Selasa, 09 Juli 2024

LARI DARI YANG PASTI TAK TERHINDARI DAN MENGEJAR YANG PASTI TAK AKAN MENYERTAI, ITU KARENA BUTA MATA HATI !


LARI DARI YANG PASTI TAK TERHINDARI DAN MENGEJAR YANG PASTI TAK AKAN MENYERTAI, ITU KARENA BUTA MATA HATI !



الحكمة الخمسون

:قال الشيخ ابن عطاء الله رضي اللّه عنه

العَجَبُ كُلَّ العَجَبِ مِمَّن يَهْرَبُ مِمَّا لا اِنْفِكَاْكَ لَهُ عَنْهُ وَيَطْلُبُ مَا لا بَقَاءَ لَهُ مَعَهُ فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى القُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

قال الشرقاوي رحمه الله:

 (العَجَبُ كُلَّ العَجَبِ مِمَّن يَهْرَبُ مِمَّا لا اِنْفِكَاْكَ لَهُ عَنْهُ) وَهُوَ اللهُ تَعَالَى، بَان لَا يَفْعَلَ مَا يُقَرِّبُهُ إِلَيْهِ (وَيَطْلُبُ مَا لا بَقَاءَ لَهُ مَعَهُ) وَهُوَ الدُّنْيَا، وَكُلُّ شَيْءٍ سِوَى المَوْلَى بِأَنْ يُقْبِلَ عَلَى شَهَوَاتِهِ، وَيَتَّبِعَ هَوَاهُ ({فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى القُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ} [الحَجُّ: 46])

أَيْ: إِنَّ ذَلِكَ نَاشِئٌ مِنْ عَمَى قَلْبِهِ، وَوُجُودِ جَهْلِهِ بِرَبِّهِ، لِأَنَّهُ اِسْتَبْدَلَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ، وَآثَرَ الفَانِيْ الَّذِي لا بَقَاءَ لَهُ، عَلَى البَاقِي الَّذِي لا اِنْفِكَاْكَ لَهُ عَنْهُ، وَلَوْ كَانَتْ لَهُ بَصِيرَةٌ، لَعَكْسَ الأَمْرُ.


Terjemah Bahasa Indonesia

Hikmah 50

Asy-Syaikh Ibnu Athaillah, semoga Allah meridloinya, berkata:

"Keajaiban yang paling mengherankan adalah dari orang yang melarikan diri dari sesuatu yang tidak bisa dia hindari darinya, dan dia mencari apa yang tidak ada lagi bersamanya. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada."

Al-Sharqawi, semoga Allah merahmatinya, berkata: 

(Keajaiban yang paling mengherankan adalah dari orang yang melarikan diri dari sesuatu yang tidak bisa dia terlepas darinya) yaitu Allah Ta'ala, namun dia tidak melakukan apa yang mendekatkannya kepada-Nya, (dan dia mencari apa yang tidak ada lagi bersamanya) yaitu dunia, dan segala sesuatu selain Allah, dengan menerima syahwatnya/keinginan-keinginannya, dan mengikuti hawa nafsunya. Sebagaimana Firman Allah Swt: {Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada}" (Al-Hajj: 46). 

Artinya: Sungguh hal ini muncul dari kebutaan hatinya dan adanya kebodohannya tentang Tuhannya, karena dia mengganti yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, dan dia lebih memilih yang fana yang tidak kekal untuknya daripada yang memilih yang kekal untuknya yang tidak akan terlepas darinya. Jika dia memiliki mata hati (bashiroh), niscaya ia memilih yang sebaliknya.

***

Penjelasan Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy

Apa yang tidak dapat dihindari manusia, sejak awal keberadaannya hingga keputusan terakhirnya, baik itu di surga yang kekal atau di dalam azab yang menetap? Itu adalah Allah, Maha Suci Dia, tidak ada yang dapat dihindari manusia darinya, siapa pun dia, baik atheis, beriman, atau fasik, dan di mana pun dia berada di bumi Allah yang luas, di timur atau di barat. 

Dalam keadaan dan kondisi apa pun yang dia alami dan berubah. Baik dalam kehidupannya yang dia jalani di atas bumi, kematiannya yang membawanya ke dalam perut bumi, dan kehidupan keduanya ketika dia dibangkitkan untuk hari perhitungan. Tidak ada yang dapat dihindari dari Allah, dalam hidupmu yang kamu jalani hari ini, karena Dia bersamamu di mana pun kamu berada, apa pun benua yang kamu tinggali, dan apa pun waktu yang kamu lewati, dan benar firman Allah yang mengatakan: "Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada." (Al-Hadid: 4):

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ ۝

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian, Dia berkuasa atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid 4).

Makna kebersamaan (معية) ini adalah bahwa Allah bersamamu dengan ilmu-Nya, bersamamu dengan penjagaan-Nya, bersamamu dengan pengaturan-Nya, bersamamu dengan makna kebersamaan yang mutlak, tanpa memahami dari situ batasan-batasan keberadaan di suatu tempat, atau perpindahan dari satu arah ke arah lain. Ini adalah kebersamaan dengan segala makna yang dibawa kata ini, tetapi tanpa penyesuaian yang memerlukan penyamaan dan bertentangan dengan firman Allah Ta'ala: 

فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ۝١١

(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan (menjadikan pula) dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan(nya). Dia menjadikanmu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy-Syura: 42/11).

Adapun hal yang tidak ada lagi bersamanya dengan manusia, itu adalah segala sesuatu selain Allah, Maha Suci Dia. Semua yang manusia sandarkan selain Allah, maka akhirnya akan terlepas darinya. Entah manusia itu yang binasa sehingga meninggalkannya, atau benda yang dia sandarkan yang binasa, sehingga manusia tetap jauh, bahkan hilang darinya. 

Manusia menyandarkan diri pada rumah yang dia bangun, pada perabotan yang dia hiasi, menyandarkan diri pada istri dan anak-anak, bergantung pada harta yang dia kumpulkan dan simpan, pada posisi yang dia duduki, dan ketenaran yang dia raih. Dia bergantung pada dunia sebab dan fenomenanya, berpaling dari penyebab yang menggerakkannya. Dia melihat hujan turun dari langit, lalu dia memuji langit dan berterima kasih padanya, dan berbicara kepada orang-orang tentang rahmat langit; dia memandang bumi yang hijau dan mata air yang melimpah lalu memuji alam dan berterima kasih padanya, dan berbicara kepada teman-temannya tentang seni dan keindahan alam, dia memperpanjang tinggalnya di dunia tanpa tujuan, mengumpulkan kekayaan yang banyak seperti sebelumnya, dan menguras pikirannya serta melelahkan dirinya mencari lebih banyak lagi.. dia membangun persahabatan dan hubungan dengan orang lain yang dengannya dan untuknya dia berkorban dengan prinsip, mungkin juga moral dan perintah Ilahi, memperpanjang masa mereka dan melupakan akhirnya, bergantung pada nafsu yang tidak ingin dia tinggalkan, dan kesenangan yang tidak dapat dia bayangkan akhirnya. 

Tetapi apakah benda-benda alam (menurut istilah mereka) merespon keinginan ini untuk mempertahankannya, dan agar dia tetap ada untuk mereka? Allah telah menjadikan alam (dengan istilah yang lebih tepat: semua benda di alam semesta) berbicara dengan jawaban ilmiah dan nyata untuk pertanyaan ini, ketika Dia menetapkan mereka pada hukum alam yang tidak berubah. Ketika ditetapkan bahwa setiap eksistensi terdiri dari awal yang lemah, kemudian bergerak ke derajat kekuatan, hingga mencapai puncaknya, kemudian bertahap kembali ke kelemahan, layu, dan punah.

Segala sesuatu di alam semesta tercetak dengan hukum ini, mulai dari manusia hingga tumbuhan, bunga, mawar, dan bunga lainnya, hingga planet dan benda langit, hingga bumi tempat kita tinggal. Allah telah meletakkanmu di bawah hukum kosmik umum ini dengan memberikan contoh kecil yang terlihat pada pohon dan kisah keberadaannya. Pohon dimulai sebagai benih, kemudian menjadi tunas atau tanaman kecil, kemudian tunas itu bertahap tumbuh dalam pertumbuhan dan kekuatan. Lalu pertumbuhan itu berhenti pada batas tertentu, kemudian kembali bertahap menjadi lemah, layu, dan mati. Kebijaksanaan Ilahi mengulangi kisah ini atau kenyataan ini pada bunga atau mawar yang kamu lihat dan dalam musim tahunan yang lahir, tumbuh, lalu layu dan menghilang. 

Pada matahari yang terbit lemah dalam penampilannya dan sinarnya, kemudian bertambah kekuatan, panas, dan lebih banyak cahaya serta kecemerlangan, kemudian kembali melemah, menjadi seperti kekuningannya dan layunya saat terbit. Kebijaksanaan Tuhan menunjukkan hukum yang sama dalam bentuk bulan, yang dimulai sebagai lengkungan tipis yang hampir tidak terlihat, kemudian kekuatannya bertambah dan menuju pertumbuhan dan kesempurnaan, hingga mencapai puncaknya sebagai bulan purnama yang bersinar di langit. 

Kemudian hukum Ilahi membawanya kembali sedikit demi sedikit ke kondisi awalnya, dan benar firman Allah yang mengatakan: {Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua.} (Yasin: 36/39), seperti pangkal tandan dari pohon kurma, yang jika tandannya terputus, ia akan melengkung dan menjadi tipis. 

Apa yang dikatakan oleh kenyataan yang serupa yang diungkapkan oleh segala sesuatu di alam semesta? Itu menceritakan kisah akhir yang akan menghilang semua komponen yang bersinar di matamu dan banyak di antaranya menarik jiwamu, agar kamu tidak tertipu olehnya dan bergantung padanya, mencari kebahagiaanmu dengan mengejarnya. 

Lihatlah bagaimana pernyataan Ilahi menggambarkan kenyataan ini untukmu, dan memperingatkanmu tentang tipuan mata dan ketiadaan wawasan, ketika kehidupan duniamu seluruhnya disamakan dengan tumbuhan yang tumbuh subur, kemudian menjadi hijau segar, kemudian kembali layu, kemudian menjadi kering. Renungkanlah firman-Nya: {Dan berikanlah kepada mereka suatu perumpamaan kehidupan dunia sebagai air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, maka menyuburlah tanam-tanaman di bumi karenanya; kemudian (tanam-tanaman) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.} (Al-Kahfi). 

Perhatikan juga peringatan yang Allah berikan kepadamu dengan mengatakan: {Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.} (Al-Hadid).

Maka segala sesuatu yang menawan pandangan mata dari alam semesta ini - yang terlihat indah pada awalnya, kemudian layu dan kembali lemah lalu menghilang - juga berlaku untuk segala kenikmatan dan keinginan duniawi, serta semua yang dianggap manusia sebagai penyebab keinginan, alat untuk mencapai tujuan, dan kunci untuk mendapatkan keinginan tersebut. 

Apa yang diminta oleh logika darimu dalam menghadapi kenyataan yang telah dijelaskan ini? Logika mengatakan padamu: perkuatlah hubunganmu dengan sesuatu yang tak terpisahkan darimu dan sebagainya, seperti yang dikatakan oleh akal dan logika sebagai alat ukurnya: perkuatlah hubunganmu dan teguhkan ikatanmu dengan Dia yang memiliki keberadaan sendiri, tanpa memerlukan pencipta. Tanpa kekuasaan dari ketiadaan, Dia yang menciptakan segala sesuatu dengan kehendak dan penciptaan-Nya, adanya semua yang ada dan dengan bantuan yang terus menerus keberadaannya tetap ada, dan dengan takdir-Nya yang pasti, berakhir atau akan berakhir keberadaannya. 

Perlakukanlah segala sesuatu yang kamu butuhkan dari segala yang ada ini sebagai pinjaman yang akan dikembalikan, dan pemberian Tuhan yang akan habis. Maka pada saat itu kamu akan mendekati semua yang ada ini secara lahiriah, dan berhubungan dengan Penciptanya dalam kenyataan dan batin. Jika waktu berakhirnya tiba dan semuanya hilang, kamu tidak akan seperti orang yang bersandar pada tumpukan salju, lalu ketika matahari terbit dan melelehkannya tanpa disadari, jatuhlah dia ke tanah. Sebaliknya, kamu akan menemukan dirimu saat itu bersama Pencipta yang keberadaan-Nya tidak akan berakhir. Dia akan menggantikan kenikmatan yang telah kamu rasakan sebentar lalu menghilang darimu, dan memberimu kenikmatan yang menggantikan itu. 

Dia akan menciptakan untukmu penyebab lain yang memberi hasil yang sama dari penyebab yang Dia ciptakan untukmu selama beberapa waktu. Bagaimana mungkin tidak, Dia adalah Pencipta segala sebab dan akibat, Dia yang menciptakan kenikmatan dan keinginan, kemudian mengarahkan keinginanmu kepadanya. Tidak akan merugikanmu hilangnya para prajurit dan jauhnya mereka darimu, selama kamu telah menguatkan hubungan dan mempererat hubungan dengan pemimpin tertinggi mereka.

Demikian pula halnya, jika tiba saatnya bagimu untuk berpisah dari segala sesuatu yang selama ini engkau hadapi dan manfaatkan, yaitu ketika panggilan maut datang memanggilmu untuk meninggalkan dunia ini dan menuju kehidupan barzakh yang mengatur peralihan antara kehidupan dunia dan hari akhir dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Maka engkau tidak akan merasa sedih atau menyesal berpisah dengan segala sesuatu dari dunia ini. 

Jika selama hidupmu hubunganmu dengan semua itu adalah dalam konteks berhubungan dengan Allah, dan menikmati segala nikmat tersebut dengan pujian dan syukur kepada-Nya, maka tidak ada yang hilang darimu dalam keadaan ini kecuali perantara atau surat yang menghubungkanmu dengan Allah. Tidak diragukan lagi bahwa engkau akan menjadi lebih bahagia daripada sebelumnya, karena perantara-perantara itu hilang dan engkau dapat melihat langsung tangan Sang Pemberi nikmat yang melimpahkan berbagai kenikmatan kepadamu tanpa adanya perantara.

Orang yang selama hidupnya selalu terhubung dengan Allah dalam harapan dan kesedihannya, serta yakin bahwa Allah adalah pelaku segala sesuatu dan bukan sebab-sebabnya, tidak akan mengalami perubahan ketika ajal menjemputnya dan kematian membawanya ke alam barzakh. Ketika ia masih hidup di atas bumi, ia bersama Allah, dan ketika ia berbaring dalam kuburnya di bawah tanah, ia tetap bersama Allah. Jika masa kehidupan barzakh selesai dan saat kebangkitan tiba, serta semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan semesta alam, kebersamaan dengan Allah akan tetap menyertainya, bahkan kebahagiaannya akan semakin bertambah.

Orang ini selalu terhubung dengan Allah, merasa nyaman dengan-Nya, meskipun godaan dan gangguan duniawi berputar di sekitarnya. Ketika ia meninggalkan semua itu dan menuju kehidupan barzakh setelah kematian, perasaan nyaman dan keakraban dengan Allah semakin kuat. Dan pada hari kiamat, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Allah, ia menjadi lebih dekat dengan Allah, lebih nyaman dengan-Nya, dan lebih terhubung dengan-Nya.

Jadi, siapa yang menemani orang ini dalam perjalanan hidupnya yang terdiri dari tiga fase atau babak yang saling berkaitan? Tidak ada yang menemaninya sepanjang perjalanan itu kecuali Allah SWT, sedangkan semua kenikmatan, keinginan, harta, rumah, kerabat, dan orang-orang tercinta telah meninggalkannya dan hilang pada saatnya masing-masing yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Jika hal ini telah dipahami, maka kita harus heran seperti Ibnu Athaillah terhadap orang yang lari dari Tuhannya yang tidak bisa terpisah darinya, dan malah berhubungan dengan sesuatu yang tidak bisa bertahan lama bersamanya.

Jika telah jelas bagimu bahwa inilah yang dikatakan oleh akal dan ditetapkan oleh logika yang merupakan alat ukurnya, maka tidak ada pilihan lain selain merasa heran seperti Ibnu Athaillah terhadap orang yang lari dari Tuhannya yang tidak bisa terpisah darinya, dan berhubungan dengan sesuatu yang tidak bisa bertahan lama bersamanya. Pelarian dari Allah terjadi karena penolakan dan pengingkaran terhadap-Nya, atau dengan melupakan dan berpaling dari-Nya, hanya berurusan dengan ciptaan dan tentara-Nya saja, atau dengan terlalu terpikat oleh nikmat-nikmat-Nya sehingga melupakan Sang Pemberi nikmat. 

Sumber keheranan ini adalah karena ia melihat dengan mata batin dan akalnya bahwa semua hal yang dihadapinya dan terikat dengannya adalah gambar yang fana yang tidak memiliki kestabilan, dan dengan segala kemampuan berpikirnya ia melihat bahwa semua itu dicetak dengan tanda-tanda kefanaan, seperti yang telah kita jelaskan dan rinci. Namun demikian, ia mengabaikan pikirannya dari Sang Pencipta dan Pengatur segala sesuatu itu, dan terus melanjutkan perjalanannya di dunia ini, berpegang teguh pada dunia, dan menyerahkan nasibnya kepadanya seperti orang yang berharap dari dunia ini ketenangan dan keabadian.

Kemudian yang menambah keajaiban, bahwa dia melihat setiap hari fenomena hilangnya kenikmatan ini dan ketidakhadirannya bagi orang-orang yang terikat dengannya dan yang berusaha keras untuk mendapatkannya, atau fenomena orang-orang yang menjauh darinya, karena mereka diculik oleh kematian, dan mereka pergi dengan tangan kosong dari segala sesuatu. 

Mereka telah meninggalkan segalanya, bahkan mereka telah ditinggalkan oleh segalanya, kecuali Tuhannya yang tidak pernah meninggalkan mereka, terlepas dari bagaimana perjalanan mereka berubah dan betapa lama hidup mereka, dan mereka tahu bahwa nasib yang sama menanti mereka, dan bahwa mereka berdiri di tempat pertemuan mereka dengan kematian dalam “barisan”, namun mereka tetap berpegang pada apa yang harus mereka tinggalkan untuk-Nya, dan mereka berlari dari Tuhannya yang tidak pernah meninggalkan mereka!

Dan keajaiban semakin bertambah, karena dia mendengar peringatan setelah peringatan, dan dia menerima peringatan setelah peringatan, tetapi dia tetap mengandalkan salju yang sedang mencair dan mengalir, tanpa peduli bahwa dia akan jatuh dalam waktu dekat ke dalam kedalaman lembah yang hanya dipisahkan darinya oleh salju itu!

Dia mendengar firman Allah Azza wa Jalla: “Orang-orang kafir, amal-amal mereka bagaikan debu yang diterbangkan angin di dataran yang luas, yang orang-orang haus mengira itu air, tetapi apabila datang kepadanya, dia tidak menemukan sesuatu pun, dan dia mendapati Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amalnya, dan Allah adalah cepat perhitungannya.” (QS. An-Nur)

Dia mendengar firman-Nya Azza wa Jalla: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, dan amalan-amalan yang kekal adalah lebih baik di sisi Tuhanmu sebagai pahala dan lebih baik sebagai harapan.” (QS. Al-Kahf)

Dan dia mendengar firman Allah Ta’ala: “Dan apa pun yang telah diberikan kepadamu, itu adalah kesenangan hidup dunia dan perhiasannya, dan apa pun yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih abadi. Maka mengapa kamu tidak memahaminya?” (QS. Al-Qasas)

Dia mendengar semua ini, tetapi dia tidak terbangun dari mabuknya, dan dia tetap memeluk ilusi, dan dia terus berputar-putar dengan ilusi itu, dan dia menjadikannya sandaran kestabilannya yang tidak dapat digoyahkan. Ketika ajalnya tiba, dia melihat dengan mata kepala sendiri apa yang telah berlalu dan berbalik darinya, dari apa yang dia kira sebagai sandaran kenikmatan dan keberlangsungan hidupnya, dan dia melihat apa yang masih ada di hadapannya dari apa yang tetap tersembunyi darinya dengan ilusi pertempurannya!

Kemudian ketahuilah bahwa bergantung pada Allah Azza wa Jalla, di luar segala gejala yang fana, tidak memerlukan penolakan terhadap berurusan dengan mereka dan berpuasa dari menikmati mereka, karena Yang Mulia yang telah menyebarkan meja pemberian-Nya dan kemuliaan-Nya kepada manusia, tidak merasa puas dengan penolakan mereka terhadapnya, dan tidak ada artinya bagi mereka untuk menggantungkan diri pada-Nya. Jadi, ketika kemurahan memiliki makna yang membedakannya dari menahan diri dan kikir. Apakah Anda tidak memperhatikan firman-Nya Azza wa Jalla: “Makanlah dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. Negeri yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun.” (QS. Saba)

"Dan dalam firman-Nya yang Maha Suci dan Maha Tinggi: ‘Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan yang baik-baik dari rezeki? Katakanlah, perhiasan itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, murni, dan pada hari kiamat.’ (QS. Al-A’raf)

Namun, yang diharapkan dari hamba yang tunduk kepada Tuhannya, yang tidak memiliki sekutu dalam ke-Rabb-annya dan kepemilikan-Nya, adalah untuk mengetahui dengan keyakinan bahwa hanya Dia yang menjadi sumber segala kebaikan dan pemberian. Dia hanya mencari rezekinya dari-Nya, dan hanya Dia yang menjadi penyebab segala sebab.

Jangan sampai dia terjerumus dalam ilusi tentang penyebab-penyebab semu dan mempercayainya sebagai mitra atau pengaruh selain Allah. Dia harus menyadari bahwa segala sesuatu yang tampak menyenangkan bagi matanya, yang dia nikmati, atau yang dia cintai dan andalkan, akan segera hilang. Tidak akan ada yang tetap bersamanya kecuali Allah Azza wa Jalla.

Bagi orang yang memahami semua ini, dia tidak akan bergantung pada apa yang dia tahu akan berakhir dan lenyap. Sebaliknya, dia akan terikat pada Tuhan-Nya yang tidak pernah meninggalkannya. Dia akan menjadikan Allah sebagai sumber kebahagiaannya, harapannya, dan tempat berlindungnya dari segala ketakutan dan bahaya."

Inilah keadaan orang yang beriman kepada Tuhannya dan yakin akan Keesaan-Nya: Dia duduk di meja Yang Maha Pemurah, dan memakan darinya apa yang dia sukai dan nikmati, dan semakin banyak dia menikmatinya, semakin banyak pula. semakin melekatnya ia kepada Tuhan, dan semakin besar rasa cinta dan syukurnya kepada-Nya. Hal ini karena dia mengurusi nikmat dan menikmatinya, namun dia hanya melihat orang yang memberi berkah, karena dia – sebagaimana telah kami katakan – pemberi, pemberi, yang menyebabkan, dan yang menundukkannya… Dan jika kesusahan menimpanya, atau kejahatan menghampirinya, atau musibah menimpanya, maka ia hanya mengetuk pintu Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, jika dia menggunakan sarana dan akal, maka dia sedang mengetuk pintu Tuhan Yang Maha Esa dengan keyakinan dan keyakinannya.

Hati orang tersebut tidak akan pernah menginginkan apa pun selain Allah, dan ia tidak akan disebutkan bilamana ia mengingini suatu keuntungan atau merasa takut kepada orang yang sedang jatuh cinta atau bercita-cita mendapatkan, kecuali Diri Yang Maha Tinggi, Maha Suci-Nya.
Keadaan yang menyertainya ini akan menjadi sumber pertama ketenangan pikiran dan ketenangan jiwanya, dan tidak adanya kekhawatiran dan kesedihannya, dan mungkin dia akan bernyanyi bersama orang yang menikmati keadaan yang sama, pepatahnya:

Saya memiliki hasrat yang luar biasa terhadap diri saya sendiri
Sejak mata melihatmu, aku mengumpulkan keinginanku
Orang yang membuatku iri menjadi iri padaku
Anda menjadi tuan saya sejak Anda menjadi tuan saya
Saya meninggalkan dunia untuk orang-orang sendirian
Aku sibuk mengingatmu, agamaku, dan duniaku

Benar-benar mengherankan bahwa salah satu dari kita menyadari kebenaran ini dengan pikirannya dan membayangkannya dengan kepastiannya, dan kemudian melupakan – meskipun demikian – Tuhannya yang kekal, Pencipta, Penyedia, Penyedia, Penyedia, yang mengatur kerajaan-Nya sebagai Dia menyenangkan. Hanya bidak catur yang diingat, yang tidak akan bergerak kecuali Tuhan yang menggerakkannya, dan ditakdirkan untuk menghilang dan menghilang.

Ayah saya, semoga Tuhan mengasihaninya, memberi tahu saya bahwa ada orang saleh yang beremigrasi dari negaranya karena alasan agama yang mengharuskannya, dan dia akhirnya tinggal di sebuah desa. Dia mengenalinya sebagai imam masjid tempat orang shaleh biasa berdoa. Dia bertanya kepadanya apa yang dia tanyakan tentang sumber penghidupannya, dan dia menjawab dengan meyakinkan: Tuhan tidak melupakannya!.. Setelah beberapa hari, Syekh Imam masjid kembali untuk menanyakan kondisinya, dan untuk mengklarifikasi darinya. sumber penghidupannya, maka dia meyakinkannya bahwa Allah SWT memuliakan dia dan bahwa dia tidak mendapat masalah apapun dalam penghidupannya.

Namun Imam tidak puas dan bertanya lagi pada pertemuan ketiga: Tapi darimana kamu mendapatkan penghidupanmu? Dia berkata kepadanya: Ada seorang Yahudi di desa ini yang mengenal saya dan mengetahui keadaan saya, jadi dia memberi saya sejumlah uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan saya. Syekh berkata kepadanya: Baiklah, kekhawatiranku terhadapmu telah hilang! Orang shaleh itu berkata kepadanya: Hai, aku akan menyempurnakan shalat yang kupanjatkan di belakangmu! Aku telah berulang kali meyakinkanmu bahwa Tuhan telah menjagaku penghidupan dan Dia tidak akan melupakan saya, tetapi Anda melakukan ini bukan karena ketentraman dan perkataan. Dan ketika saya katakan kepada Anda bahwa yang mengurus penghidupan saya adalah seorang Yahudi dari kalangan masyarakat, saya percaya jaminan dan kehormatannya!!

Inilah yang terjadi pada banyak umat Islam saat ini. Sebab-sebab formal dan imajiner membesar di depan mata mereka, dan kemudian terus membesar, hingga mereka melupakan Pencipta dan sebab-sebabnya, sehingga mereka hidup dalam khayalan dan teralihkan dari kebenaran.

Mereka berpegang teguh pada khayalan yang tidak ada, dan berpaling dari sumber yang merupakan kepenuhan seluruh alam semesta! Mereka berpaling dari Sang Pencipta dan Pemelihara Surga, kemudian mereka membicarakan kemurahan Surga! Mereka berpaling dari tangan yang menaruh sendok makanan dengan sebaik-baiknya ke dalam mulut mereka, dan mereka menggoda sendok yang memuliakan mereka dan mereka menggodanya. mengosongkan makanan ke dalam mulut mereka!
Jika ini bukan kekafiran dalam bentuk yang paling rendah, katakan padaku: bagaimana bisa?

"Dan Ibn 'Ata Allah mengakhiri hikmah ini dengan mengutip firman Allah Ta’ala: ‘Sesungguhnya mata itu tidak buta, tetapi hati-hati yang di dalam dada-lah yang menjadi buta.’ (QS. Al-Hajj)

Ia menegaskan bahwa setiap orang yang mengalami kebingungan aneh ini sebenarnya adalah orang yang terkena ‘kebutaan hati’. Ini adalah kebutaan yang, jika terjadi, tidak dapat digantikan dengan cahaya apa pun.

Hati adalah sumber cahaya di mana pun manifestasinya dan penampakannya. Jika Allah mengaburkan dan mencabut cahayanya, maka mustahil bagi bagian tubuh lain atau entitas untuk mengalir atau memancarkan sedikit cahaya darinya. Meskipun mata tetap berfungsi, mereka melihat tanpa cahaya, artinya tanpa pemahaman akan kebenaran, seberapa jelas dan terang pun. 

Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan untuk neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka memiliki hati, tetapi mereka tidak memahaminya, dan mereka memiliki mata, tetapi mereka tidak melihat dengannya.’ (QS. Al-A’raf)

Jadi, kebutaan yang sebenarnya dan berbahaya adalah kebutaan hati. Tidak ada manfaatnya untuk melihat dengan mata jika hati buta. Penglihatan sejati, yang hanya dimiliki oleh hati, tidak terpengaruh oleh ketidakmampuan mata melihat. Benar sekali. Allah berfirman dengan benar: ‘Karena sesungguhnya mata itu tidak buta, tetapi hati-hati yang di dalam dada-lah yang menjadi buta.’ (QS. Al-Hajj)."

Wallohu A'lam.

------
Catatan:
Nomor hikmah di atas berdasar kitab Al-Minnahul Qudsiyyah terbitan Dar Al-Kotob Al-Ilmiyyah, Beirut Libanon, Tahun 1971 oleh Syaikh Al-Islam Abdullah bin Hijazi Asy-Syarqowi.


Senin, 12 Desember 2022

Akhlak kepada Sesama Muslim


Akhlak sesama muslim, minimal ada 17 hal, yaitu: 

  1. Bersaudara, 
  2. Mendamaikan Yang Bertikai 
  3. Memerangi Muslim Yang Dzalim 
  4. Mengajak Taat Kepada Perintah Allah Swt 
  5. Memberikan Keadilan 
  6. Memberikan Kedamaian 
  7. Saling Menolong Meringankan Beban 
  8. Saling Menyayangi 
  9. Jangan Menvonis Kafir 
  10. Jangan Banyak Berprasangka 
  11. Jangan Mencari-cari Kesalahan 
  12. Jangan Menggibah 
  13. Menutupi Aib 
  14. Jangan Saling Merendahkan/Menghina 
  15. Jangan Saling Mencela 
  16. Jangan Saling Memanggil Dengan Gelar Buruk 
  17. Jangan Menfitnah
Penjelasan selengkapnya di https://youtu.be/46ot7Zl0-as

Minggu, 11 Desember 2022

Keadaan Batin Saat Mengajar Menunjukkan Maqom/Kedudukan di Sisi Allah Swt

قال الشيخ ابن عطاء الله رضي اللّه عنه : (من عَبّرَ مِن بِساطِ احْسانِه اصْمَتـَتْهُ الاِساءةُ ومنْ عَبّر مِن بِساطِ اِحْساَنِ اللهِ اليهِ لم يَصْمُتْ اذا أساءَ). 

“Barang siapa menerangkan ilmu/mengajar dengan memandang bahwa keterangannya itu muncul dari kebaikan dirinya, maka dia akan terdiam jika berbuat salah/maksiat, dan siapa yang menerangkan ilmu/mengajar dengan memandang bahwa ilmu/keterangannya itu pemberian Alloh padanya, maka ia tidak akan diam bila ia berbuat salah/dosa.” 

https://youtu.be/R2-WRDfZxN0

Tafsir Ayat Cahaya di Atas Cahaya

Allah Swt. berfirman:

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشْكَوٰةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ ٱلْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ ۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِىٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَٰلَ لِلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Arab-Latin: Allāhu nụrus-samāwāti wal-arḍ, maṡalu nụrihī kamisykātin fīhā miṣbāḥ, al-miṣbāḥu fī zujājah, az-zujājatu ka`annahā kaukabun durriyyuy yụqadu min syajaratim mubārakatin zaitụnatil lā syarqiyyatiw wa lā garbiyyatiy yakādu zaituhā yuḍī`u walau lam tamsas-hu nār, nụrun 'alā nụr, yahdillāhu linụrihī may yasyā`, wa yaḍribullāhul-amṡāla lin-nās, wallāhu bikulli syai`in 'alīm


"Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nur: 35)"

Kritik Ibnu Sammak kepada Dai/Penceramah

Ibnus-Sammak ra.: "Berapa banyak orang yang memperingatkan orang lain kepada Allah, yang lupa kepada AllahI Berapa banyak orang yang memberi peringatan supaya takut kepada Allah, yang berani menentang Allah! Berapa banyak orang yang mengajak orang lain mendekatkan diri kepada Allah, yang jauh dari Allah! Berapa banyak orang yang menyerukan orang lain kepada AUah; yang lari dari Allah! Dan berapa banyak orang yang membaca Kitab Allah, terhapus hatinya dari ayat-ayat Allah!".

Selengkapnya di https://youtu.be/iAYEsWE9vug

Referensi: Imam Ghazali. Tanpa Tahun. Ihya Ulumiddin, Jilid I, Halaman 63. Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah.

Otokritik Ibrahim bin Adham Ahli Baca Al-Quran

Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Kami perbaiki bahasa perkataan kami, maka kami tidak salah. Dan kami telah salah pada perbuatan kami tetapi tidak kami perbaiki".

Selengkapnya di https://youtu.be/iAYEsWE9vug

Referensi: Imam Ghazali. Tanpa Tahun. Ihya Ulumiddin, Jilid I, Halaman 63. Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah.

Rabu, 07 September 2022

PENELITIAN PAI MENDEWASAKAN MANUSIA DAN PERADABAN

NARASI DALAM VIDEO 

Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Peran PAI dalam Peradaban

Ilmu pengetahuan manusia dianugerahkan Alloh swt kepada manusia ketika Alloh swt mengajarkan ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam alahissalam.

Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 31, yang artinya, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Kata Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan (dalam bahasa Inggris: science; dalam bahasa Arab Al-‘ilm) memiliki pengertian “usaha-usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia”.

Ilmu adalah pengetahuan, pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan telah disusun dengan baik. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkumi sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu atau disebut ilmiah.

Pengertian secara ilmiah yang paling sering digunakan, ilmu adalah kumpulan pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode ilmiah. Pengetahuan merupakan akuisisi terendah yang diperoleh dari rangkaian pengalaman tanpa melalui kegiatan penelitian yang lebih intensif.

Perkembangan pesat sains dan pengetahuan ilmiah, termasuk ilmu alam dan ilmu sosial dimulai dari abad ke-18 sampai akhir abad ke-20.

Ilmu Pengetahuan dan Sains Dalam dunia Islam

Ilmuwan Muslim menekankan jauh lebih besar pada eksperimen daripada orang-orang Yunani. Hal ini menyebabkan metode ilmiah awal berkembang di dunia Muslim, di mana kemajuan yang signifikan dalam metodologi terjadi, dimulai dengan percobaan dari Ibn al-Haytham pada optik dari sekitar tahun 1000, dalam bukunya Book of Optics. Hukum pembiasan cahaya dikenal oleh orang-orang Persia.

Perkembangan yang paling penting dari metode ilmiah adalah penggunaan eksperimen untuk membedakan antara kumpulan teori-teori ilmiah yang bersaing di antara orientasi empiris secara umum, yang dimulai oleh para ilmuwan Muslim. Ibn al-Haytham juga dianggap sebagai bapak optik, terutama untuk bukti empirisnya tentang teori intromission cahaya. Beberapa juga menggambarkan Ibn al-Haytham sebagai "ilmuwan pertama" untuk pengembangannya terhadap metode ilmiah modern.

Dalam matematika, matematikawan Persia Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi memberikan namanya pada konsep algoritme, sedangkan istilah aljabar berasal dari al-jabr, judul awal dari salah satu publikasinya. Apa yang sekarang dikenal sebagai angka Arab aslinya berasal dari India, tetapi ahli matematika Muslim memang membuat beberapa perbaikan pada sistem angka, seperti pengenalan notasi titik desimal. Matematikawan Sabian, Al-Battani (850-929), memberikan kontribusi untuk astronomi dan matematika, sedangkan pelajar Persia, Al-Razi, memberikan kontribusi untuk kimia dan obat-obatan.

Dalam astronomi, Al-Battani memperbaiki pengukuran dari Hipparchus, disimpan dalam terjemahan Ptolemy Hè Megalè Syntaxis (Risalah Terbaik ) diterjemahkan sebagai Almagest . Al-Battani juga memperbaiki ketepatan pengukuran presesi sumbu bumi.

Perbaikan yang dilakukan terhadap model geosentris oleh al-Battani, Ibnu al-Haytham, Averroes dan astronom Maragha seperti Nashiruddin ath-Thusi, Mo'ayyeduddin Urdi dan Ibn al-Shatir mirip dengan model heliosentris Copernicus.

Teori heliosentris mungkin juga telah dibahas oleh beberapa astronom Muslim lainnya seperti Ja'far bin Muhammad Abu Ma'shar al-Balkhi,  Abu-Rayhan Biruni, Abu Said al-Sijzi, Quthb al-Din al- Shirazi, dan Najm al-Din al-Qazwini al-Kātibī.

Para alkimia dan ahli kimia Muslim memainkan peran penting dalam dasar kimia modern. Cendekiawan seperti Will Durant dan Fielding H. Garrison menganggap kimiawan Muslim sebagai pendiri kimia. Secara khusus, Jabir bin Hayyan adalah "dianggap oleh banyak orang sebagai bapak kimia". Karya-karya ilmuwan Arab mempengaruhi Roger Bacon (yang memperkenalkan metode empiris ke Eropa, sangat dipengaruhi oleh bacaannya dari penulis-penulsi Persia), dan kemudian Isaac Newton.

Ibnu sina atau Avicenna dianggap sebagai ilmuwan dan filsuf paling berpengaruh dalam Islam. Ia memelopori ilmu kedokteran eksperimental dan adalah dokter pertama yang melakukan uji klinis. Dua karyanya yang paling menonjol dalam kedokteran adalah Kitāb al-shifāʾ ("Buku Penyembuhan") dan The Canon of Medicine, yang keduanya digunakan sebagai standar teks pengobatan dalam dunia Muslim dan di Eropa hingga abad ke-17. Di antara banyak kontribusinya adalah penemuan sifat menular dari penyakit menular,  dan pengenalan farmakologi klinis.

Beberapa ilmuwan terkenal lain dari dunia Islam termasuk al-Farabi (polymath), Abu al-Qasim al-Zahrawi (pelopor bedah), Abū Rayhān al-Bīrūnī (pelopor Indologi, geodesi dan antropologi ),  Nasīr al-Dīn al-Tūsī (polymath), dan Ibnu Khaldun (pendahulu dari Ilmu sosial seperti demografi, sejarah budaya, historiografi filsafat sejarah dan sosiologi), di antara banyak lainnya.

Sains Islam mulai menurun pada abad ke-12 atau ke-13, dalam hubungannya dengan Renaissance di Eropa, dan sebagian karena Penaklukan Mongol pada abad ke-11 sampai ke-13, di mana perpustakaan, observatorium, rumah sakit dan universitas dihancurkan. Akhir zaman keemasan Islam ditandai dengan penghancuran pusat intelektual Baghdad, ibu kota Khalifah Abbasiyah pada tahun 1258.

Urgensi Ilmu Pengetahuan Ilmiah

Dalam era modern dan era masyarakat industri seperti sekarang ini, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang didukung oleh kemampuan akal, dalam memajukan segala aspek kehidupan manusia sangat dominan sekali. Dan peranan orang berilmu dimana-mana kita saksikan menonjol sekali dalam membangun dan memajukan masyarakatnya, agamanya, dan bangsanya.

Selanjutnya, dengan ilmu pengetahuan pula manusia yang diciptakan Alloh swt sebagai khalifah di muka bumi ini mampu membuka tabir tanda-tanda zaman dan mampu memanfaatkan serta mengolah segala apa yang ada di bumi ini bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Dan dengan ilmu pengetahuan pulalah manusia dapat membuat sesuatu sulit menjadi mudah. Misalnya, kalau zaman dahulu kaum muslimin Indonesia yang pergi menunaikan ibadah haji memerlukan waktu yang berminggu-minggu bahkan berbilang bulan, tapi sekarang dengan ditemukannya pesawat udara, para calon haji bisa sampai ke tanah Arab hanya beberapa jam saja.

Untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allohpun dan juga beribadah kepadaNya serta bermuamalah kepada sesama makhluknyapun kita perlu berilmu. Bagaimana seorang muslim dapat melaksanakan ibadah haji, misalnya, kalau dia tidak mempunyai ilmu, atau paling tidak tahu tata cara menunaikan ibadah haji?

Berapa banyak kita menyaksikan kaum yang lemah yang tidak bisa mengubah nasibnya karena tidak berilmu? Di sinilah letak perbedaan.

Dalam Al-Qur’an Alloh swt berfirman yang artinya:

Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui (QS Az-Zumar: 9).

Pendidikan agama Islam yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi-pribadi yang bertakwa sangat berkepentingan dalam mengembagkan ilmu pengetahun yang mendukung tercapainya tujuan tersebut.

Diperlukan penelitian-penelitian untuk menfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan agama Islam tersebut. Hal ini mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang menghasilkan peradaban seringkali menghasilkan peradaban-peradaban yang menyimpang dan berpotensi menghancurkan budaya dari peradaban atau bangsa.

Pemikiran-pemikiran mainstream juga dapat berujung pada musnahnya peradaban, hal ini memerlukan adanya pengelolaan yang baik terhadap budaya bangsa dan menjadi paradoks bahwa suatu bangsa memiliki budaya yang kaya di masa lalu tetapi kemudian peradaban bisa hancur karena adanya budaya-budaya atau nilai-nilai yang dibawa oleh budaya atau peradaban menyimpang.

Urgensi Pendidikan Agama Islam

Oleh karenanya Pendidikan agama Islam adalah pendorong perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin mendekatkan manusia pada Alloh swt dan sekaligus membentengi umat muslim dari terjerumus dalam ilmu pengetahuan yang salah arah dan berpotensi menghancurkan fitrah kemanusiaan dan menghancurkan peradaban.

Pendidikan Agama Islam sangat penting mengarahkan manusia dalam perkembangan disruptif ilmu pengetahuan ilmiah agar tidak menghancurkan dirinya sendiri, baik secara lahir maupun batin. Pendidikan Agama Islam berperan mendewasakan manusia agar peradaban semakin dewasa.

Minggu, 17 Juli 2022

BERSYAHADAT DENGAN ILMU


Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran [3]: 18). 

Bersyahadat dengan ilmu dapat dipelajari dari materi-materi berikut ini. Terima kasih telah singgah di laman ini, semoga bermanfaat. Amin.

1. Ilmu Syahadat
     Link
2. Apakah Allah SWT benar-benar ada?
     Link
3. Apakah Allah SWT benar-benar Ada? 
     Link
4. Hidaya Membuat Semprul Tersungkur
    Link    
5. Menanam Benih Iman
    Link
6. Ikhlas
    Link
7. Ikhlas: Ruh Amal
    Link
8. Ikhlas dan Mengnolkan Ego
    Link
9. MengenalNya Sungguh Membahagikan
    Link
10. Tak Usah Gelasah, Berlabuhlah
      Link  
11. Tafakkur, Instrumen Mengnolkan Ego
      Link
12. Lulus Ujian dengan Kembali
      Link
13. Dakwah: Tahadduts atau Pamer 
      Link
14. Khusyu' dengan Allohu Akbar
      Link
15. Merasakan Kesadaran Diri dengan Dzikir
      Link
16. Tasbihku, Tasbihmu, Tasbih Kita
      Link
17. Keharmonisan Alam dan Ketaatan Manusia
      Link
18. Diri Berdoa, Lisan Berdoa
      Link
19. Pantas Diri, Bukan Pentas Diri
      Link
20. Semprul dan Kemprul bicara tentang Penyadapan
      Link
21. Semprul dan Kemprul siap Nyoblos
      Link

saran dan komentar terhadap cerita di atas silahkan masuk ke link berikut:

Kamis, 17 Maret 2022

KISAH PARA SHOLIHIN SAAT NISHFU SYA’BAN


Malam pertengahan bulan Sya’ban adalah salah satu malam di antara lima malam khusus ijabah doa. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa, “Sesungguhnya doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya ‘Idul fitri, malam pertama di bulan Rajab dan malam Nishfu Sya‘ban.” (Al-Umm Jilid 2, 264).


Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang digolongkan bermazhab Imam Ahmad bin Hambali berpendapat, “Adapun (salat) pada malam nisfu Sya’ban, maka banyak hadis serta atsar dari sahabat yang menyebutkan keutamaannya. Dikutip dari segolongan ulama salaf bahwa mereka melakukan salat pada malam nisfu Sya’ban. Maka salat yang dilakukan seseorang pada malam tersebut secara sendirian telah dicontohkan oleh para ulama salaf, amalan tersebut mempunyai dalil sehingga tidak perlu dikritisi (dibid’ahkan)”. “Adapun salat berjamaah pada malam tersebut, maka hal ini masuk dalam keumuman dalil yang menganjurkan berkumpul untuk ketaatan dan ibadah (Majmu' Fatawa, Jilid 23, 132].

Para sholihin, dalam banyak literatur melakukan shalat, membaca syahadat, membaca istighfar, membaca al-Qur’an, dan doa di malam Nishfu Sya’ban. Kalau ditelusuri hal ini dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabantnya serta diteladani oleh para ulama sampai saat ini.  

Rasulullah Saw.

Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah ra., beliau berkata: "Suatu malam Rasulullah Saw shalat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah Saw telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah Saw. selesai shalat beliau berkata: "Hai ‘Aisyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu Rasulullah Saw. bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini?”. "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam Nishfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (HR. Baihaqi, dengan komentar ini mursal karena ada rawi yang tidak bersambung ke sahabat, namun cukup kuat).

Para Sahabat Rasulullah Saw

Dari para sahabat: Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah al-Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amr, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Auf bin Malik, dan Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memperhatikan hamba-Nya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Dia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang yang hatinya ada kebencian antarsesama umat Islam).” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir No. 16639, Daruquthni dalam Al-Nuzul 68, Ibnu Hibban dalam sahihnya no 5757).

Imam Syafi’i (767-820)

Imam asy-Syafi‘i dalam kitabnya al-Umm berpendapat: “Telah sampai pada kami bahwa dikatakan sesungguhnya doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya ‘Idul fitri, malam pertama di bulan Rajab dan malam Nishfu Sya‘ban.” (Al-Umm Jilid 2, halaman 264).

Imam Ghazali (1058-1111)

Shalat sunnah di malam nisfu Sya‘ban ini dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin. Bahkan, ia menjelaskan tata caranya, mulai dari jumlah rakaat hingga bacaannya: “Adapun shalat sunnah Sya‘ban adalah malam kelima belas bulan Sya‘ban. Dilaksanakan sebanyak seratus rakaat. Setiap dua rakaat satu salam. Setiap rakaat setelah Al-Fatihah membaca Qulhuwallahu ahad sebanyak 11 kali. Jika mau, seseorang dapat shalat sebanyak 10 rakaat. Setiap rakaat setelah Al-Fatihah Qulhuwallahu ahad 100 kali. Ini juga diriwayatkan dalam sejumlah shalat yang dilakukan orang-orang salaf dan mereka sebut sebagai shalat khair. Mereka berkumpul untuk menunaikannya. Mungkin mereka menunaikannya secara berjamaah,” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, jilid 1, hal. 203).

Abdul Qadir al-Jilani (1077-1166)

Dengan mengutip doa dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, syaikh Abdul Qadir Jilani mengajarkan doa berikut:

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، مَصَابِيْحِ الْحِكْمَةِ وَمَوَالِيْ النِّعْمَةِ، وَمَعَادِنِ الْعِصْمَةِ، وَاعْصِمْنِيْ بِهِمْ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ. وَلَا تَأْخُذْنِيْ عَلَى غِرَّةٍ وَلَا عَلَى غَفْلَةٍ، وَلَا تَجْعَلْ عَوَاقِبَ أَمْرِيْ حَسْرَةً وَنَدَامَةً، وَارْضَ عَنِّيْ، فَإِنَّ مَغْفِرَتَكَ لِلظَّالِمِيْنَ، وَأَنَا مِنَ الظَّالِمِيْنَ، اللهم اغْفِرْ لِيْ مَا لَا يَضُرُّكَ، وَأَعْطِنِيْ مَا لَا يَنْفَعُكَ، فَإِنَّكَ الْوَاسِعَةُ رَحْمَتُهُ، اَلْبَدِيْعَةُ حِكْمَتُهُ، فَأَعْطِنِي السَّعَةَ وَالدَّعَةَ، وَالْأَمْنَ وَالصِّحَّةَ وَالشُّكْرَ وَالْمُعَافَاةَ، وَالتَّقْوَى، وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ وَالصِّدْقَ عَلَيَّ، وَعَلَى أَوْلِيَائِيْ فِيْكَ، وَأَعْطِنِي الْيُسْرَ، وَلَا تَجْعَلْ مَعَهُ الْعُسْرَ، وَأَعِمَّ بِذَلِكَ أَهْلِيْ وَوَلَدِيْ وَإِخْوَانِيْ فِيْكَ، وَمَنْ وَلَدَنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Ya Allah limpahkan rahmat ta’dhim-Mu kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, lampu-lampu hikmah, tuan-tuan nikmat, sumber-sumber penjagaan. Jagalah aku dari segala keburukan lantaran mereka, janganlah engkau hukum aku atas kelengahan dan kelalaian, janganlah engkau jadikan akhir urusanku suatu kerugian dan penyesalan, ridhailah aku, sesungguhnya ampunanMu untuk orang-orang zhalim dan aku termasuk dari mereka, ya Allah ampunilah bagiku dosa yang tidak merugikanMu, berilah aku anugerah yang tidak memberi manfaat kepadaMu, sesungguhnya rahmat-Mu luas, hikmah-Mu indah, berilah aku kelapangan, ketenangan, keamanan, kesehatan, syukur, perlindungan (dari segala penyakit) dan ketakwaan. Tuangkanlah kesabaran dan kejujuran kepadaku, kepada kekasih-kekasihku karena-Mu, berilah aku kemudahan dan janganlah jadikan bersamanya kesulitan, liputilah dengan karunia-karunia tersebut kepada keluargaku, anaku, saudar-saudaraku karena-Mu dan para orang tua yang melahirkanku dari kaum muslimin muslimat, serta kaum mukiminin dan mukminat.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ghunyah al-Thalibin, juz 3, hal. 249)

Imam Ibnu Taimiyah (1263-1328)

Adapun malam Nishfu Sya'ban, maka sungguh telah diriwayatkan tentang keutamaanya dari hadits-hadits dan juga atsar serta nukilan dari skelompok ulama salaf bahwa mereka melakukan sholat di malam tersebut [Majmu' Fatawa Jilid 23, Halaman 132]

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (1503-1566)

Maka kesimpulannya, malam Nishfu Sya'ban ini memiliki keutamaan yang di dalamnya terdapat ampunan khusus dan terkabulnya doa secara khusus, itulah sebabnya Imam Asy-Syafi'i berkata bahwa Doa dikabulkan disaat-saat itu. [Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah: Jilid 2, Halaman 80].

Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1913)

Sayyid Utsman bin Yahya (Maslakul Akhyar, halaman 78-80) menyebutkan doa berikut ini yang dibaca saat malam nisfu Sya’ban. 

 اَللّٰهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا ذَا الطَوْلِ وَالإِنْعَامِ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِيْنَ وَجَارَ المُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأْمَنَ الخَائِفِيْنَ   اللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِيْ أُمِّ الكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا أَوْ مُقْتَرًّا عَلَيَّ فِي الرِزْقِ، فَامْحُ اللّٰهُمَّ فِي أُمِّ الكِتَابِ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَاقْتِتَارَ رِزْقِيْ، وَاكْتُبْنِيْ عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِيْ كِتَابِكَ المُنْزَلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ المُرْسَلِ "يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ" وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العَــالَمِيْنَ  

Artinya, “Wahai Tuhanku yang maha pemberi, engkau tidak diberi. Wahai Tuhan pemilik kebesaran dan kemuliaan. Wahai Tuhan pemberi segala kekayaan dan segala nikmat. Tiada tuhan selain Engkau, kekuatan orang-orang yang meminta pertolongan, lindungan orang-orang yang mencari perlindungan, dan tempat aman orang-orang yang takut. Tuhanku, jika Kau mencatatku di sisi-Mu pada Lauh Mahfuzh sebagai orang celaka, sial, atau orang yang sempit rezeki, maka hapuskanlah di Lauh Mahfuzh kecelakaan, kesialan, dan kesempitan rezekiku. Catatlah aku di sisi-Mu sebagai orang yang mujur, murah rezeki, dan taufiq untuk berbuat kebaikan karena Engkau telah berkata–sementara perkataan-Mu adalah benar–di kitabmu yang diturunkan melalui ucapan Rasul utusan-Mu, ‘Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki. Di sisi-Nya Lauh Mahfuzh.’ Semoga Allah memberikan shalawat kepada Sayyidina Muhammad SAW dan keluarga beserta para sahabatnya. Segala puji bagi Allah SWT.”

Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki (1910-2004)

Dalam kitab Madza fi Sya’ban karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menulis tiga amalan dalam Nisffu Sya’ban:

Pertama, memperbanyak doa. Anjuran ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Bakar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “(Rahmat) Allah SWT turun ke bumi pada malam nisfu Sya’ban. Dia akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian (kemunafikan),” (HR Al-Baihaqi).

Kedua, membaca dua kalimat syahadat sebanyak-banyaknya. Dua kalimat syahadat termasuk kalimat mulia. Dua kalimat ini sangat baik dibaca kapan pun dan di mana pun terlebih lagi pada malam nisfu Sya’ban. Sayyid Muhammad bin Alawi mengatakan, “Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah dan keutamaan dengan memperbanyak membaca dua kalimat syahadat, La Ilaha Illallah Muhammad Rasululullah, khususnya bulan Sya’ban dan malam pertengahannya.”

Ketiga, memperbanyak istighfar. “Istighfar merupakan amalan utama yang harus dibiasakan orang Islam, terutama pada waktu yang memiliki keutamaan, seperti Sya’ban dan malam pertengahannya. Istighfar dapat memudahkan rezeki, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada bulan Sya’ban pula dosa diampuni, kesulitan dimudahkan, dan kesedihan dihilangkan.

Meneladani para sholihin di Malam Nisfu Syakban untuk tahun 2022 ini adalah di hari Kamis malam Jum’at, mulai Maghrib 17 sampai Fajar di 18 Maret 2022.

Wallohu A’lam. 

Rabu, 21 Juli 2021

Hakikat Syariat Islam


Imam Ali Abu Hasan Asy-Syadzili berkata, "Setiap syariat dan urutan-urutannya adalah adalah pilihan Allah SWT, yang tidak ada bagimu bagian. Dengarlah dan taatlah." Hal ini bermakna bahwa ibadah adalah karena perintah Allah SWT semata, bukan karena untuk masuk surga ataupun menghindar dari neraka. Karena terciptanya manusia adalah untuk beribadah.

Dan inilah yang dinamakan Fikih Robbany, Ilmu Laduni, sebagai bumi tempat tumbuhnya Ilmu Hakikat. Saat kesatuan kondisi ini berarti menyelamnya kedirian pada kehendak Allah SWT (Manunggaling Kawulo lan Gusti). 

Rekaman Video Lengkap

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More