujuk pendapat para filosof, ungkapan ini hampir sama denga mengatakan tidaklah dikatakan batu kecuali mempunyai ciri-ciri dari batu. Filsafat mempunyai ciri yang mudah dimiliki bidang apapun, karena filsafat adalah dasar dari berbagai bidang ilmu dan kehidupan itu sendiri. Dengan tiga kajian uatama filsafat, yaitu ontology, epistimologi, dan axiology (Sumantri, 2003) maka filsafat bisa masuk ke dalam berbagai bidang ilmu maupun peradaban hasil kreasi manusia. Namun, untuk dikatakan bahwa bidang kajian itu adalah merupakan sebuah bidang filsafat, maka harus menganut ciri-ciri yang sudah dikemukakan oleh para filosof yang telah mempublikasikan produk filsafat mereka.
Ungkapan ini tidak menolak adanya perkembangan adanya aliran filsafat ataupun filosof baru yang akan muncul. Untuk dapat diakui sebagai aliran filsafat maupun filosof yang baru diperlukan metode yang diakui secara umum oleh aliran yang sebelumnya telah ada. Tanpa mengenal ciri-ciri produk pemikiran filsafat, maka arah dari perkembangan filsafat akan berputar-putar dan tidak dapat dimanfaatkan dengan benar, bahkan bisa salah memanfaatkannya. Hal ini juga mempunyai fungsi agar filsafat tidak bercampur dengan bidang yang lainnya.
Ketiga, Filsafat tidak melewati batas dari ketinggian spiritualitas
Ungkapan ini sering dikemukakan dalam perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit. Hal ini menurut penulis adalah sebuah pandangan menyikapi banyaknya tokoh-tokoh filsafat atau orang-orang yang berfilsafat dan kemudian memperoleh kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada, agama adalah candu, agama adalah fiktif. Pandangan beliau ini semakin penulis pahami saat membaca karya-karya beliau dalam blog https://powermathematics.blogspot.com. Dalam blog tersebut tersebar karya-karya beliau yang menunjukkan bahwa selain ahli dalam matematika dan filsafat, beliau juga mempunyai keahlian dalam bidang spiritualitas. Bahkan kecenderungan yang penulis lihat beliau menggunakan matematika dan filsafat sebagai alat untuk menjelaskan kajian dan aplikasi dalam kehidupan spiritual.
Ungkapan ini adalah ciri khas pendidik yang khawatir bahwa filsafat sebagai alat akan memaksa anak didiknya terkooptasi oleh alat itu sendiri. Sejatinya filsafat sebagai alat untuk menjelaskan hakikat, cara, dan nilai apa yang ada dalam obyek kajian hendaknya digunakan sebagai alat oleh penggunanya.
D. Pembahasan
1.
Metode Pembelajaran
Dalam satu kesempatan, penulis
bertanya kepada Prof. Dr. Marsigit, “Mengapa memilih model pembelajaran seperti
ini?” Beliau menjawab singkat, “Karena pengalaman.” Penulis menanyakan tentang
model pembelajaran, karena proses pembelajaran sangat unik dan tidak
sebagaimana biasanya dipakai oleh para dosen.
Model Pembelajaran yang digunakan
menggunakan kombinasi dari 4 model: (1) Model yang beliau sebutdengan Nol.isasi, yaitu dengan cara memberikan
pertanyaan jenis Benar-Salah dengan pertanyaan model logika dan mahasiswa
menjawab dengan satu kata. Disebut Nol.isasi karena mayoritas jawaban yang
diberikan mahasiswa adalah salah dan mendapatkan nilai Nol; (2) Beliau
mengkombinasikan model pembalajaran ini dengan keharusan setiap mahasiswa
menulis pertanyaan dan beliau akan menjawabnya. Dari Tanya jawab inilah
kemudian berkembang menjadi pembelajaran yang kontekstual; (3) Beliau
menekankan bahwa setiap mahasiswa harus memberikan komentar pada
tulisan-tulisan beliau yang ada di blog https://powermathematics.blogspot.com
sepanjang perkuliahan sampai dengan ujian akhir semester; (4) Anjuran merekam
perkuliahan.
Jawaban beliau bahwa kombinasi model
digunakan karena pengalaman beliau adalah jawaban yang menunjukkan bahwa
perjalanan panjang sebagai dosen membawa beliau pada kesimpulan bahwa
efektivitas pembelajaran dapat dicapai dengan kombinasi empat model tersebut.
Dari model pembelajaran tersebut, penulis mendapatkan pembelajaran bahwa: (1)
Dari model Nol.isasi penulis mendapatkan bahwa keluasan ilmu pengetahuan itu betul-betul
terasa dan kemudian membawa penulis untuk berupaya mencari jawaban selanjutnya;
(2 dan 3) Dari tanya jawab penulis mendapatkan bahwa beliau sedang menata
kembali peta pembelajaran berdasarkan Nol.isasi dan hasil pembacaan dari model
komentar di blog yang menuntun mahsiswa untuk membaca bahan-bahan perkuliahan
di https://powermathematics.blogspot.com; (4) Dari anjuran merekam perkuliahan
penulis mendapatkan satu metode pengulangan kembali.
Dari kombinasi model pembelajaran
yang diterapkan ini dan 3 hal utama yang disampaikan dalam perkuliahan, penulis
mendapat satu titik temu bahwa sebenar-benarnya filsafat itu adalah
penjelasanmu. Hal ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa yang semuanya
berprofesi sebagai pengajar. Dan bukankah memang sesungguhnya Prof. Dr.
Marsigit sedang mengajar para pengajar yang sangat membutuhkan Teknik
Menjelaskan.
2.
Materi
Pembelajaran
Pada pembahasan tentang materi
pembelajran, penulis tertarik terutama pada “Pemahaman bahwa filsafat tidak
melewati batas dari ketinggian spiritualitas”. Penulis menilai ungkapan ini
adalah wujud dari celah besar kekurangan filsafat dalam menjelaskan realitas
yang ada di alam semesta ini. Dua aliran besar ‘purba’ rasionalisme dan
empirisme menjadi dialektika yang mampu mengiringi peradaban manusia dari abad
ke abad, namun karena hakikatnya realitas yang ada di alam ini adalah bayangan
dari Hakikat Yang Ada, maka tanpa pondasi dan kesadaran terhadap Hakikat Yang
Ada, maka jawaban dari kegelisahan memahami realitas yang ada tidak akan pernah
tuntas, bahkan ‘hanya’ sekedar membahagiakan pun tidak menjadi kenyataan, namun
masih lumayan karena memberikan kepuasan pada waktu-waktu tertentu.
Munculnya eksistensialisme,
postmodernisme, metafisika adalah jawaban parsial dari kegelisahan di atas.
Hanya saja spiritualisme memang unik, seunik dinamika misteri manusia dalam
upayanya memahami dirinya sendiri. Oleh karenanya ungkapan bahwa setiap manusia
adalah filosof menemukan sandarannya pada keunikan setiap pola manusia berupaya
memahami dirinya sendiri. Dalam posisi sepert ini, penulis menggambarkan seakan-akan
bahwa filsafat itu adalah gambaran kegelisahan para daksa, dan kegamangan para
dewa. Wallah A’lam.
E. Kesimpulan
Pengajar yang bisa jadi adalah seorang dosen,
guru, dai sangat memerlukan keterapilan untuk memberikan penjelasan sesuai
dengan kadar akal subyek yang diajar. Kesalahan metode dalam memberikan
penjelasan akan memunculkan kesalahpahaman ataupun pemahaman yang salah, dan
kemudian muncullah kegelisahan di kalangan pembelajar. Di antara sebagaimana
dalam ilustrasi di atas, Sholihaddin, Sholihiddin dan Sholihuddin pun menjadi
gelisah dan salah paham. Sementara di lain posisi, para dewa mengalami dinamika
dari kegamangan ke kegamangan yang lain karena memang sesungguhnya tugas para
dewa adalah menundukkan dirinya menuju kepasarahan dan membimbing para daksa
menuju kesana. Wallahu A’lam.
Tulisan ini adalah dari Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Prof. Dr. Marsigit, MA.
Oleh Lukman (18701264004, PEP 2018)